Site icon PinterPolitik.com

Vietnam, Ilusi Poros Maritim Jokowi

Vietnam Ilusi Poros Maritim Jokowi

Foto : Istimewa

Insiden penabrakan kapal Vietnam ke kapal TNI AL di perairan Natuna Utara menghidupkan kembali perdebatan tentang doktrin poros maritim yang selama ini menjadi kebijakan politik luar negeri Jokowi.


PinterPolitik.com

[dropcap]K[/dropcap]etegangan hubungan antara Vietnam dan Indonesia kembali menyeruak karena insiden penabrakan Kapal TNI AL di perairan Natuna Utara pada Sabtu 27 April 2019 lalu. Kejadian ini bermula ketika KRI Tjiptadi-381 melaksanakan patroli penegakan hukum dan kedaulatan di Laut Natuna Utara.

KRI Tjiptadi-381 yang diawaki oleh personil TNI AL menangkap Kapal Ikan Asing (KIA) Vietnam BD 979 yang sedang melakukan illegal fishing.

Namun, KIA tersebut dikawal oleh kapal Pengawas Perikanan atau coast guard Vietnam. Kapal coast guard ini kemudian berusaha untuk menghalangi aksi KRI Tjiptadi-381 dengan cara membenturkan badan kapalnya ke KRI Tjiptadi-381. Kapal Pengawas Perikanan Vietnam ini dengan sengaja menabrak lambung kiri KRI Tjiptadi-381.

Akibat kejadian tersebut, KIA Vietnam BD 979 bocor dan tenggelam karena ikut tertabrak, serta sebanyak 12 ABK kapal itu berhasil diamankan oleh TNI AL di KRI Tjiptadi-381.

Kapal Vietnam ganggu kedaulatan RI? Share on X

Kejadian ini tentu saja mengagetkan banyak pihak, utamanya para stakeholder yang berkepentingan. Salah satunya Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu, yang menyebutkan bahwa berdasarkan batas wilayah dari global positioning system (GPS), insiden penabrakan tersebut jelas terjadi di wilayah NKRI.

Namun, terkait dengan sikap protes, Ryamizard mengatakan hal tersebut menjadi kewenangan Menteri Luar Negeri RI.

Sementara, pihak Kementerian Luar Negeri mengaku sudah melakukan langkah diplomatis dengan memanggil pejabat Kedubes Vietnam dan secara resmi telah menyampaikan protesnya.

Selain membahayakan baik personel Vietnam maupun Indonesia, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh kapal dinas Vietnam itu melanggar hukum internasional.

Sementara, untuk menindaklanjuti insiden tersebut, Kementerian Luar Negeri masih menunggu laporan resmi dari Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto selaku pimpinan institusi milter di Indonesia.

Konteks ini tentu menjadi tamparan bagi Indonesia. Pasalnya, walaupun tengah menghadapi Pemilu, namun idealnya urusan-urusan yang menyangkut kedaulatan negara tak sepenuhnya diabaikan.

Insiden ini kemudian membangkitkan kembali perdebatan lama tentang poros maritim yang menjadi doktrin politik luar negeri Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama hampir 5 tahun kepemimpinannya.

Lalu bagaimanakah insiden kapal Vietnam ini dimaknai secara keseluruhan?

Ketegangan Kedaulatan

Persoalan klaim batas wilayah perairan ini memang menjadi konflik yang sering terjadi, baik yang melibatkan Indonesia maupun negara-negara sekitarnya yang berkorelasi dengan persoalan di Laut China Selatan.

Hal ini juga didukung lokasi Laut Natuna yang merupakan bagian dari Laut China Selatan. Tidak hanya sekali Indonesia bersitegang dengan negara lain di wilayah ini. Bentrokan antara kapal Indonesia dan Tiongkok juga pernah terjadi. Sedangkan klaim Indonesia atas penguasaan perairan Laut Natuna Utara juga pernah memicu pertikaian diplomatik dengan Beijing.

Meskipun bukan negara yang frontal dalam perselisihan yang lebih luas atas konflik Laut China Selatan, Indonesia tetap menegaskan hak kedaulatannya atas perairan di sekitar Kepulauan Natuna. Sehingga, arti wilayah ini bagi kedaulatan NKRI juga teramat berarti.

Oleh karenanya, apa yang terjadi antara Vietnam dan Indonesia di Laut Natuna ini seolah menjadi sebuah peringatan, bahwa makna kedaulatan negara menjadi penting bagi sebuah bangsa yang merdeka. Meskipun Menhan meminta insiden ini tidak perpanjang, namun persoalan ini tak bisa dianggap remeh.

Pertanyaan utamanya tentu adalah terkait ada atau tidaknya unsur kesengajaan dari pihak Vietnam dalam insiden tabrakan kapal tersebut. Jika memang ada unsur kesengajaan, tentu ketegangan kedaulatan antara dua negara tetangga ini tak bisa terhindarkan.

Jika merujuk pada konsep realisme dalam hubungan internasional, kedaulatan akan menjadi dasar bagi sebuah negara dalam bertindak. Dalam hal ini, segala tingkah laku negara akan didasarkan pada kepentingan nasionalnya. Sehingga, interaksi negara pada kadar tertentu dapat memunculkan kooperasi, namun di sisi lain juga dapat memunculkan conflict of interest.

Hal ini selaras dengan pendapat Robert Axelrod dan Robert Keohane, bahwa sama halnya seperti kooperasi, hubungan antar negara juga berpotensi untuk berkonflik tergantung dari kepentingan yang ingin dicapai.

Dalam konteks hubungan Indonesia-Vietnam, setidaknya konflik kepentingan inilah yang membuat ketegangan hubungan diplomatik tak bisa terhindarkan.

Bisa saja sikap agresif kapal Vietnam merupakan ekspresi kejengahan atas sikap Indonesia yang cukup keras dalam hal diplomasi maritim. Hal ini tergambar dari kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti yang terkenal “garang” di mata nelayan-nelayan asing karena “hobi” menenggelamkan kapal.

Terlebih, nelayan Vietnam selama ini memang tercatat cukup rajin mengais rezeki di perairan Indonesia. Vietnam selama ini menjadi negara eksportir hasil laut terbesar mengalahkan Indonesia dan sangat mungkin terganggu dengan kebijakan-kebijakan Menteri Susi.

Pasalnya, pada tahun 2018 lalu Menteri Susi menyebutkan bahwa dari hasil penenggelaman 363 kapal pencuri ikan dalam 3 tahun, 188 di antaranya berasal dari Vietnam. Jumlah yang lebih dari separuh total kapal yang ditenggelamkan itu adalah yang terbesar, bahkan mencapai dua kali lipat jumlah kapal Filipina yang ada di urutan kedua.

Sehingga, memang terlihat adanya tarik menarik kepentingan ekonomi yang cukup kuat di antara kedua negara tetangga ini.

Oleh karenanya, insiden ini sesungguhnya adalah pertanda bahwa hubungan diplomatik antara Vietnam dengan Indonesia tak selalu berjalan mulus. Indonesia boleh punya Go-Jek yang melakukan ekspansi bisnis ke Vietnam. Namun, untuk persoalan di laut, keduanya sama-sama punya kepentingan.

Menggugat Poros Maritim Jokowi

Melihat ketegangan diplomatik antara Vietnam dan Indonesia karena insiden penabrakan kapal ini, penting untuk kembali membahas tentang visi politik luar negeri Indonesia melalui doktrin poros maritim yang selalu digembar-gemborkan Jokowi.

Vibhanshu Shekhar dan Joseph Chinyong Liow dalam sebuah artikel di Brookings Institute menyebutkan bahwa doktrin poros maritim Jokowi adalah sebuah langkah maju yang penting dalam upaya Indonesia untuk mengembangkan strategi grand maritime.

Visinya disebut-sebut melampaui gagasan keamanan maritim dan berupaya mengubah Indonesia menjadi kekuatan maritim dunia.

Jokowi juga disebut sebagai presiden pertama di Indonesia yang terpilih secara demokratis yang secara terbuka mengumumkan doktrin keamanan laut dan menempatkan doktrin ini sebagai wacana politik-strategis yang luas.

Sementara, menurut laporan CSIS, dari sisi penyelesaian batas maritim, realisasi kemajuan penyelesaian batas maritim telah tercapai 100 persen dari target melalui 35 perjanjian dengan empat negara, yaitu India, Vietnam, Malaysia dan Singapura. Berdasarkan laporan tersebut, Indonesia juga telah merundingkan batas maritim Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dengan Vietnam dan Malaysia.

Secara khusus, dengan Vietnam sendiri, sepanjang 2017 telah dilakukan 10 perundingan dan tiga di antaranya adalah perundingan teknis tentang batas ZEE.

Namun, insiden kapal Vietnam-Indonesia ini justru menunjukkan segala perundingan itu tak memiliki makna apapun.

Hal ini terlihat dari masih adanya tumpang tindih atas ZEE antara Indonesia dengan Vietnam. Setidaknya analisa itulah yang diungkapkan oleh Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana.

Hingga saat ini baik Indonesia maupun Vietnam belum memiliki perjanjian batas ZEE tersebut, sehingga saling klaim hak pun menjadi hal yang tak terhindarkan.

Dalam hal ini, KRI Tjiptadi-381 menganggap berwenang melakukan penangkapan terhadap kapal nelayan Vietnam. Namun, di sisi lain otoritas Vietnam dengan kapal coast guard-nya merasa KRI Tjiptadi-381 tidak berwenang melakukan penangkapan.

Selain paradoks diplomasi maritim tersebut, fakta bahwa tidak ada kesatuan visi tentang doktrin ini juga cukup terlihat dari kabinet Jokowi. Hal ini misalnya bisa dilihat dari ketidaksinkronan kebijakan antara Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dengan Menko Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan. Seperti yang ramai diberitakan media, Luhut adalah salah satu menteri yang mengkritik kebijakan penenggelaman kapal ala Susi.

Dengan demikian, doktrin poros maritim yang selama ini menjadi kebanggaan Jokowi kemudian patut dipertanyakan. Sudah sejauh mana ia berhasil? Benarkah gaung optimisme poros maritim di awal pemerintahannya sejalan dengan kondisi riil saat ini? Atau Indonesia saat ini tidak lagi menjadi negara yang ditakuti oleh tetangga-tetangga di sekitarnya? (M39)

Exit mobile version