Papua tercatat sebagai salah satu daerah dengan capaian vaksin terendah. Apakah ini imbas dari minimnya kepercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah?
“A nation’s well being, as well as its ability to compete, is conditioned by single, pervasive cultural characteristic: the level of trust inherent in the society.” – Francis Fukuyama, dalam buku Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity
Kondisi pandemi Covid-19 di Papua dinilai terus memburuk. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua dr. Ricky Kayame memaparkan terjadi peningkatan pasien Covid-19 antara 300 sampai 400 persen jika dibandingkan dengan awal pandemi Maret 2020.
Dalam kesempatan yang sama, Ricky memaparkan hanya berdasarkan deteksi pasif tiap harinya terdapat penambahan kasus positif sebanyak 150-400 orang.
Ricky memperkirakan jika tracing dilakukan secara aktif dan masif saat ini kasus positif di Papua bisa menembus angka 60 ribu kasus.
Meningkatnya secara drastis angka kasus penularan Covid-19 di Papua diperburuk dengan tingkat capaian vaksinasi yang rendah. Hingga Senin (2/8) cakupan vaksinasi tahap pertama di Provinsi Papua baru mencapai 14,02 persen.
Yang artinya secara total baru 361.000 penduduk yang melakukan vaksin tahap pertama dari total 2.780.000 target vaksinasi.
Angka ini membuat Papua menjadi provinsi dengan capaian vaksin tahap pertama terendah kedua di Indonesia. Lantas, mengapa ini terjadi?
Faktor Traumatis?
Temuan menarik kembali diungkap oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua dr. Ricky Kayame yang memaparkan di balik angka capaian vaksinasi yang rendah ternyata vaksin tersebut juga didominasi oleh warga non-Papua.
Baca Juga: Membaca Keberadaan Ma’ruf Amin di Papua
Padahal survei yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) bersama dengan WHO dan Unicef terkait Vaccine Acceptance pada November2020, menunjukkan bahwa Provinsi Papua merupakan Provinsi dengan tingkat penerimaan vaksin tertinggi di Indonesia dengan presentase sebanyak 75 persen.
Persoalan ini tampaknya menjadi indikasi bahwa masyarakat Papua menolak divaksin justru setelah program vaksinasi itu berjalan.
Sebenarnya banyak faktor yang membuat masyarakat asli Papua menolak divaksin, di antaranya maraknya kabar berita bohong (hoaks) tentang vaksin. Namun melihat data survei penerimaan vaksin yang cukup tinggi sebelumnya, hal ini diyakini bukan faktor utama.
Ada faktor lain yang dianggap menjadi faktor dominan dari keengganan masyarakat Papua untuk divaksin, yaitu ketidakpercayaan dan trauma terhadap pemerintah.
Terkait hal ini peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Adriana Elisabeth memaparkan bahwa di Papua ketika ada isu, hampir pasti terkait dengan isu lain, terutama politik.
Sama halnya dengan kasus vaksin, saat ini masyarakat curiga apakah itu benar vaksin atau yang paling ekstrem mereka menduga program vaksinasi diduga membawa misi terselubung untuk mencelakakan masyarakat Papua.
Adriana menambahkan hal semacam itu tidak bisa dipisahkan dari memori kolektif mereka yang selama ini direpresi.
Salah satu tokoh masyarakat Papua sekaligus pimpinan Sinode Gereja Kingmi, Pendeta Benny Giay membenarkan hal ini.
Menurut Pendeta Benny, ketidakpercayaan terhadap pemerintah ini diperparah dengan cara pendekatan yang dinilai kurang tepat, yaitu pelibatan aparat TNI-Polri dalam pelaksanaan program vaksinasi di Papua.
Dengan riwayat konflik dan kekerasan di tanah Papua selama ini, Pendeta Benny menilai arahan ini tidak bijak, mengingat trauma sebagian besar warga.
Senada dengan Pendeta Benny, aktivis muda Papua Ambrosius Mulait memaparkan masyarakat Papua sendiri khawatir mendatangi tempat vaksinasi yang banyak dijaga aparat keamanan TNI-Polri.
Ambrosius menambahkan mereka trauma dikarenakan memori tentang banyaknya operasi keamanan di masa lampau yang dilakukan oleh pemerintah, sehingga apa pun program yang dilakukan pemerintah Indonesia, hal ini menurutnya menjadi sangat sensitif untuk orang asli Papua.
Kekhawatiran dan trauma warga Papua terhadap program vaksinasi dan pelibatan aparat dalam pelaksanaannya menurut Amnesty International memiliki alasan yang sangat mendasar.
Amnesty International memaparkan trauma atas kekerasan hak asasi manusia (HAM) di Papua jelas ada, dan itu dikatakan sebagai trauma turun temurun yang bisa diwariskan dari orang tua pada anak. Sejarah mencatat, sejak Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949 hingga saat ini, begitu banyak “operasi militer” yang terjadi di Papua.
Eben Kirksey seorang antropolog dari Deakin University, mengisahkan kecurigaan yang dirasakan oleh masyarakat Papua juga dirasakan oleh warga kulit hitam Amerika Serikat (AS) saat pemerintah merencanakan vaksinasi.
Di AS, kecurigaan cepat terkikis karena melihat peran Kizzmekia Corbett, ilmuwan kunci di balik pengembangan vaksin Covid-19. Corbett adalah orang Afro-Amerika.
Komparasi dari Kirksey sendiri memang dapat menimbulkan perdebatan terutama soal persamaan bias isu rasial yang terjadi. Di AS mungkin jelas mereka mempunyai sejarah panjang terkait diskriminasi rasial, namun apakah kondisi ini sama seperti di Papua? Itu yang masih menjadi perdebatan.
Namun dari sini kita bisa belajar dari AS, salah satu cara paling ampuh untuk mengikis rasa kecurigaan adalah dengan cara membangun kepercayaan atau trust building.
Baca Juga: Sulit Jokowi Selesaikan Isu Papua
Penelitian yang dilakukan oleh LIPI di Papua memaparkan trust building merupakan tahapan terpenting dalam proses rekonsiliasi karena konflik kekerasan (violent conflict) sulit diselesaikan tanpa adanya saling percaya.
Pendekatan trust building dan rekonsiliasi dinilai dapat menghilangkan atau paling tidak mengurangi rasa curiga (prejudice), disharmoni (disharmony), dan rasa tidak percaya (distrust) antara aktor-aktor yang berkonflik di Papua.
Lalu, bagaimana cara membangun trust building tersebut?
Butuh Pendekatan Baru
Salah satu cara untuk membangun kembali kepercayaan adalah merubah pendekatan lama. Dalam kasus ini, salah satu yang dapat ditempuh guna membangun kembali kepercayaan masyarakat Papua dalam program pelaksanaan vaksin dan penanganan pandemi secara umum, ialah mengurangi keterlibatan militer.
Pendeta Benny sendiri menyarankan, selain mengurangi keterlibatan militer, di sisi lain perlu juga untuk lebih melibatkan relawan kelompok sipil yang terdiri dari tokoh masyarakat dan gereja yang dinilai mempunyai kedekatan serta keterikatan sosial lebih dengan masyarakat.
Namun demikian, permintaan Pendeta Benny sepertinya “masih” bertentangan dengan sikap pemerintah.
Tidak lama sebelum pernyataan Benni tersebut, TNI mengeluarkan konsep “perang gerilya” untuk penanganan Covid-19 di semua daerah, termasuk Papua. Dalam satu kesempatan, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto memaparkan bahwa dirinya yakin masyarakat Papua bisa menerima konsep ini.
Hadi menambahkan bahwa prajurit TNI sampai saat ini masih memiliki hubungan yang baik dengan warga Papua, sehingga anggapan soal ada rasa traumatis jika TNI terlibat dalam penanganan pandemi di Papua menurutnya tak perlu dikhawatirkan.
Belum habis sampai di sini, beberapa saat lalu muncul lagi wacana program vaksinasi door to door yang diselenggarakan oleh Badan Intelijen Negara (BIN) di 14 provinsi termasuk Papua.
Political will dari pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan ini pun patut dipertanyakan. Berbagai pihak menilai Jakarta seharusnya tidak mungkin tidak tahu terkait kondisi ini. Jika situasi seperti ini terus terjadi, jelas kondisi sulit akan semakin membaik di Papua.
Dalam literatur ilmu politik, trust atau “kepercayaan” merupakan fondasi utama untuk membangun legitimasi politik dan keberlanjutan sistem demokrasi.
Francis Fukuyama dalam bukunya Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity memaparkan kesejahteraan sebuah negara, seperti kemampuannya untuk bersaing, ditentukan oleh karakteristik tunggal, yaitu tingkat kepercayaan yang melekat dalam masyarakat.
Untuk memperkuat argumennya tentang kepercayaan, Fukuyama meminjam pemikiran James Coleman tentang “modal sosial”.
Kata kunci pemikiran Coleman adalah pada adanya kemampuan masyarakat bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. Hal itu dilakukan jika ada kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi satu sama lain atau saling berhubungan.
Menurut Fukuyama, kemampuan untuk berasosiasi ini sangat tergantung pada kemauan untuk saling berbagi dalam mencari titik temu norma-norma dan nilai-nilai bersama.
Jika titik temu etis-normatif ini ditemukan, maka pada gilirannya kepentingan-kepentingan individual akan tunduk pada kepentingan-kepentingan komunitas kelompok. Dari nilai-nilai bersama ini akan bangkit apa yang disebut trust.
Dalam konteks Papua, pemerintah menghadapi berbagai tantangan untuk membangun kembali rasa trust dari masyarakat.
Baca Juga: Mungkinkah Dialog Papua Terwujud?
Persoalan vaksin ini hanya salah satu indikator dari suatu masalah besar terkait trust issues yang terjadi antara masyarakat Papua dengan pemerintah. Momenutum penanganan pandemi Covid-19 ini seharusnya bisa menyadarkan pemerintah untuk merubah pendekatan mereka terhadap Papua.
Dalam kasus ini sebaiknya pemerintah membuka dialog dan mendengar masukan dari beberapa tokoh masyarakat dan pimpinan gereja di tanah Papua.
Seperti yang telah disinggung di atas, para tokoh masyarakat dan pimpinan gereja di Papua sendiri meminta pemerintah mengurangi pelibatan aparat keamanan dan memperbanyak peran sipil serta tokoh gereja dalam proses vaksinasi.
John Locke dalam buku Two Treatises of Government memaparkan bahwa dominasi negara yang dominan mengatur rakyat, hanya akan menyebabkan hilangnya hak-hak rakyat dan ketidakberdayaan rakyat menghadapi kekuasaan negara.
Mengurangi keterlibatan negara, khususnya aparat militer dan memperbanyak peran kelompok sipil yang dinilai punya kedekatan dan keterikatan sosial dengan masyarakat Papua, diharapkan dapat menumbuhkan nilai-nilai bersama yang nantinya akan muncul sebuah “kepercayaan”.
Well, bukankah Presiden Jokowi sendiri yang memerintahkan untuk menyelesaikan segala permasalahan di Papua menggunakan pendekatan damai dengan dialog tanpa ada pendekatan senjata. (A72)