Site icon PinterPolitik.com

Wabah Tutupnya Gerai Ritel

(Sumber: istimewa)

Tutupnya beberapa gerai ritel di Jakarta disinyalir karena ekonomi dan daya beli yang melemah. Jika benar, apakah ini hanya terjadi di Jakarta?


PinterPolitik.com 

[dropcap]A[/dropcap]ntrian orang-orang berdiri di gerbang Lotus Department Store, menjadi pemandangan terakhir sebelum gerai tersebut tutup di akhir September lalu. Diskon fantastis yang diadakan sebuah gerai, seakan menjadi penanda sebuah toko ritel akan tutup usia.

Sebelum Lotus, gerai Matahari Manggarai dan Blok M sudah lebih dulu menemui ajal bisnisnya. Sedangkan akhir tahun 2017 mendatang, Debenhams, gerai ritel yang lebih eksklusif dibanding Ramayana dan Lotus, juga mantap akan menutup tokonya.

Menghadapi tutupnya beberapa gerai ritel di Jakarta, berbagai pemberitaan kerap menghubungkannya dengan daya beli masyarakat yang menurun serta lesunya perekonomian Indonesia. Hal tersebut ditampik oleh Presiden Joko Widodo yang menyebut bahwa korelasi tersebut hanyalah isu untuk mencari-cari kesalahannya demi gelaran Pilpres 2019.

Presiden hanya menyebut jika gerai-gerai ritel tersebut tak bisa selaras dalam mengikuti perkembangan pasar yang beralih ke dunia digital. Menurutnya, kini ranah online menjadi lahan baru bagi berkumpulnya para konsumen. Berbelanja lewat internet dinilai lebih praktis dan efisien, sehingga sebagian masyarakat lebih memilih berbelanja secara online.

Desas Desus E-Commerce 

Namun begitu, pengakuan dari Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia, Aulia Ersyah Marinto, berbeda dengan pernyataan sang presiden. Ia berkata jika tumbangnya pemain bisnis ritel offline di Indonesia tidak disebabkan oleh maraknya jual beli online. Mengapa? Sebab tutupnya beberapa bisnis ritel ini tak diikuti dengan masifnya pertumbuhan transaksi di dunia maya alias toko online.

Saat ini, penetrasi transaksi online di Indonesia masih berada di bawah angka dua persen. Angka ini, merepresentasikan nilai Rp. 489 miliar di tahun 2016. Sementara itu, Mohammad Rosihan, Ketua Bidang Edukasi Retail Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) menilai jika langkah-langkah bayi tersebut nantinya akan berubah ke  angka Rp. 1.200 triliun di tahun 2020.

Di luar semangat dan optimisme ketua idEA terhadap potensi kenaikan transaksi bisnis online, bila melihat pertumbuhan ekonomi di era Pemerintahan Jokowi saat ini, bisa jadi malah membuat masyarakat harap-harap cemas. Sebab kenaikan pertumbuhan ekonomi yang terjadi hingga September 2017 ini, hanya sampai di titik 5,01 persen. Angka ini tidaklah cukup untuk membawa iklim perekonomian yang baik bagi bisnis dan usaha di Indonesia.

Menurut Bank Indonesia (BI), iklim yang bagus untuk pertumbuhan ekonomi harus berada di angka 6 sampai 7 persen. Dengan demikian, bila mengikuti ‘rumus’ BI, sebetulnya iklim perekonomian Indonesia belum benar-benar ramah bila ditilik dari angka 5,01 persen.

Angka tersebut diikuti pula oleh inflasi yang bisa diartikan sebagai terkendali atau tidaknya harga-harga dan juga daya beli. Indonesia sejak masuk ke September 2017, memiliki tren yang terus menurun dengan inflasi yang fluktuatif. Ini menandakan bahwa daya beli masyarakat, baik secara online maupun offline, memang mengalami perlambatan, yakni sekitar 0,13 persen. Dengan demikian, penutupan gerai ritel offline di Indonesia bisa diartikan sebagai imbas dari pertumbuhan ekonomi negara yang tak menentu dan bukan disebabkan oleh adanya ekspansi bisnis online.

Imbas Ekonomi di Amerika, Asia, dan Eropa

Lesunya perekonomian dan maraknya toko ritel yang tutup, ternyata tak terjadi di Indonesia saja. Di beberapa negara Asia Tenggara seperti Malaysia dan Singapura juga mengalami hal yang sama. Di Malaysia, hingga Oktober 2017, terhitung sudah lima supermarket Giant yang tutup. Sementara Singapura yang terkenal sebagai surganya belanja bagi kalangan menengah atas, juga diterpa penutupan beberapa toko ritel di sejumlah mal-nya. Bahkan, bila diperhatikan,  dampak ini merupakan yang terburuk selama 10 tahun terakhir.

Tak hanya Singapura, Amerika Serikat juga mengalami hal serupa. Baik toko maupun beberapa mall, satu persatu tutup pula di sana. Sepertinya ini sudah menjadi fenomena di beberapa tahun terakhir, bahkan semakin menjadi di tahun 2017. Namun bedanya, Malaysia, Singapura, dan Amerika Serikat memang mengalami pergantian ‘lapak’ dari offline ke online.

Keadaan mal di London, Inggris yang ramai (sumber: BBC Indonesia)

Seperti yang disampaikan oleh Business Insider, saat ini pertumbuhan toko online di Amerika sangat meningkat tajam. Namun, ini sama sekali tak diikuti oleh adanya kelesuan daya beli dan ekonomi. Sebaliknya, permintaan dan konsumsi masih sangat tinggi di Amerika. Hanya saja, berbelanja secara online kini lebih menjadi pilihan bagi banyak kalangan kelas menengah Amerika Serikat.

Hal yang sama sekali berbeda terjadi di Inggris. Pasca Brexit, industri ritel offline di negeri Ratu Elizabeth tersebut malah makin melonjak dan meningkat tajam. Berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di Indonesia, negara-negara kawasan Asia Tenggara, serta Amerika, di Inggris masyarakat memiliki kepercayaan sangat tinggi terhadap industri ritel.

Ekonomi dan Pola Konsumsi

Persoalan yang dialami Indonesia sendiri, sebetulnya tak semata-mata terjadi karena keadaan ekonomi yang lesu dan daya beli turun. Tutupnya beberapa gerai ritel semacam Matahari yang lekat dengan masyarakat kelas menengah bawah, menjadi sebuah pertanda bahwa masyarakat tersebut, merupakan kelompok utama yang paling terkena dampak kelesuan perekonomian di Indonesia.

Selain itu, bagi kelas menengah atas yang punya kekuatan konsumsi lebih stabil dibandingkan kelas menengah bawah, sudah mengalihkan konsumsinya ke hal lain seperti kuliner dan jalan-jalan (travelling). Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, tren atau pola konsumsi masyarakat menengah kini tak lagi terpaku pada pakaian, tetapi pengalaman jalan-jalan dan kuliner.

Tutupnya beberapa gerai ritel di Jakarta beberapa waktu terakhir ini memang didominasi oleh produk pakaian dan barang kebutuhan sehari-hari seperti Ramayana, Dabenhams, dan Lotus. Penjualan yang terus menerus turun, memaksa para pelaku bisnis ritel di jalur tersebut harus memutar otak, dengan menutup bisnisnya.

Mau bagaimana lagi? Pertumbuhan ekonomi di angka 5,01 persen di bulan September 2017, hanya dapat dirasakan oleh segelintir masyarakat, yakni para pemburu belanja di dunia maya. Indonesia butuh pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi lagi untuk dapat benar-benar sampai pada iklim bisnis, daya beli, dan tentunya perekonomian yang stabil dan merata di seluruh lapisan.

Jika pertumbuhan ekonomi masih saja tersendat seperti sekarang, dan hanya terus terpekur di angka 5,01 persen, maka tak menutup kemungkinan penutupan gerai-gerai ritel yang lain pun akan terus terjadi. Akibatnya, permasalahan ini akan menimbulkan problema baru lagi, yakni gelombang pengangguran yang lahir dari matinya bisnis-bisnis ritel tersebut. (Berbagai Sumber/A27)

Exit mobile version