Jokowi tampak merespons kegelisahan masyarakat tentang UU MD3. UU yang telah ada di mejanya, dibiarkan tanpa tanda tangan Presiden.
PinterPolitik.com
[dropcap]R[/dropcap]akyat begitu geram saat DPR meloloskan UU MD3 di paripurna. UU kontroversial ini dianggap mengancam perkembangan demokrasi, karena membuat DPR menjadi lembaga yang kebal dari kritik. Amarah rakyat ini tampaknya dipahami oleh Jokowi.
UU tersebut kini sudah sampai di meja Jokowi. Akan tetapi, mantan Walikota Solo tersebut masih enggan menandatanganinya. Ia mencoba menunjukkan bahwa ia peduli dengan keresahan rakyat melalui cuitannya di media sosial.
Meski begitu, sikap Jokowi ini sebenarnya aneh. Dalam pembuatan UU, DPR sebagai legislatif bukanlah satu-satunya pihak yang terlibat. Pemerintah sebagai pihak eksekutif juga memiliki andil dalam pembuatan UU tersebut.
Jika memang Jokowi peduli dengan ancaman demokrasi di Indonesia, mengapa tidak sejak awal ia menolak UU tersebut? Ia seharusnya sadar punya kuasa untuk mencegah UU tersebut sebelum disahkan DPR. Apakah ia ingin jadi pahlawan kesiangan dengan cari aman?
Pemerintah Terlibat UU MD3
Pembuatan UU bukanlah proses yang melibatkan satu pihak saja. Meski ada pemisahan kekuasaan, organ eksekutif dan legislatif sama-sama memiliki porsi dalam pembuatan UU di negeri ini. Hal ini tidak terkecuali dalam pembahasan UU MD3.
DPR dan pemerintah membuat kesepakatan untuk membentuk Panitia Kerja (Panja) UU MD3. Di dalam Panja tersebut terdapat perwakilan DPR dan juga perwakilan pemerintah. Khusus untuk DPR, pembahasan UU tersebut diwakili oleh Badan Legislasi (Baleg).
Draft UU MD3 sudah ada di meja saya, tapi belum saya tandatangani. Saya memahami keresahan yg ada di masyarakat mengenai hal ini. Kita semua ingin kualitas demokrasi kita terus meningkat, jangan sampai menurun -Jkw
— Joko Widodo (@jokowi) February 21, 2018
Dalam Panja tersebut, diketahui bahwa pemerintah diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham). Pemerintah umumnya akan memberikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dan juga usulan-usulan pasal yang akan dimasukkan.
Pada rapat ini, Menkumham Yasonna Laoly merupakan perwakilan pemerintah yang terlibat aktif. Ia beberapa kali hadir dalam rapat pembahasan UU tersebut. Ia juga beberapa kali mau mengakomodasi keinginan para anggota dewan.
Diakui sendiri olehnya, pemerintah terlibat dalam pembahasan usul pasal-pasal kontroversial dalam UU tersebut. Misalnya saja dalam Pasal 122 huruf k tentang penghinaan terhadap DPR, pemerintah mendorong agar DPR tidak kehilangan wibawa melalui pasal tersebut.
Diberitakan bahwa Yasonna tidak melaporkan pembahasan UU tersebut kepada Jokowi. Ia mengaku baru melaporkan pasal-pasal yang terdapat di dalam UU MD3 setelah disahkan DPR dan ditolak oleh masyarakat luas.
Hal tersebut tentu mengherankan. Sebagai wakil pemerintah, Yasonna idealnya melaporkan segala tindak-tanduknya di rapat tersebut kepada Jokowi. Jika benar ia tidak melapor, Jokowi seharusnya marah besar pada Yasonna jika benar-benar peduli pada perkembangan demokrasi di negeri ini.
Beberapa pihak menduga, Yasonna hanya pasang badan untuk Jokowi. Idealnya, presiden mengetahui proses pembuatan UU yang bergulir. Oleh karena itu, wajar jika publik menganggap bahwa langkah Jokowi belakangan ini hanya pencitraan semata.
Pemerintah dan DPR Bersekongkol?
Bagi banyak orang, sulit untuk tidak melihat pembuatan UU MD3 sebagai persekongkolan antara pemerintah dan DPR. Peraturan tersebut disinyalir dibuat untuk memuaskan kedua belah pihak berkuasa tersebut.
Revisi MD3 digulirkan untuk memberikan kursi pimpinan kepada partai pemenang pemilu yaitu PDIP. Hal ini dilakukan setelah partai berlogo banteng tersebut kehilangan haknya mendapat kursi pimpinan akibat UU MD3 tahun 2014.
Disinyalir, ada desakan partai agar pemerintah mau meloloskan UU yang dikecam tersebut. PDIP dalam hal ini amat bernafsu agar kursi pimpinan ditambah untuk memberikan porsi pada mereka. Yasonna sebagai menteri dari PDIP dalam hal ini memiliki peran untuk menjembatani kepentingan tersebut.
Yasonna bisa saja lebih banyak bertindak sebagai wakil PDIP ketimbang wakil pemerintah. Ia bisa saja banyak mengakomodasi kemauan DPR karena ada kepentingan PDIP yang ingin kebagian jatah pimpinan DPR. Dalam hal ini, telah terjadi pertukaran pasal antara Yasonna-PDIP dengan DPR.
Langkah pemerintah untuk bersikap pasif pada pembuatan UU tersebut juga disinyalir sebagai langkah untuk menyenangkan partai-partai di DPR. Pemerintah, terutama Jokowi, amat membutuhkan dukungan dari partai politik menjelang Pemilu. Oleh karena itu, menjaga hubungan baik dengan partai politik adalah hal yang perlu.
Di luar itu, publik juga bisa saja menduga bahwa terjadi tukar guling antara pemerintah dengan DPR. Pemerintah bisa saja memberikan imunitas kepada DPR karena mereka mendapatkan hal yang serupa. Dalam hal ini, Jokowi bisa saja mendapat untung DPR dari pasal penghinaan presiden dalam RKUHP yang tengah dibahas DPR.
Skenario Cari Aman
Langkah Jokowi untuk menunda penandatanganan UU MD3 dapat dikatakan sebagai langkah cari aman. Sebagai pihak yang terlibat dalam pembuatan UU, ia seharusnya bisa mencegah hal ini sebelum diloloskan oleh DPR. Walau ia tidak setuju, minimal ia tahu kalau UU tersebut tetap akan sah meski ia tidak menandatanganinya.
Jika benar Yasonna tidak melaporkan pembahasan pasal-pasal pada presiden, maka ini menjadi penanda ada mekanisme yang tidak berjalan antara atasan dan bawahan. Oleh karena itu, jika tidak sedang cari aman, idealnya Jokowi memecat Yasonna dari kursi menteri.
Ada dua skenario Jokowi cari aman dari kisruh UU MD3 ini. Dari kedua skenario ini, Jokowi akan mendapat untung dan mendapat citra sebagai orang yang menolak UU anti-demokrasi. Skenario-skenario ini sesuai dengan fungsi komunikasi politik menurut Gabriel Almond. Menurut Almond, komunikasi politik berfungsi dalam berbagai aspek politik termasuk pembuatan peraturan (rule making).
Dalam hal ini, skenario langkah Jokowi dalam UU MD3 adalah bentuk dari komunikasi politik. Dalam pembuatan UU, sang pembuat peraturan harus menjalin kerjasama, hubungan, dan komunikasi yang baik antara sesama mereka. Selain itu, komunikasi yang baik juga harus dibangun dengan rakyat.
Pada skenario pertama, Jokowi akan membiarkan UU MD3 tidak ditandatangani hingga batas 30 hari berakhir. Dengan begitu, UU kontroversial ini tetap akan lolos dan sah menjadi UU. Jokowi dapat melepaskan diri dari tanggung jawab meski pada akhirnya UU tetap berlaku.
Sekilas, Jokowi tampak seperti berpihak pada rakyat. Ia memilih satu barisan dengan rakyat dengan menolak menandatangai UU kontroversial tersebut. Akan tetapi, di saat bersamaan, ia juga sedang berpihak pada dirinya sendiri dan juga partai-partai di DPR.
Dengan menolak menandatangani UU tersebut, namanya akan tetap harum di mata masyarakat. Citra sebagai Presiden pro-demokrasi akan tetap terjaga. Di sisi lain, ia juga menjaga hubungan baik dengan DPR. Meski menolak, sikap Presiden ini membuat UU MD3 tetap sah.
Melalui skenario ini, satu-satunya jalan membatalkan UU tersebut adalah dengan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK). Jika pada akhirnya MK menerima gugatan rakyat, maka hubungan Jokowi dengan partai-partai di DPR tetap aman karena ia sudah melepas bebannya.
Skenario yang kedua adalah, Jokowi pada akhirnya akan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) untuk membatalkan UU tersebut. Skenario ini akan sangat efektif untuk merebut hati rakyat. Perubahan peraturan juga terpaksa dilakukan oleh DPR. Meski begitu, Jokowi berpotensi dibenci oleh partai-partai di DPR.
Buat Perppu pembatalan UU MD3 donk Pak, jangan cuma tidak mau ttd. Sekalian copot juga Pak Yasonna, dia itu ga jelas antara anak buah Bapak atau perwakilan Parpol ? https://t.co/fq2yFqOsSA
— Buya Eson (@emerson_yuntho) February 21, 2018
Jokowi bisa saja meniru langkah yang diambil SBY kala berhadapan dengan UU Pilkada. SBY bersedia mengikuti rakyat banyak yang geram dengan UU tersebut. Kala itu, SBY merebut kembali rakyat dengan menerbitkan Perppu sehingga UU yang diloloskan DPR mau tidak mau harus berubah mengikuti ketentuan di dalam Perppu tersebut.
Jika benar-benar memenangkan hati rakyat, maka langkah ini adalah langkah yang paling ideal. DPR tidak lagi punya pilihan untuk mengelak karena Perppu harus disahkan menjadi UU agar tidak terjadi kekosongan hukum.
Rakyat juga tidak perlu menunggu proses lama dan menjemukan melalui mekanisme uji materi ke MK. Selain memerlukan proses, MK saat ini tergolong sudah tidak lagi dapat dipercaya. Beberapa waktu lalu misalnya, lembaga ini menolak gugatan masyarakat sipil agar KPK tidak menjadi objek angket. Penolakan tersebut disinyalir karena Ketua MK Arief Hidayat memihak DPR.
Skenario manapun yang diambil Jokowi, akan tetap aman di mata rakyat. Jika berani, Jokowi idealnya mengambil opsi Perppu seperti SBY. Meski begitu, ia terancam ditinggal partai-partai di DPR. Bisa jadi, ia akan mengambil langkah aman dengan membiarkan UU tidak ditandatangani begitu saja. Dengan begitu aman sudah citranya, harum di DPR, harum juga di depan rakyat. (H33)