“Let the people have a political voice, the worker a social voice, the poor an economic voice, let the particular seize hold of the universal” – Jean Francois-Lyotard
Pinterpolitik.com
[dropcap]D[/dropcap]osen Sosiologi UNJ sekaligus aktivis HAM Robertus Robet ditetapkan sebagai tersangka oleh Badan Reserse Kriminal Mabes Polri. Robert dilaporkan karena orasinya pada Aksi Kamisan 28 Februari 2019 lalu yang mengkritik pemerintahan Joko Widodo yang seolah-olah menghidupkan kembali dwifungsi TNI menjelang Pemilihan Presiden 2019.
Robert pada awalnya dijerat Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45a ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) namun pada akhirnya ia dijerat Pasal 207 KUHP mengenai penghinaan terhadap penguasa atau badan hukum yang ada di Indonesia. Landasan awal terjeratnya Robert oleh UU ITE dikarenakan video orasinya yang tersebar di media sosial dan dianggap telah melakukan ujaran kebencian terhadap TNI-POLRI.
Beberapa waktu sebelum penangkapan Robert, terdapat dua jurnalis di Kendari, Sulawesi Tengah yaitu Fadli Aksar dari detiksultra.com dan Wiwid Abid Abadi dari okesultra.com yang juga dijerat UU ITE.
Mereka dilaporkan karena telah memuat berita terkait laporan warga terhadap Andi Tendri Awaru, calon Anggota Legislatif Partai Amanat Nasional (PAN) Dapil Kendari-Kendari Barat kepada Polda Sulawesi Tenggara mengenai dugaan tindak pidana pemalsuan surat dan administrasi kependudukan. Hal ini memicu respon dari beberapa pers, dengan alasan bahwa kebebasan pers kembali teredam layaknya pers di pemerintahan Orde Baru.
Penangkapan Robertus Robet dan dua jurnalis di Kendari mengingatkan beberapa orang dengan pemerintahan Orde Baru yang mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi. UU ITE seolah-olah menjadi sebuah senjata yang siap diluncurkan jika terdapat oknum yang berekspresi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Tetapi, UU ITE masih memiliki celah yang perlu dikaji dan diperbaiki, sebab UU ITE merupakan ‘pasal karet’ yang belum konsisten. Politik Indonesia yang terlihat belum mencapai demokrasi ideal pun membuat UU ITE semakin menunjukan ‘keelastisitas’-nya.
Paradoks dalam Demokrasi
Makna demokrasi tidak sesempit makna kebebasan dan keterbukaan dalam memilih pemimpin negara dan parlemen negara melalui voting atau pemilihan. Demokrasi yang dalam bahasa Yunani demokratia memiliki arti secara harfiah “dikuasai oleh rakyat” bermakna bahwa masyarakat merupakan ‘pusat’ dalam suatu negara dan masyarakat memiliki hak yang sama dan setara.
Karena menjunjung tinggi kesetaraan, demokrasi menjunjung tinggi dan menghargai kebebasan berpendapat, karena hal itu merupakan ‘nyawa’ dari demokrasi. Demokrasi merupakan hal yang dicita-citakan dalam Reformasi, dikarenakan hampir tidak ada kebebasan berekspresi, pers dibungkam, dan banyaknya aktivis yang menghilang oleh Petrus (Penembak Misterius) selama era pemerintahan Orde Baru.
Tetapi, jika melihat dari banyaknya pihak yang dijerat UU ITE di era Reformasi, demokrasi yang dicita-citakan Reformasi seolah-olah hanya terlihat menjadi isapan jempol belaka. Demokrasi di Indonesia menjadi terlihat paradoks karena demokrasi yang mengagungkan kebebasan berpendapat dan berekspresi, dalam kasus ini malah dibungkam.
Situasi ini dapat dikaitkan dengan pemikiran Chantal Mouffe, seorang pakar politik Belgia, yang menganggap bahwa situasi tersebut merupakan situasi politikal, bukan politik. Situasi politikal adalah situasi di mana penguasa yang menjadi dasar, bukan rasionalitas.
Jika dikaitkan kembali ke dalam kasus UU ITE, yang melakukan laporan atas tindakan pelanggaran UU ITE merupakan warga negara yang memang memiliki kekuatan di bidang pemerintahan. Misalnya, dalam penangkapan Fadli dan Wiwid, yang melakukan pelaporan adalah Andi Tendri Awaru, caleg yang menuduh Fadli dan Wiwid melakukan tindakan penghinaan dan pencemaran nama baik atas dirinya.
Free Speech dan Hate Speech
Kebebasan berpendapat merupakan hak yang dimiliki setiap warga negara untuk mengekspresikan pendapat dan aspirasinya tanpa campur tangan pemerintah yang berkuasa. Tetapi, kebebasan berpendapat yang terjadi di Indonesia dapat dikatakan bersifat paradoks, karena sebebas-bebasnya berpendapat dan berekspresi, masih terdapat suatu batasan dan memiliki undang-undang tersendiri.
Pembatasan kebebasan berpendapat yang dimaksud mencakup berbagai prasangka dalam ruang publik yang menyerang suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) dan mengandung penghinaan, penistaan, dan pencemaran nama baik yang berpotensi untuk memicu konflik.
Even when you just sing a satire song you will be questioned by the police, imagine if journalist write something critical about the military and dwi fungsi TNI? UU ITE is a disaster and it’s happened under @jokowi administration, what a shame ?? https://t.co/0aRL3qKIUx
— febriana firdaus (@febrofirdaus) March 7, 2019
Kebebasan berpendapat yang memiliki prasangka tersebut tidak dapat dikatakan sebagai kebebasan berpendapat yang dijunjung demokrasi, tetapi merupakan suatu ujaran kebencian atau hate speech. Kebebasan berpendapat atau free speech yang dimaksud dalam ide demokrasi berbeda dengan kebebasan berpendapat yang di dalamnya terkandung ujaran kebencian. Free speech tidak dapat disetarakan dengan hate speech secara niscaya.
Namun, batasan terhadap hate speech juga dibutuhkan oleh negara demi kesejahteraan. Tetapi tampaknya masih banyak aparat negara dan masyarakat yang belum memahami secara jelas perbedaan antara kebebasan berpendapat dengan ujaran kebencian, sehingga timbul berbagai interpretasi atas berbagai orasi dan opini yang dilakukan oleh sejumlah pihak.
Jean-Francois Lyotard, seorang filsuf dan sosiolog Perancis, mengungkapkan dalam bukunya yang berjudul “The Postmodern Condition” bahwa biarlah rakyat memiliki suara politik, pekerja memiliki suara sosial, yang miskin memiliki suara ekonomi, dan biarkan yang partikular merebut yang universal. Pemikiran ini menjunjung emansipasi dalam bersuara, yang dibutuhkan oleh negara demokrasi.
UU ITE untuk Apa?
Yang dilakukan oleh Robertus Robet kiranya tidak dapat dikategorikan sebagai hate speech. Karena jika video orasinya ditonton secara penuh, Robert tidak dapat dikatakan telah melakukan hate speech.
Robert hanya menyanyikan ulang Mars ABRI yang diubah oleh aktivis 98 pada Peristiwa 1998 dan mengkritisi pemerintah seolah-olah menyadarkan pemerintah untuk kembali pada cita-cita Reformasi. Tindakan ini merupakan hak dan aspirasinya sebagai warga negara demi menciptakan negara yang aktif dan kritis dalam berdemokrasi.
Hal itu juga berlaku pada Fadli Aksar dan Wiwid Abid Abadi. Mereka dijerat UU ITE karena membuat suatu berita yang berusaha mengungkap kasus hukum dari seorang Caleg di Kendari. Jika kasus ini direfleksikan, semestinya apa yang dilakukan Fadli dan Wiwid merupakan suatu kewajaran yang justru dibutuhkan oleh masyarakat, agar masyarakat dapat mengenal calon wakil rakyatnya dan kritis dalam pemilihannya.
UU ITE menjadi paradoks dalam demokrasi Indonesia. Share on XUU ITE dapat menjadi undang-undang yang melindungi masyarakat, namun karena ‘fleksibilitasnya’ dan minimnya pengetahuan masyarakat atas dikotomi free speech dan hate speech, UU ITE dapat disalahgunakan dan justru membuat banyak pihak yang mungkin pada hakikatnya tidak bersalah menjadi tersangka.
Penguasa dapat menggunakan UU ITE untuk menyingkirkan lawan politiknya atau siapapun yang dapat mengancam dirinya. Ide demokrasi pun menjadi tidak terealisasikan, karena masih terdapat ketidakseimbangan dalam masyarakat, yaitu antara yang memiliki kuasa dan yang tidak.
Sudah sepantasnya pula masyarakat dapat membedakan yang mana yang dapat disebut sebagai free speech dan hate speech, dan UU ITE digunakan secara benar dan patut untuk menindak fenomena hate speech yang menjamur di era pasca-kebenaran (post-truth) ini. Tetapi, UU ITE dapat digunakan secara patut jika masyarakat sudah arif untuk membedakan dikotomi free speech dan hate speech, bukan untuk membungkam pendapat dan ekspresi yang merupakan hak dari setiap warga negara. (D44)