Setelah ditunggu-tunggu, mulai minggu lalu Perppu Ormas resmi menjadi Undang-Undang. Kira-kira apa hubungan UU Ormas ini dengan sosok Habib Rizieq Shihab?
PinterPolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]aat masih berstatus sebagai Peraturan Pemerintah (Perppu), Perppu Ormas sudah memancing reaksi beragam dari berbagai lapisan masyarakat dan politisi. Sebagian masyarakat menilai, Perppu Ormas adalah senjata baru bagi pemerintah melibas serikat dan organisasi kritis masyarakat. Mereka juga berpandangan, kebebasan berpendapat dan berserikat yang merupakan bagian dari HAM, akan terancam oleh keberadaannya.
Sedangkan bagi para politisi yang keberatan, suara yang dikeluarkan hampir senada. Namun tentu saja, intensi kepentingan berbeda saat kedua kelompok ini menyatakan ketidaksetujuannya. Bagi beberapa kelompok politisi, strategi ’mencela’ pemerintah bisa disalurkan melalui gerakan ormas tertentu. Sebagai contoh, gerakan membela agama berjilid yang terjadi beberapa waktu lalu.
Sementara bagi pendukungnya, Perppu Ormas dianggap sebagai senjata mujarab membendung gerakan radikal yang cenderung bertindak disruptif. Beberapa hari setelah pemberlakuan Perppu Ormas, organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) terkena ‘tendang’ pemerintah. Ia berhasil dibungkam lewat Perppu Ormas karena dianggap sebagai organisasi yang radikal dan ekstrim.
Berbicara radikal dan ekstrim, tentu tak bisa lepas juga dari Front Pembela Islam (FPI) dan tentu imam besarnya, Habib Rizieq Shihab. Saat pengesahan Perppu menjadi Undang-Undang berlangsung, bahkan hingga tulisan ini selesai dibuat, Habib Rizieq Shihab juga masih ‘anteng’ berada di Arab Saudi.
Sengaja Disimpan di Arab?
Tak sedikit pihak yang menganggap Rizieq terlalu takut menghadapi hukuman di tanah air. Bila sejenak mengingat, kasus pelanggaran hukum yang menjerat lelaki lulusan King Saud University, Arab Saudi ini memang tak sedikit. Sejak 2015, terhitung ada 8 kasus yang membawa namanya. Dua diantaranya, menghantarkan lelaki asal Petamburan ini menjadi tersangka.
Melihat daftar kasus-kasus di atas, rasanya memang tak mungkin jika polisi akan membiarkan Rizieq melenggang begitu saja ketika ia kembali ke Indonesia. Usaha menangkap Rizieq melalui badan Interpol juga kandas. Menurut organisasi kepolisian internasional tersebut ‘Red Notice’ yang dikenakan kepada Rizieq tak cukup kuat untuk membekuknya.
Barangkali, karena ditolak oleh badan Interpol, Kepolisian RI masih belum mantap mencabut izin paspor Rizieq. Hingga hari ini, pencabutan paspor Rizieq masih berada dalam ranah pertimbangan dan belum mencapai kesepakatan.
Hal berbeda terjadi pada Nazarudin, politikus Partai Demokrat ini pernah menjadi buronan pemerintah karena melakukan korupsi Hambalang. Ia kabur ke luar negeri dan berhasil ditangkap di Kolombia pada 2011. David Nusa Wijaya, koruptor BLBI, juga pernah kabur ke Singapura dan Amerika Serikat. Ia berhasil ditangkap oleh Tim Pemburu Koruptor di Amerika berkat kerjasama dengan Kepolisian RI.
Baik Nazarudin dan David ditangkap atas delik korupsi yang nilainya selangit. Dibandingkan dengan kejahatan yang membekap Rizieq, yakni kasus pornografi, urgensi menangkap Rizieq seakan hilang dan remeh. Padahal, alih-alih kasus pornografi, Rizieq lebih tepat dikenakan pasal tentang radikalisme dan ekstremisme.
Jika melihat polah Rizieq, ia bisa dikenakan pasal pelanggaran dari Undang-Undang Ormas yang baru saja dicanangkan pemerintah baru-baru ini. Sayangnya, ketika itu dibuat dan sudah berlaku, Rizieq tak berada di Indonesai, melainkan Arab Saudi.
Memulangkan Rizieq untuk mengadilinya dengan pasal UU Ormas juga sulit, sebab ia sudah dilindungi oleh pemerintah Arab. Bayangkan saja, visa dan izin tinggal yang sudah habis masa berlakunya, diperpanjang oleh pemerintah Arab Saudi. Anugerah tersebut berupa perpanjangan izin tinggal sampai batas waktu yang tak ditentukan.
Dengan adanya kekuatan tersebut, Rizieq seakan leluasa untuk kapan saja pergi dan kembali ke Indonesia. Namun jika melihat keadaan politik saat ini, sulit melihat kembalinya Rizieq. Sebab, berbeda seperti keadaannya di Arab, tak ada kekuatan yang bisa melindunginya dari ancaman penjara dan jeratan hukum di Indonesia. Terlebih, saat ini UU Ormas sudah resmi berlaku.
Melihat perlindungan yang lemah di Indonesia, Rizieq sepertinya memang ‘disimpan’ untuk berada di Arab Saudi hingga waktu politik yang tepat datang kembali. Ia bisa saja datang di tahun 2019, bisa pula tidak, tergantung siapa yang dapat memberikannya perlindungan politik dan hukum nantinya.
Rizieq, Disayang Arab dan Publik
Pihak pemerintah Arab Saudi, memang makin santer ‘tercium’ mendukung dan melindungi sang Habib dari kejaran Kepolisian RI. Selain bagai pemimpin utama FPI dan (konon) punya darah keturunan Nabi, ia juga menjadi motor penggerak rakyat lewat tajuk ‘Bela Agama’ yang berlangsung sampai berjilid-jilid, serta menjadi lulusan cemerlang universitas asal Arab Saudi. Agaknya hal-hal tersebut menjadi asal syarat datangnya dukungan Arab kepadanya.
Dukungan kepada Rizieq tak hanya datang dari pemerintah Arab Saudi, tetapi juga sebagian besar masyarakat Indonesia. Dalam survey terbaru, Alvara Research Center, Rizieq Shihab menjadi tokoh panutan masyarakat kelas menengah Muslim terdidik. Posisi Rizieq menempati posisi ketiga sebagai tokoh panutan favorit, setelah nama Mamah Dedeh dan AA Gym.
Bayangkan, Rizieq dapat mengungguli kualitas ulama yang secara keilmuan lebih tinggi, bahkan mengalahkan nama-nama ulama dari jalur NU maupun Muhammadiyah yang populer. Dengan demikian, nama Rizieq di kalangan profesional negeri sudah sangat berpengaruh. Bagi kalangan kelas menengah profesional, sosok Rizieq sangat cocok mengisi corak keberagaman yang konservatif dan eksklusif di Indonesia.
Belum lagi dukungan yang datang dari beberapa politisi dalam negeri. Sebut saja Amien Rais, politisi PKS, Salim Segaf Jufri, Fadli Zon, hingga disinyalir Prabowo. Mereka adalah tokoh-tokoh yang secara langsung dan tak langsung, memberikan dukungan pada Rizieq. Sementara pihak yang mendukung dalam ‘diam’ pun tak kalah banyak.
Melihat luasnya dukungan terhadap Rizieq, tak menutup kemungkinan, kedatangannya nanti akan disambut puja puji oleh para pendukungnya. Alih-alih sebagai pesakitan hukum, ia malah menjadi sosok panutan atau bahkan pahlawan yang patut dibela. Padahal, apa yang dikerjakannya selama ini, sudah memecah belah umat dengan isu sektarian.
Tanpa perlindungan apapun, Rizieq dan mungkin juga FPI akan menemui nasib yang sama dengan HTI. Ia akan dicap radikal dan ekstrim serta mengancam keberadaan Pancasila.
Rizieq, Si Orator Terbuang
Pesona Rizieq ketika berdakwah, mampu menarik banyak mata mengaguminya. Bagaimana tidak? Dalam berbagai kesempatan dan rekaman video, Rizieq berhasil mengaduk-aduk emosi pendengarnya dengan seruan lantang nan provokatif. Belum lagi busana ikonik yang dikenakannya, selalu berwarna putih yang mengundang kesan suci dan bersih. Kedua elemen itu menjadikannya sebuah figur yang lekat diingat massa.
Sebagai orator yang necis, Soekarno di masanya juga mampu menjaring masyarakat untuk mendukungnya. Kharismanya lahir dari penampilannya di atas panggung saat melakukan orasi. Rizieq memang tak bisa disandingkan dengan Soekarno dalam hal aliran politik dan substansi orasi, namun, ia jelas memiliki bakat mumpuni dalam berorasi, seperti halnya sang Bapak Proklamator.
Di kacamata para pendukungnya, Rizieq yang pandai ‘berbicara’ ini, tampil layaknya figur yang patut dicontoh dan dihormati segenap hati. Dukungan mayoritas masyarakat kelas menengah profesional terdidik ini, bukan tak mungkin akan menjadikan kedatangan Rizieq seperti Mandela, Hosein Khomeini, atau bahkan Hasan Tiro, tokoh-tokoh buronan negara yang pulang ke tanah air layaknya pahlawan.
Membandingkan Rizieq dengan keempat tokoh politik besar tersebut memang terasa sangat ‘sembrono’. Tetapi dalam pola ‘buronan negara’, ‘kemampuan berorasi’, dan ‘dukungan luas masyarakat’ yang dimiliki tokoh besar itu juga dimiliki Rizieq.
Melihat pola di atas, UU Ormas memang menjadi cadangan senjata menghalau gejolak dukungan terhadap Rizieq. Atau lebih penting lagi, UU ini berfungsi meredam gerakan mobilisasi rakyat yang diinsprasi oleh sang Imam Besar FPI tersebut, jika ia kembali ke tanah air. Dengan delik radikal, ekstrim dan mengancam Pancasila, Rizieq bisa mengalami nasib seperti HTI melalui UU Ormas.
Melihat pola-pola demikian, apakah benar UU Ormas hadir untuk mengatasi ketakutan pemerintah terhadap ‘daya’ Rizieq? Apakah mungkin Rizieq kembali di tahun 2019 nanti dan menjadi senjata ampuh yang ditakuti pemerintah? Berikan pendapatmu. (Berbagai Sumber/A27)