Site icon PinterPolitik.com

Vaksin Covid-19, Manuver Rahasia Airlangga?

Vaksin Covid-19, Manuver Rahasia Airlangga

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sekaligus Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), Airlangga Hartarto. (Foto: theiconomics)

Dengan kewenangannya, Airlangga Hartarto tampil sebagai tokoh yang cukup prominen dalam penanganan Covid-19 di Indonesia, termasuk dalam akselerasi pengadaan vaksin secara masif meski terdapat keraguan atas efektivitas dan keampuhannya. Lalu, adakah intensi politik tertentu di balik peran Airlangga tersebut?


PinterPolitik.com

Hembusan angin segar atas upaya pemerintah untuk memborong vaksin Covid-19 dari berbagai produsen asing mendapat praduga pesimisme empiris dari beberapa ahli yang meragukan efektivitas dari antivirus tersebut.

Epidemiolog Griffith University Dicky Budiman misalnya, menyebut bahwa pemerintah harus berhati-hati dengan implementasi program vaksinasi Covid-19 pada November 2020 mendatang. Karena hingga saat ini Ia menganggap belum ada vaksin yang dinyatakan lulus uji secara ilmiah, standar keamanan, dan efektivitas.

Belajar dari pandemi flu babi, inisiatif banyak negara untuk menggunakan vaksin yang belum selesai riset dan uji klinis telah menyebabkan musibah yang fatal. Kala itu, terjadi narkolepsi, gangguan neurologis kronik akibat otak kehilangan fungsi pengaturan bangun dan tidur pada sebagiana pengguna vaksin.

Hal serupa juga dikemukakan Prof. Kusnandi Rusmil yang merupakan Ketua Tim Uji Riset Vaksin Covid 19, Universitas Padjajaran (Unpad), hingga Epidemiolog Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono.

Sementara ahli biostatistik dari University of Florida Dr. Natalie Dean menyebut bahwa vaksin generasi pertama memiliki tingkat keampuhan dan efektivitas yang kecil untuk diharapkan.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) yang juga Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), Airlangga Hartarto menyiratkan tingginya keseriusan pemerintah saat mengumumkan bahwa ratusan juta dosis vaksin akan didatangkan dari sejumlah produsen vaksin luar negeri seperti Sinovac, Cansino, Sinopharm, hingga AstraZeneca.

Khusus produsen terakhir, Airlangga mengatakan bahwa pemerintah akan memesan 100 juta dosis dari produsen asal Britania Raya tersebut dan telah menyiapkan down payment atau uang muka sebesar US$ 250 juta atau sekitar atau Rp 3,67 triliun.

Lebih lanjut, sosok yang juga Ketua Umum Partai Golkar itu menyampaikan berdasarkan hitungan pemerintah, total masyarakat Indonesia yang akan divaksinasi sebanyak 160 juta orang dengan kebutuhan 320 juta dosis vaksin. Dari total tersebut, Airlangga memastikan kebutuhan untuk 135 juta orang sudah diamankan dengan ketersediaan hingga 270 juta dosis tahun depan.

Vaksinasi itu diprioritaskan pada mereka yang memiliki tingkat kerentanan terkena virus yang tinggi, mulai dari tenaga kesehatan, aparat keamanan, petugas pelayanan publik, serta tenaga pendidik.

Pemerintah sendiri telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi untuk mengakselerasi upaya tersebut.

Dengan asumsi bahwa keraguan para ahli seperti yang telah disebutkan sebelumnya tentu telah dikalkulasi, mengapa pemerintah tetap bersikeras memborong vaksin dengan nilai fantastis dan mengakselerasi vaksinasi Covid-19 secepat mungkin? Serta apakah ada makna tertentu dari upaya tersebut dengan prominennya peran Airlangga secara spesifik di dalamnya?

Alternatif Logis?

Berdasarkan sejarahnya, proses dan implementasi sebuah vaksinasi memang cukup problematik. Apalagi ketika bersentuhan dengan aspek politik dari kebijakan pemerintah yang mendasari pengadaan vaksin beserta upaya vaksinasi massal itu sendiri.

Christine Holmberg, Stuart Blume, dan Paul Greenough dalam The Politics of Vaccination menyebutkan bagaimana aspek politik cukup berpengaruh di balik kebijakan vaksinasi nasional, seperti yang terjadi di sejumlah negara komunis Eropa Timur saat perang dingin, hingga kebijakan pengadaan vaksin yang bersinggungan dengan keamanan nasional di Meksiko saat mengupayakan vaksinasi wabah cacar di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Sementara untuk melihat motifnya, secara umum upaya pengadaan vaksin beserta proses vaksinasi untuk menangkal sebuah wabah juga dapat dilihat sebagai sebuah bentuk political survival atau keberlangsungan politik bagi sebuah pemerintahan.

Konsep political survival sendiri disinggung oleh Lindsay Whitfield dan Ole Therkildsen dalam tulisannya yang berjudul What Drives States to Support the Development Of Productive Sectors?: Strategies Ruling Elites Pursue for Political Survival and Their Policy Implications.

Menurut Whitfield dan Therkildsen, political survival merupakan motivasi utama dan kunci mengapa penguasa atau pemerintah mendorong kebijakan tertentu. Kebijakan penyediaan “kebutuhan”, terutama yang esensial digunakan secara strategis untuk “membeli” sesuatu dari publik seperti reputasi, citra, dan dukungan.

Pada konteks pengadaan vaksin secara masif yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, agaknya dapat dimaknai sebagai bentuk political survival dari pemeritahan di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Sebagaimana yang telah diketahui, sejauh ini penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia masih terus menghadapi tantangan yang kian hari kian problematis. Persoalan terkait anggaran yang tidak terserap maksimal hingga kemampuan teknis menekan penyebaran virus, terus mendapat sorotan yang kebanyakan tak menguntungkan bagi citra pemerintah.

Tentu dengan menempuh langkah signifikan dengan memborong ratusan juta vaksin secara politis akan jauh lebih baik dibandingkan tidak melakukan apa-apa atau menunggu vaksin benar-benar ampuh yang penuh dengan ketidakpastian.

Langkah dan keseriusan yang ditunjukkan itu juga secara strategis akan menjadi political survival pemerintah di depan publik atas reputasi yang kurang positif selama penanganan pandemi.

Dan nyatanya, Indonesia juga tak sendiri. Ketika negara berkembang lain seperti India, Turki, Thailand, hingga Kazakhstan disebut menjadi “pemburu” vaksin Covid-19 yang cukup aktif.

Sejumlah negara tersebut juga dinilai sedang mengupayakan political survival di balik memaksimalkan pengadaan vaksin Covid-19, ketika penanganan pandemi maupun kondisi politik domestiknya dinilai kurang memuaskan publik seperti yang terjadi di India maupun Thailand.

Tak hanya itu, Operation Warp Speed untuk menggenjot temuan dan produksi vaksin di Amerika Serikat (AS) pun disebut merupakan strategi political survival dari Presiden Donald Trump demi menyongsong Pilpres November mendatang.

Pada konteks Indonesia sendiri, sosok yang cukup sering tampil dan menonjol di balik upaya pengadaan vaksin Covid-19 secara masif ialah Airlangga Hartarto. Menjadi menarik untuk ditelisik, selain karena dinilai merupakan kombinasi dari posisi yang diampunya plus sebagai bentuk political survival pemerintah, apakah eksistensi Airlangga memiliki tujuan politis lain di masa yang akan datang?

Airlangga Suksesor Jokowi?

Ashutosh Dwivedi, Deepak Mishra, dan Prem Kumar Kalra dalam Handling Uncertainties – Using Probability Theory to Possibility Theory mengemukakan teori kemungkinan dan probabilitas sebagai jawaban dari sebuah kondisi ketidakpastian yang tak dapat kita hindari dalam kehidupan nyata.

Singkatnya, jalan terbaik yang dapat ditempuh untuk keluar dari ketidakpastian, yakni dengan memaksimalkan segala probability dan possibility atau berbagai kemungkinan yang ada selama masing-masing memiliki tingkat keterbatasan dan peluang tertentu.

Pada konteks berbagai ketidakpastian dari dan akibat pandemi Covid-19, upaya menemukan vaksin terbaik telah menjadi hal yang vital dan kian signifikan. Meski jamak dipertanyakan keampuhan dan efektivitasnya, permintaan akan vaksin sesegera mungkin nyatanya tak hanya datang dari negara-negara berkembang seperti yang telah disebutkan diatas.

Selain mengembangkan secara mandiri, negara-negara maju seperti Australia, Inggris, bahkan AS pun berlomba-lomba mendatangkan dan bekerja sama dengan produsen vaksin asing yang sebagian besar berasal dari episentrum awal Covid-19 yakni Tiongkok, yang kemungkinan memiliki formula vaksin termutakhir.

Artinya, dengan berangkat dari teori yang Dwivedi, Mishra, dan Kalra kemukakan dan di luar kekhawatiran para ahli akan kemungkinan ketidakampuhan vaksin, terdapat kemungkinan pula bahwa pesimisme tersebut keliru dan vaksin yang ada saat ini – yang kebanyakan berasal dari Tiongkok – memang telah siap.

Dari asumsi itulah, menjadi lumrah kiranya mengapa pemerintah Indonesia berkenan mendatangkan ratusan juta dosis vaksin Covid-19 yang juga jamak berasal dari Tiongkok.

Dan jika skenario tersebut berhasil di tanah air, tentu akan menjadi sebuah pencapaian monumental tersendiri, utamanya bagi pihak dan sosok yang selama ini menjadi focal point dalam pengupayaan vaksin Covid-19 di Indonesia.

Salah satu sosok yang jamak terlihat signifikan ialah Airlangga Hartarto. Presiden Jokowi kemungkinan memang memberikannya posisi sebagai Ketua KPCPEN untuk maksud tertentu.

Kepercayaan yang dapat dikatakan sebagai sebuah political endorsement atau dukungan politik tersendiri, ketika berhadapan pada konteks urgensi vaksinasi Covid-19 plus dengan probabilitas keberhasilannya yang dinilai akan sangat berharga bagi modal dan kiprah politik Airlangga ke depannya.

Tentu kiprah dalam kontestasi elektoral 2024, di mana Presiden Jokowi pun secara politik mungkin saja memposisikan Airlangga sebagai sosok pimpinan partai politik yang cukup berjasa selama masa kepresidenannya. Dan akan dirasa fair dan logis apabila mengendorse Airlangga melalui berbagai posisi strategis dengan kemungkinan-kemungkinan pencapaiannya.

Lantas, apakah keberadaan prominen Airlangga di balik upaya vaksinasi Covid-19 ini akan menjadi modal berharga bagi karier politiknya di 2024? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version