Mayoritas masyarakat Indonesia adalah pemain video gim. Melihat ini, banyak politisi yang mulai terjun ke dunia video gim dan esport untuk mendapatkan dukungan dari para pemain. Apakah hal ini akan efektif? Lalu, bagaimana sebenarnya potensi video gim itu sendiri jika dilihat dari kacamata politik?
Zaman sekarang, siapa sih yang tidak pernah bermain video gim? Ke mana pun kita pergi, ke kafe, sekolah, atau perpustakaan sekalipun, kita pasti bisa menemukan ada satu atau dua orang yang sedang bermain video gim. Populernya, banyak orang saat ini gemar bermain Mobile Legends (ML), FreeFire, dan PlayerUnknown’s Battlegrounds Mobile (PUBGM).
Fenomena sosial modern ini tampaknya mulai diperhatikan oleh para politisi. Ketua Umum (Ketum) PSI, Giring Ganesha contohnya, menjadi Presiden Indonesia Esports Premier League (IESPL), tidak hanya untuk menyambut potensi besar industri video gim, tetapi juga memiliki keinginan mewadahi tingginya passion masyarakat Indonesia terhadap video gim, khususnya esport.
Kemudian, dari partai politik (parpol), juga mulai banyak terjun ke dunia gim. PDIP pada Oktober lalu menggelar turnamen esport di Solo, Jawa Tengah untuk menanggapi tingginya antusiasme anak muda terhadap video gim. FX Hadi Rudyatmo, Ketua DPC PDIP Solo, bahkan mengatakan acara ini adalah upaya partai untuk merubah imejnya menjadi partai yang modern dan dekat dengan kaum muda.
Di luar negeri bahkan lebih unik lagi. Politisi sekaligus anggota Kongres Amerika Serikat (AS), Alexandria Ocasio Cortez (AOC) menjadi streamer gim Among Us di platform Twitch. Bahkan di salah satu stream-nya, AOC berhasil menggalang dana sebesar US$200 ribu, yang disebutnya digunakan untuk membantu korban Covid-19. Terkadang, AOC juga mencoba menggiring para pemain gim untuk tidak menjadi golongan putih (golput) dalam politik AS.
Masuknya politisi ke dunia video gim kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah ini adalah langkah yang efektif untuk menaikkan elektabilitas?
Hanya Mengikuti Tren
Untuk membaca kenapa politik masuk ke sektor tertentu, kita perlu menyamakan para politisi dengan pegiat bisnis. Di era modern ini, video gim mulai mendominasi kehidupan sosial kita, survei dari lembaga riset YouGov mengatakan 77 persen penduduk Indonesia adalah pemain video gim. Oleh karena itu, wajar bila politisi melihat gim sebagai calon ladang elektabilitas yang baru.
Akan tetapi, sepertinya perlu dipahami oleh para politisi bahwa tujuan orang-orang bermain video gim bukanlah untuk melihat preferensi politik, melainkan untuk memuaskan beberapa kebutuhan psikologis mendasar.
Psikolog khusus video gim, Scott Rigby dalam bukunya Glued to Games: How Video Games Draw Us in and Hold Us Spellbound, mengatakan setidaknya ada tiga alasan kenapa orang tertarik pada video gim. Pertama, adalah escapism atau pelarian dari kenyataan. Video gim menawarkan dunia yang lebih fantastis dan menarik daripada dunia nyata, dan tanpa adanya batasan apapun, yang mampu mengikat kita layaknya bertindak di kehidupan nyata.
Kedua, rasa persaingan. Manusia selalu ingin merasa hebat dalam sesuatu, dan kita ingin diakui untuk itu. Di sisi lain, manusia juga sesungguhnya menikmati proses yang diperlukan untuk mencapai kehebatan itu. Pandangan seperti ini kita aplikasikan juga dalam kehidupan nyata dan terwujud sebagai keinginan kita untuk menempuh jalur karier tertentu atau melakukan hobi baru atau mempelajari sesuatu yang baru.
Ketiga, rasa ingin dianggap. Manusia sering merasa ingin berarti bagi orang lain dan mampu membuat perbedaan dalam suatu kelompok atau mayarakat. Fitur multiplayer yang diaplikasikan divideo gim daring, menimbulkan rasa dianggap tersebut. Namun, Scott mengatakan, kita juga dapat merasa penting dari karakter fiksi dalam video gim, melalui adanya dialog dan misi.
Mungkin faktor-faktor di atas lah yang membuat mengapa para politisi, contohnya seperti Giring, yang meskipun sudah lama berkecimpung dalam video gim dan esport, masih saja belum memiliki elektabilitas yang tinggi, padahal banyak kaum muda pemain gim yang sudah masuk ke usia pemilih.
Apa yang dilakukan politisi terhadap video gim saat ini hanya lah politics of mimicry atau politik peniruan. David J. Betz dalam tesisnya Politics of Mimicry – Politics of Exclusion, mengatakan politik peniruan adalah upaya seseorang menjadi orang yang lain, tanpa benar-benar memahami dan memiliki ketertarikan yang sama dengan orang yang ingin ditirunya.
Dari pandangan ini, kita mengartikan politisi sebagai orang yang ingin meniru antusiasme yang dianut dalam masyarakat, tetapi tidak bisa mendapatkan hasil yang maksimal karena memang video gim bagi masyarakat adalah murni untuk memuaskan kebutuhan psikologis, bukan mencari pandangan politik.
Lantas, apakah ini artinya video gim tidak mempan diinfiltrasi politik?
Video Gim Jadi Alat Retorika
Terkait kegunaan video gim dari perspektif politik, apa yang ditulis Joshua Foust dalam artikelnya Video Games are the New Contested Space for Public Policy, di laman Brookings, bisa menjadi pandangan yang menarik.
Foust mengutip penelitian Ian Bogost, yang menyebutkan bahwa video gim sebenarnya memiliki fungsi persuasif melalui konsep yang disebut procedural rhetoric atau retorika prosedural. Konsep ini maksudnya adalah video gim dapat dijadikan alat retorika politik yang sangat persuasif, karena disampaikan melalui metode penyampaian yang bertahap dan interaktif, namun memiliki efek yang lebih sublim atau mendalam dalam menanamkan suatu pandangan.
Dalam menyampaikan pesannya, video gim tidak hanya menampilkan kata-kata atau visual saja, tetapi juga membuat para pemain harus menjalani sebuah sistem yang aturan mainnya memang dibangun untuk membentuk ideologi atau perilaku tertentu.
Foust mencontohkan retorika ini melalui sejumlah gim perang seperti Call of Duty. Dalam permainan tentang Perang Dunia dan spekulasi perang masa depan tersebut, pemain dipersuasi untuk mendapatkan pandangan yang sangat realis dalam melihat permasalahan di dunia.
Sebagai permainan tembakan, karakter yang kita mainkan harus melalui beberapa skenario di mana dialog tidak bisa diandalkan untuk memecahkan masalah. Oleh karena itu, kekerasan dibuat sebagai solusi yang mau tidak mau harus dilakukan demi menciptakan perdamaian, dan ini secara cerdik disajikan dalam skenario yang membutuhkan pengambilan keputusan cepat, sehingga secara sublim, ini membuat kesan yang sangat bermakna.
Kemudian, pemain juga dibuat menjadi pribadi yang lebih nasionalis karena cerita yang disampaikan, menempatkan sang protagonis sebagai pahlawan yang ditimpa rintangan-rintangan sulit demi membela negaranya.
Di sisi lain, ideologi yang ditanamkan dalam video gim juga bisa dikambing hitamkan oleh politisi untuk melawan pandangan tertentu dalam masyarakat. Contohnya adalah kampanye Gamergate, sebuah gerakan daring di AS yang memiliki tujuan mengecam semakin meningkatnya perspektif feminisme dalam video gim.
Jon Stone dalam artikelnya Gamergate’s Vicious Right-Wing Swell Means There Can be No Neutral Stance mengatakan kampanye ini digunakan untuk memancing masyarakat konservatif AS agar memulai sebuah perang kultural dan ideologis melawan kaum liberal di Negeri Paman Sam.
Pada akhirnya, sejumlah media kemudian menduga bahwa kampanye tersebut dimanfaatkan untuk mengumpulkan calon pendukung mantan Presiden Donald Trump pada Pemilihan Umum (Pemilu) AS tahun 2016.
Lalu, bagaimana masa depan video gim dan politik itu sendiri?
Fondasi Kultur Masa Depan?
Apapun zamannya, permainan akan terus menjadi fondasi peradaban. John Huizinga dalam bukunya Homo Ludens: A Study of the Play-Element in Culture, mengatakan bahwa permainan adalah komponen yang sangat penting bagi pembentukan budaya dan karakter masyarakat.
Konsep bermain, menurutnya, adalah dasar bagaimana manusia membentuk keyakinan mereka tentang sistem berbasis aturan, yang merupakan fondasi peradaban modern. Video gim pada awalnya dibuat sebagai cara baru untuk bermain dengan komputer, tetapi telah berkembang menjadi produk bersistem kompleks yang dipenuhi dengan argumen politik tentang bagaimana dunia seharusnya bekerja.
Alfie Brown dalam artikelnya Video Games are Political mengatakan video gim sangat berpotensi menjadi katalis pandangan politik progresif. Kenyataannya, banyak video gim saat ini tampak berusaha mengajarkan kritik-kritik liberal terhadap isu terkini.
Gim Detroit, misalnya, yang menampilkan konsekuensi berbahaya jika manusia memberikan kebebasan berlebihan pada artificial intelligence (AI). Lalu gim Assassin’s Creed yang setiap serinya selalu membawa pandangan tentang pentingnya perlawanan dari kelompok minoritas dan terdiskriminasi untuk melawan pemimpin yang otoriter.
Pada akhirnya, penulis berpandangan, video gim sesungguhnya dapat menjadi alat politik yang sangat kuat, ia menawarkan apa yang tidak bisa dibawa melalui media populer lain, yaitu kemampuan dalam membentuk pola pikir melalui rasa keterlibatan langsung dalam suatu skenario politik.
Namun, rasanya perlu disadari juga bahwa jika politisi menggunakan video gim sekadar sebagai alat politik praktis untuk mendapatkan elektabilitas, niscaya itu tidak akan efektif, karena orang yang bermain video gim pada akhirnya hanya akan mendapatkan dua hal, yaitu kepuasan psikologis, dan pandangan baru dalam melihat kebobrokan dunia yang seharusnya bisa diperbaiki. (D74)