Inggris, Rusia, dan Amerika Serikat yang akan memulai vaksinasi Covid-19 di bulan Desember tampaknya menjadi angin segar bagi Presiden Jokowi. Namun, ambisi vaksinasi nyatanya banyak dinilai sebagai jalan pintas karena pemerintah tidak mampu mengeluarkan kebijakan penanganan pandemi yang baik. Lantas, tepatkah sinisme tersebut?
Ada kekompakan menarik yang sedang terjadi di Amerika Serikat (AS) saat ini. Mantan Presiden AS, Barack Obama, George W. Bush, dan Bill Clinton memutuskan untuk menjadi sukarelawan vaksin Covid-19. Rencananya, vaksinasi ketiganya akan disiarkan untuk mempromosikan keamanan vaksin kepada publik.
Sampai saat ini, AS termasuk dalam tiga negara pertama yang mengumumkan akan melakukan vaksinasi di bulan Desember. Dua negara lainnya adalah Inggris dan Rusia. Jika Rusia menggunakan vaksin Sputnik V, maka Inggris dan AS menggunakan vaksin buatan Pfizer/BioNTech bernama BNT162b2. Selain Pfizer, AS juga menggunakan vaksin buatan Moderna.
Berita tersebut tentunya menjadi angin segar bagi negara-negara yang tengah menunggu kehadiran vaksin saat ini, termasuk Indonesia. Seperti yang diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah lama menunjukkan ambisi agar vaksin dapat segera mungkin didapatkan.
Pada 17 November lalu, Presiden Jokowi bahkan mengutarakan bahwa dirinya siap apabila diminta sebagai pihak pertama yang disuntik vaksin Covid-19. Lalu, terkait sektor ekonomi , Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati juga telah menegaskan bahwa tidak ada pemulihan ekonomi di seluruh dunia sampai seluruh negara mendapatkan akses vaksin Covid-19.
Namun, di tengah ambisi Presiden Jokowi terhadap vaksin, berbagai sentimen minor nyatanya jamak bermunculan. Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman, misalnya, menyebutkan vaksin bukanlah solusi ajaib untuk setiap pandemi, terutama dengan karakteristik Covid-19.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono juga menegaskan bahwa seharusnya pemerintah fokus mendorong testing, tracing, treatment (3T) daripada hanya fokus ke ketersediaan obat dan vaksin yang belum tentu manjur. Ia bahkan menyebutkan bahwa masker memberikan efek perlindungan yang jauh lebih besar dibandingkan vaksin yang nantinya ada.
Mengacu pada kritik terkait pengadaan vaksin, khususnya dari para epidemiolog, mungkinkah keputusan Presiden Jokowi untuk fokus pada pengadaan vaksin memang benar-benar keliru?
The Impossibility of Perfection
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, begitu menarik agaknya untuk melihat pemikiran pragmatisme filsuf Amerika-Jerman, Nicholas Rescher. Dalam bukunya The Pragmatic Vision. Themes in Philosophical Pragmatism, Rescher memberikan pembelaan penting terkait berbagai kritik keras terhadap metode induksi yang jamak digunakan dalam ilmu pengetahuan.
Berbeda dengan metode deduksi yang menarik kesimpulan berdasarkan rangkaian struktur premis, induksi adalah metode penarikan kesimpulan yang menitikberatkan pembuktian tesis berdasar pada observasi empiris. Dalam epistemologi disebut dengan korespondensi dengan realitas.
Namun, yang menjadi persoalan adalah, terdapat gap yang begitu lebar antara objek yang telah berhasil diobservasi dengan realitas itu sendiri. Artinya, induksi memiliki masalah fundamental karena telah melakukan reduksi realitas.
Roberto Gronda dalam tulisannya Nicolas Rescher, Pragmatism. The Restoration of Its Scientific Roots; The Pragmatic Vision. Themes in Philosophical Pragmatis menyebutkan bahwa dalam The Pragmatic Vision. Themes in Philosophical Pragmatism, Rescher menyebut induksi sebagai alat (tool) yang mungkin bukan jawaban terbaik yang ada (best possible answer)tapi merupakan jawaban terbaik yang tersedia(best available answer).
Lengkapnya, induksi adalah jawaban terbaik yang tersedia berdasarkan bukti yang ada (best available answer based on available evidences).
Dengan kata lain, memang benar induksi telah melakukan reduksi realitas, sehingga mungkin saja kesimpulan yang didapatkan tidak representatif. Namun, berdasarkan bukti-bukti yang saat ini dimiliki, itulah kesimpulan yang paling mungkin didapatkan. Menurut Gronda, Rescher hendak memberikan jalan tengah atas masalah keterbatasan manusia dalam menjembatani kesenjangan antara data parsial yang telah didapatkan dan pengetahuan obyektif yang hendak dituju.
Jawaban yang diberikan Rescher, agaknya menjadi jawaban atas paradoks yang disebut dengan the impossibility of perfectionatau ketidakmungkinan kesempurnaan. Kendati konsep tersebut lebih ditujukan untuk menjelaskan persoalan etis, di mana pencarian kebahagiaan atau nilai yang sempurna dipandang sebagai proyek yang mustahil, paradoks the impossibility of perfection pada dasarnya terjadi di berbagai lini kehidupan manusia.
Pada persoalan ilmu pengetahuan, misalnya, sampai saat ini tidak terdapat metode yang memungkinkan manusia untuk menangkap realitas secara objektif dan utuh. Faktornya banyak, mulai dari bias peneliti, keterbatasan metode observasi, hingga ketidakmungkinan mengkaji realitas secara keseluruhan. Ini membuat mengapa penelitian selalu memiliki batasan atau ruang lingkup untuk memudahkan pengumpulan data atau melakukan observasi.
Dalam lingkup politik, the impossibility of perfection juga kerap terjadi. Pada persoalan distribusi kekayaan, misalnya, sampai saat ini belum ditemukan metode untuk membagi kekayaan secara merata, namun kritik atas kesetaraan kekayaan selalu dielukan.
Bahkan, katakanlah negara secara paksa membagi kekayaan kepada setiap warganya, itu memiliki konsekuensi moral tersendiri karena mereka yang bekerja keras merasa diberlakukan diskriminatif karena mereka yang bermalas-malasan mendapatkan imbalan yang setara. Ini kemudian menjadi jantung kritik dari libertarianisme.
Best Available Answer?
Setelah memahami the impossibility of perfection dan pembelaan Rescher terhadap induksi, sekarang kita akan mengadopsi kedua konsep tersebut untuk memahami situasi Presiden Jokowi, khususnya perihal ambisinya terhadap vaksin Covid-19.
Sebagaimana diketahui, setiap kebijakan publik mestilah ditelurkan atas riset, teori, serta disesuaikan dengan kondisi yang sedang dihadapi. Artinya, kebijakan publik tidak mungkin bersifat deduktif, melainkan induktif karena terdapat korespondensi dengan realitas masalah.
Singkatnya, kebijakan Presiden Jokowi untuk menjadikan vaksin sebagai jantung harapan, tentunya berdasar pada proses induksi yang merangkum berbagai persoalan lapangan yang ada.
Di titik ini, mungkin ada yang mengatakan bahwa keputusan tersebut bukanlah yang terbaik. Iya, itu benar. Namun, yang menjadi pertanyaan krusial adalah, mungkinkah jawaban yang terbaik itu mungkin untuk dilakukan?
Mengacu pada berbagai kritik epidemiolog, idealnya pemerintah memang melakukan lockdown dan fokus pada 3T. Tapi persoalannya adalah, sudah terlambat untuk melakukan lockdown. Saat ini virus telah menyebar ke seluruh provinsi. Selain itu, dengan kondisi ekonomi saat ini, tentu tidak bijak untuk menerapkan lockdown.
Lalu terkait 3T, idealnya itu memang harus terus dimaksimalkan. Namun persoalannya, terdapat ketimpangan SDM di lapangan, lab pengujian sampel yang masih terbatas, dan perencanaan jangka panjang penanganan pandemi yang sepertinya belum dimiliki.
Konteks ketidaksiapan tersebut bahkan dengan jujur diakui oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan yang menyebut keadaan seperti ini memang tidak diduga. Sehingga memang benar pemerintah tidak siap menghadapi pandemi Covid-19.
Lagipula, apabila membandingkan dengan negara-negara yang sukses menangani pandemi, seperti Taiwan, Korea Selatan, Vietnam, Singapura ataupun Selandia Baru, terdapat berbagai variabel kunci yang menjadi pembeda. Mulai dari jumlah penduduk, luas wilayah, budaya, hingga sistem kesehatan yang sudah terintegrasi.
Konteks tersebut juga yang ditekankan oleh Presiden Jokowi bahwa setiap negara memiliki karakter, budaya, dan kedisiplinan yang berbeda-beda. Mengacu pada the impossibility of perfection, bagaimana mungkin variabel pembeda tersebut diselesaikan dalam waktu singkat? Sekiranya itu adalah proyek yang mustahil.
Singkatnya, bertolak pada segala keterbatasan yang ada, mungkin dapat disimpulkan bahwa ambisi terhadap vaksin merupakan jawaban terbaik yang tersedia atas kondisi kita saat ini. Namun, kendatipun vaksin adalah jawaban terbaik yang tersedia, ihwal tersebut tidak boleh membuat pemerintah tutup mata atas persoalan yang menghantui setelah vaksin tersedia.
Pandu Riono, misalnya, mempertanyakan kebijakan Presiden Jokowi yang meminta daerah melakukan simulasi vaksinasi Covid-19. Menurutnya, yang lebih penting justru mempersiapkan rantai pasok agar vaksin dapat didistribusikan ke seluruh Indonesia.
Lalu ada pula persoalan vaksin yang tidak disediakan gratis untuk seluruh masyarakat. Persoalan itu mungkin dapat dijawab jika kondisi keuangan negara memang tidak memungkinkan demikian. Namun, apabila tidak, seperti yang menjadi kritik pengamat kebijakan publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, vaksin yang dipatok Rp 400-600 ribu dapat ditafsirkan sebagai bisnis negara kepada warga negaranya sendiri.
Bagaimana pun, tentu kita berharap pemerintahan Jokowi dapat menelurkan kebijakan terbaiknya untuk segera mengakhiri pandemi. Kita nantikan saja kelanjutan persoalan vaksin Covid-19. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)