Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo dan PDIP mendapat sorotan tajam setelah viral bantuan dana berlogo Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) yang diberikan kepada kader partai banteng.
Citra salah satu kandidat calon presiden (capres) dari PDIP dengan elektabilitas mumpuni, yakni Ganjar Pranowo sedikit tercoreng pasca gaduh bantuan sosial (bansos) yang diketahui diserahkan kepada kader partainya sendiri.
Kegaduhan itu bermula saat Gubernur Jawa Tengah (Jateng) itu mengunggah cuitan saat dirinya memberikan bantuan program pemugaran rumah sejumlah warga di Wonosobo pada 30 Desember lalu.
Ganjar menyebut bantuan tersebut ditujukan untuk 50 kader PDIP yang rumahnya sudah tidak layak huni jelang Hari Ulang Tahun (HUT) partai banteng.
Di dalam unggahan yang dilampiri foto saat penyerahan simbolis bantuan itu, terdapat logo lembaga amal Baznas di papan bantuan sebesar Rp20 juta yang diserahkan oleh Ganjar.
Logo itulah yang kemudian menjadi biang keladi gaduh di kolom komentar unggahan Ganjar karena para warganet melihat sisi etika yang tak dipenuhi mengingat ada kepentingan subjektif PDIP di dalamnya.
Meskipun segera menghapus cuitannya itu, komentar pedas telanjur menghantui Ganjar setelah netizen membagikan kembali jejak digital berupa tangkapan layar unggahannya.
Sementara itu, Ganjar memberikan klarifikasi bahwa bantuan tersebut berasal dari APBN, APBD provinsi, kabupaten, dan desa, termasuk dari Baznas, CSR, dan sejumlah lembaga filantropi.
“Karena kita sadar, APBD Prov. tidak akan pernah cukup untuk menangani itu semua. Satu-satunya cara ya gugur gunung amrih becike. Yaitu kerja bareng demi kebaikan bersama,” begitu tanggapan Ganjar untuk meredam komentar miring yang menimpanya.
Ganjar mengatakan dirinya sejak awal meniatkan penyerahan bantuan itu menggunakan dana pribadi serta tidak mengetahui jika Baznas juga ikut hadir untuk memberikan bantuan.
Tak hanya itu, setelah polemik muncul, dia menyebut segera memerintahkan bantuan itu untuk ditarik dan dana Baznas akan dialihkan untuk membantu warga yang lain.
Di atas semua itu, satu hal yang kiranya ganjil dari intrik dan gaduh yang mengemuka adalah pemahaman bahwa logo Baznas dalam penyerahan bantuan itu akan menuai sentimen negatif semestinya telah dipahami oleh Ganjar.
Terlebih, sensitivitas khalayak di media sosial begitu tajam dalam memantau setiap gerak-gerik politisi yang memiliki probabilitas bertarung di Pilpres 2024.
Ihwal itu kemudian menimbulkan pertanyaan, yakni mengapa Ganjar tetap menyerahkan bantuan dan mengunggahnya? Adakah kepentingan tertentu yang ingin diraih?
Blunder yang Disengaja?
Langkah Ganjar yang pada dasarnya positif dalam menyerahkan bantuan itu tampaknya memang memiliki risiko kontraproduktif ketika satu hal kecil berupa logo lembaga amal tertangkap daya kritis warganet.
Akan tetapi, dengan asumsi Ganjar menyadari risiko itu namun tetap mengunggahnya ke media sosial, ruang penafsiran tertentu kiranya otomatis terbuka untuk dianalisis lebih dalam.
Klarifikasi Ganjar dan sejumlah elite PDIP atas polemik itu kiranya dapat dijadikan titik tolak untuk dianalisis. Di titik ini, kemungkinan sang Gubernur melakukan taktik political spinning atau pemelintiran secara politik sebagai bentuk pemberian interpretasi untuk merespons opini publik.
Ivor Gaber dalam publikasi berjudul Government by spin: an analysis of the process, menyebut political spinning dapat mencakup “mengubur” informasi negatif dengan dibarengi pembingkaian ulang atas suatu kesalahan sehingga tak terkesan “salah”.
Bahkan, dengan salah satu taktik spinning, yakni cherry picking atau secara selektif menyajikan fakta dan kutipan yang mendukung posisi tertentu, “kesalahan” tersebut dapat diubah menjadi sebuah “kebenaran”.
Taktik yang juga bertujuan meluruskan sudut pandang atau opini publik yang bias dapat memungkinkan aktor politik untuk memfokuskan kembali perhatian dari aspek negatif atas kebijakan atau manuver yang dilakukan.
Selain klarifikasi dari Ganjar, dua elite PDIP lainnya tampak menyajikan spinning komplementer yang mana jika ditelisik lebih dalam justru bisa memantik simpati politik dalam dimensi tertentu.
Respons diawali dari Ketua DPP PDIP Ahmad Basarah. Dirinya menyebut kader partai penerima bantuan renovasi rumah juga merupakan masyarakat Jateng yang sama dengan masyarakat lain yang membutuhkan.
Jika ditafsirkan, pernyataan ini tampaknya merupakan upaya memilah dan mengembalikan fokus publik bahwa subjek yang “dibantu” oleh Ganjar bukan hanya memiliki predikat kader PDIP.
Selain itu, eksistensi penerima bantuan yang merupakan kader partai juga bisa saja memang ingin ditujukan untuk membangun ulang perspektif bahwa PDIP merupakan parpol yang disokong oleh wong cilik.
Sementara itu, politikus senior Hendrawan Supratikno menilai kritik yang ditujukan setelah polemik bantuan Ganjar tentu akan didengar dan diperbaiki.
Dia menegaskan, Ganjar sebagai kader PDIP memiliki kemampuan mekanisme perbaikan diri atau self-correcting mechanism untuk menyelesaikan setiap persoalan yang muncul.
Di titik ini, keberadaan logo Baznas yang menjadi pemicu kegaduhan boleh jadi hanya pemantik untuk tujuan plus simpati politik yang lebih luas, yakni eksistensi dukungan kader wong cilik, kemampuan untuk menyelesaikan persoalan secara tegas, dan bukan tidak mungkin agar Ganjar tetap diperbincangkan khalayak luas.
Selain itu, intrik dan gaduh semacam itu agaknya masih akan terjadi dalam proses jelang pesta demokrasi 2024 mendatang dan tak hanya akan dilakukan oleh Ganjar. Mengapa demikian?
Permainan Para Capres?
Sejarawan dan teoritikus asal Belanda Johan Huizinga memperkenalkan istilah homo ludens (man the player) dengan meminjam istilah filsuf Jerman Jürgen Habermas. Itu adalah konsep yang memahami manusia sebagai seorang pemain yang memainkan permainan.
Huizinga memandang verba “bermain” merupakan hakikat dari sifat manusia yang sepanjang hidupnya bergulat dengan ragam realitas sosial ekonomi, agama, seni, dan politik.
Aspek politik yang turut disebut Huizinga kiranya berkelindan dengan intrik political spinning yang kemungkinan diperagakan Ganjar dan PDIP, serta aktor politik lain selama ini.
Karena, kembali, sesungguhnya aktivitas manusia dalam dimensi politik juga tidak lepas dari unsur bermain dan permainan. Mulai dari permainan citra, strategi, wacana, dan kepentingan para aktor yang berkompetisi.
Menariknya, penggunaan bahasa, retorika, wacana, satir, sarkasme dan propaganda agar satu aktor dapat terlihat lebih unggul dari aktor lainnya merupakan esensi politik yang lumrah terjadi.
Ihwal itu dikemukakan oleh Alfisahrin dalam publikasi berjudul Homo Ludik, Memahami Panggung Politik sebagai Dunia “Permainan”.
Akan tetapi, Alfisahrin menyiratkan permainan politik oleh para politikus sering kali memproduksi simbol yang menyimpang dari etika. Penciptaan stereotipe, atribusi stigma negatif, hingga penyajian perilaku culas justru kerap tak diindahkan demi kepentingan politik mereka.
Sayangnya, permainan politik yang sengaja dikreasi oleh aktor politik tidak saja dipamerkan dalam etalase visual seperti media cetak, media massa, dan media sosial, melainkan ikut “dipertandingkan” untuk menunjukkan kekuatan figur, cakupan pengaruh, dan akseptasi di masyarakat.
Sehingga, Alfisahrin menilai dalam konteks politik, semua orang seperti sedang berada dalam kandang bermain raksasa di mana setiap aktor politik memainkan banyak lakon drama yang memengaruhi pemilih dengan bujuk rayu (persuasi) hingga bermain kasar atau curang (antagonis).
Namun, dalam persoalan bantuan Ganjar, sentimen minor agaknya cukup sulit dibalikkan begitu saja dengan political spinning.
Dengan progres literasi dan aktifnya kritisi masyarakat Indonesia saat ini, terutama melalui media sosial, blunder Ganjar kiranya akan menjadi memori kolektif yang bisa saja akan merugikannya dan PDIP di 2024 nanti.
Terlebih, PDIP punya riwayat penyalahgunaan bantuan serupa saat eks Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara terbukti bersalah dalam rasuah bantuan sosial (bansos) Covid-19 pada Agustus 2021 lalu.
Oleh karena itu, jika tidak ditambal dengan spinning lain, bukan tidak mungkin persepsi minor yang menimpa Ganjar dan PDIP akan memengaruhi simpati pemilih di 2024 nanti. (J61)