HomeNalar PolitikVaksin Ditantang, Jokowi “Menendang”

Vaksin Ditantang, Jokowi “Menendang”

Beberapa waktu yang lalu, tiga mantan Presiden AS mengumumkan akan menjadi sukarelawan vaksin Covid-19 untuk meyakinkan keamanan vaksin. Langkah tersebut juga dilakukan Presiden Jokowi dengan menegaskan siap mendapat vaksinasi pertama. Ini tentu patut diapresiasi karena eks Wali Kota Solo itu telah menerapkan konsep skin in the game dari Nassim Nicholas Taleb.


PinterPolitik.com

Finally and centrally, skin in the game is about honor as an existential commitment” – Nassim Nicholas Taleb, dalam Skin in the Game: Hidden Asymmetries in Daily Life

Siapa yang tidak ingin keluar dari pandemi Covid-19? Atas hasrat tersebut berbagai kebijakan telah ditelurkan sejak pandemi ini mulai tercium pada Maret lalu. Mulai dari memberlakukan lockdown (karantina wilayah), melakukan tracing pihak-pihak yang memiliki kontak dengan pasien, hingga mengupayakan vaksin Covid-19.

Namun, melihat pada perkembangannya, kebijakan vaksin sepertinya menjadi senjata pamungkas, khususnya bagi negara dengan wilayah luas dan penduduk yang padat. Ihwal tersebut memang menjadi fokus yang tidak terhindarkan karena kebijakan lockdown memiliki dampak ekonomi yang mengkhawatirkan.

Di Indonesia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga telah lama menunjukkan ambisi atas vaksin Covid-19 yang dinilai dapat mengakhiri pandemi. Di luar berbagai sinisme terhadap ambisi tersebut, memang harus diakui, dengan kondisi saat ini vaksin adalah opsi yang paling memungkinkan bagi pemerintah.

Baca Juga: Vaksin Harapan Jokowi, Apa Salahnya?

Tidak hanya dari segi sinisme karena vaksin dinilai seperti jalan pintas, masalah lain juga mencuat di tengah masyarakat. Atas derasnya konspirasi mengenai Covid-19 sejak awal pandemi, tidak sedikit masyarakat yang ragu bahkan tidak ingin divaksinasi.

Sadar atas masalah ini, untuk kedua kalinya, Presiden Jokowi kembali menegaskan bahwa dirinya siap menjadi orang pertama yang divaksinasi. Tujuannya jelas, untuk meyakinkan keamanan vaksin Covid-19 kepada masyarakat.

Sama dengan Presiden Jokowi, pada awal Desember, tiga mantan Presiden Amerika Serikat (AS), yakni Barack Obama, George W. Bush, dan Bill Clinton juga memutuskan menjadi sukarelawan vaksin Covid-19. Nantinya, vaksinasi ketiganya akan disiarkan untuk mempromosikan keamanan vaksin kepada publik AS.

Penegasan kembali Presiden Jokowi ini juga menjadi jawaban atas saran yang dikemukakan oleh Abdullah Gymnastiar (Aa Gym). Menurutnya, agar terbentuk kepercayaan di tengah masyarakat, para pejabat elite seperti Presiden, Wakil Presiden, Ketua MPR, Ketua DPR, para menteri, dan para jenderal memang harus yang divaksin terlebih dahulu.

Memang patut diapresiasi, penegasan tersebut menunjukkan Presiden Jokowi telah menerapkan konsep skin in the game dari polimatematikawan, Nassim Nicholas Taleb. Konsep apakah itu?

Kesetaraan Permainan

Dalam tulisannya yang berjudul What do I mean by Skin in the Game? My Own Version, Taleb mendefinisikan skin in the game sebagai hubungan simetris yang mengatur keseimbangan antara insentif dan disinsentif. Ini adalah mekanisme yang mengatur hal positif akan mendapatkan insentif (keuntungan), dan hal negatif akan mendapatkan disinsentif (kerugian).

Baca juga :  Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Penggunaan kata skin merujuk pada setiap aktor yang terlibat dalam suatu tatanan yang disebut sebagai game. Pada prinsipnya, game yang ideal akan terjadi apabila setiap aktor  yang terlibat memiliki kesempatan yang sama untuk menerima risiko, baik itu risiko positif maupun risiko negatif.  Skin in the game juga disebut sebagai prinsip kesetaraan permainan.

Menurut Taleb, sering kali skin in the game tidak terjadi karena terdapat aktor yang tidak mendapatkan risiko dari game yang dimainkan. Taleb misalnya mencontohkan seorang pengajar teori evolusi yang mendidik muridnya untuk memercayai teori tersebut, tapi sang pengajar justru tidak percaya pada teori evolusi yang diajarkannya.

Baca Juga: Sudah Waktunya Jokowi Pecat Terawan?

Dalam bukunya Skin in the Game: Hidden Asymmetries in Daily Life, Taleb menyebutkan skin in the game sebagai honor as an existential commitment atau penghormatan atas komitmen eksistensial – Ini adalah honorable life. Maksudnya, itu adalah komitmen yang berdasar atas ketulusan seseorang untuk menerima setiap risiko atas tindakan ataupun ucapannya.

Taleb menulis, “If you not take risks for your opinion, you are nothing.” Kira-kira maksudnya, jika Anda tidak berani menerima risiko atas opini yang Anda keluarkan, maka Anda bukanlah seorang yang terhormat.

Mengacu pada skin in the game, dapat dikatakan Presiden Jokowi telah menerapkan prinsip kesetaraan permainan. Berbeda dengan contoh pengajar teori evolusi, mantan Wali Kota Solo tersebut tidak hanya meminta masyarakat untuk divaksin, melainkan juga menjadi pihak pertama yang mendapatkan vaksinasi.

Terlebih lagi, sebelum adanya pengumuman ketiga mantan Presiden AS menjadi sukarelawan vaksin, pada pertengahan November lalu, Presiden Jokowi sudah menegaskan komitmennya untuk siap divaksin pertama. Di sini jelas itu menunjukkan penegasan yang ada bukanlah gimmick politik semata, melainkan bentuk keteguhan agar kepercayaan masyarakat dapat terbentuk.

Tidak berlebihan sekiranya untuk mengatakan bahwa Presiden Jokowi tengah menunjukkan kualitasnya.

Selain skin in the game, terdapat satu hal lagi yang dapat dimaknai dari penegasan kembali Presiden Jokowi tersebut. Apakah itu?

Kebenaran dan Konsistensi

Jika ditanya apakah kita menginginkan kebenaran, pasti kita akan menjawab “ingin”. Namun, pernahkah kita bertanya, apa kebenaran itu? Setiap hari kita mungkin membicarakannya sembari meminum kopi, tapi apa itu kebenaran? Bagaimana manusia mengenal (rekognisi) suatu hal adalah kebenaran atau bukan?

Baca juga :  Rumah Jokowi “Diseruduk” Banteng?

Jan Woleński dalam tulisannya Truth and Consistency menyebutkan intuisi dasar manusia untuk mengenali kebenaran adalah konsistensi. Tapi menariknya, konsistensi disebut tidak selalu berimplikasi pada kebenaran.

Maksudnya adalah, secara kognitif otak menyimpulkan suatu hal sebagai kebenaran karena menemukan konsistensi di dalamnya. Misalnya, ketika Naruto mengatakan mencintai Hinata, maka kognisi Hinata akan menilai benar apabila melihat konsistensi dari usaha Naruto untuk meyakinkannya. Ini adalah konteks psikologis.

Namun, apabila kita berbicara pada kebenaran sebagai suatu ideal atau konsep, jawabannya menjadi rumit. Contoh ekstrem hal tersebut dapat kita lihat dari propaganda Nazi bahwa Jerman atas ras unggul.

Dengan mengulangi narasi tersebut secara terus-menerus (konsistensi), masyarakat Jerman menjadi percaya bahwa mereka adalah ras unggul yang harus berdiri di atas ras lainnya. Ini adalah konteks substansi.

Baca Juga: Vaksin Gratis Jokowi, Beban Sri Mulyani?

Rolf Dobelli dalam bukunya The Art of Thinking Clearly mendemonstrasikan hal tersebut melalui eksperimen yang dilakukan oleh psikolog Solomon Asch pada tahun 1950-an. Eksperimen tersebut sangat sederhana, peserta hanya diminta untuk memilih yang paling panjang dari tiga ranting yang disediakan.

Menariknya, Asch membuat skenario dengan meminta beberapa orang untuk menunjuk ranting yang pendek sebagai yang paling panjang. Alhasil, peserta yang melihat peristiwa itu turut menunjuk ranting tersebut sebagai yang paling panjang.

Perbedaan kedua konteks tersebut adalah, pada konteks psikologis diterangkan bahwa secara psikologis kebenaran memang dimaknai dari konsistensi suatu hal. Namun dalam konteks substansi, konsistensi bukanlah jaminan kebenaran jika bertolak belakang dari konsep kebenaran yang telah ditetapkan atau kontras dengan realitas yang ada.

Nah sekarang pertanyaannya, konteks apa yang sedang dibangun oleh Presiden Jokowi? Apakah psikologis, ataukah substansi? Jawabannya adalah keduanya.

Pertama, seperti yang ditekankan oleh Presiden Jokowi, penegasannya untuk divaksin pertama bertujuan untuk meyakinkan masyarakat. Artinya, mantan Wali Kota Solo tersebut bermaksud memperlihatkan konsistensinya di hadapan publik.

Kedua, berbeda dengan propaganda Nazi yang tidak memiliki pembuktian empiris, sehingga tidak memenuhi kaidah substansi kebenaran, vaksinasi yang akan dilakukan oleh Presiden Jokowi akan berujung pada kebenaran substansi jika nantinya vaksin tersebut terbukti tidak membahayakan dirinya.

Singkatnya, tidak terdapat tabrakan antara konsistensi pernyataan dengan pembuktian empiris. Tentunya jika nantinya vaksin terbukti aman.

Pada akhirnya, sekarang adalah waktu yang akan membuktikan apakah pernyataan Presiden Jokowi tersebut adalah gimmick politik atau bukan. Menarik ditunggu kelanjutannya. (R53)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...