Baru-baru ini Presiden Jokowi menunjukkan langkah bagus dengan menginisiasi wacana revisi UU ITE. Berbagai pihak, mulai dari pimpinan DPR, hingga Kapolri Listyo Sigit Prabowo juga menunjukkan dukungan atas wacana tersebut. Namun, apakah itu masalah mendasar demokrasi kita?
“Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi masyarakat demokrasi di era informasi sekarang ini adalah apakah mereka bisa terus menerus memelihara tatanan sosial dalam menghadapi perubahan teknologi dan ekonomi” – Francis Fukuyama, dalam The Great Disruption: Hakikat Manusia dan Rekonstitusi Tatanan Sosial
Ketika memimpin Rapat Pimpinan (Rapim) TNI/Polri di Istana Negara pada 15 Februari, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan pernyataan yang mungkin ditunggu-tunggu oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Ya, itu adalah wacana revisi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
“Kalau Undang-undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi undang-undang ini. Undang-Undang ITE ini,” begitu pernyataan Presiden Jokowi.
Seperti yang jamak diketahui, dorongan untuk merevisi, bahkan menghapus UU ITE telah lama menggema di tengah publik. Ini bertolak dari kerapnya UU ini digunakan untuk menjerat pihak tertentu, yang kerap kali berasal dari kubu oposisi.
Baca Juga: Mudah Membaca Logika Kekuasaan Jokowi
Berbagai pihak telah mendukung wacana positif ini. Mulai dari Wakil Ketua DPR Koordinator Politik dan Keamanan (Korpolkam) M. Azis Syamsuddin yang mengaku jenuh dengan pasal pencemaran nama baik dan penghinaan dalam UU ITE. Hingga Kapolri Listyo Sigit Prabowo yang menyebut penerapan UU ITE sudah tidak sehat.
Jika nantinya benar-benar direvisi, tentu kita berharap akan tercipta iklim politik yang lebih sehat karena praktik saling lapor akan berkurang. Akan tetapi, jika kita berbicara perihal pelaksanaan demokrasi, apakah UU ITE adalah akar masalah demokrasi kita saat ini?
Demokrasi, Dulu dan Kini
Jika berbicara mengenai demokrasi, tentu tidak dapat dilepaskan dari aspek historisnya di era Yunani Kuno. Kurt A. Raaflaub dalam buku Origins of Democracy in Ancient Greece memberikan penegasan menarik terkait perbedaan demokrasi di Yunani Kuno dengan demokrasi modern saat ini.
Menurutnya, sistem demokrasi di Athena secara radikal sangat berbeda dengan demokrasi di abad 21. Berbeda dengan demokrasi saat ini, di mana setiap individu memiliki hak politik, di Athena dulu, perempuan belum mendapatkan hak politik. Ini membuat Raaflaub agak kurang setuju menyebut Athena telah menerapkan demokrasi seperti yang kita kenal saat ini.
Kendati demikian, Raaflaub melihat demokrasi modern yang berbasis perwakilan saat ini, khususnya di negara besar dan beragam seperti Amerika Serikat (AS), telah menciptakan ketidakpuasan dan memunculkan narasi untuk kembali ke bentuk demokrasi langsung, setidaknya di tingkat lokal.
Seperti yang diketahui, pada praktiknya dulu, demokrasi Athena menawarkan kemewahan pertarungan ide dan gagasan secara langsung. Ini membuat aktor-aktor demokrasi benar-benar merasa terlibat dalam percaturan politik. Konteks tersebut agaknya tidak terjadi saat ini, di mana pertarungan ide dan gagasan hanya terjadi di level elite – perwakilan.
Terkait masalah tersebut, Raaflaub melihat perkembangan teknologi komunikasi telah menawarkan diri untuk memenuhi kebutuhan partisipasi langsung tersebut.
Francis Fukuyama dalam bukunya Political Order and Political Decay: From the Industrial Revolution to the Globalization of Democracy, juga menduga bahwa internet dan perkembangan komunikasi massa berperan besar dalam penyebaran ide demokrasi.
Baca Juga: Mahfud MD dan Jawaban Polisi Siber
Dugaan itu sebagai jawaban atas pertanyaan Alexis de Tocqueville dalam Democracy in America, terkait mengapa demokrasi baru menyebar secara signifikan di akhir abad ke-20? Padahal, gagasan demokrasi modern bahkan telah ada sejak 800 tahun yang lalu.
Dalam buku Identitas: Tuntutan atas Martabat dan Politik Kebencian, Fukuyama juga menegaskan bahwa pada tahun 1990-an, berbagai pengamat, termasuk dirinya, menaruh harapan dan percaya bahwa internet akan menjadi kekuatan penting untuk menyebarkan nilai-nilai demokrasi.
Lantas, mampukah internet, atau mungkin tepatnya media sosial menjadi jawaban atas masalah partisipasi dalam demokrasi modern seperti yang disebutkan Raaflaub?
UU ITE Bukan Akar Masalahnya
Di akhir buku Identitas: Tuntutan atas Martabat dan Politik Kebencian, Fukuyama terlihat menunjukkan kekecewaannya terhadap media sosial. Alih-alih memenuhi harapan sebagai penyebar nilai-nilai demokrasi, media sosial justru bertransformasi menjadi wadah “politik kebencian”.
Tidak hanya menghapus batas-batas kesopanan, media sosial juga telah menjadi preseden atas menguatnya politik identitas. Di Indonesia, ihwal tersebut dapat kita lihat dari maraknya penggunaan UU ITE untuk melaporkan pihak yang berseberangan dengan dirinya.
Pada konteks UU ITE, sejatinya harus diakui pula, memang terdapat pelaporan yang tepat karena pihak terkait memang menyebar fitnah atau provokasi yang dapat memberikan konsekuensi destruktif.
Terlepas dari tepat tidaknya penggunaan UU ITE, akar persoalannya sebenarnya adalah kemampuan media sosial untuk membuat seseorang menerabas batas-batas kesopanan dalam berekspresi. Menurut Fukuyama, itu terjadi karena sifat anonimitas dalam media sosial.
Yang lebih mengerikan dari media sosial adalah kemampuannya dalam memproduksi realitas. Masalahnya, sering kali itu adalah realitas buatan (artificial) yang dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis. Terkait masalah ini, jika direfleksikan secara mendalam, ihwal tersebut sebenarnya adalah akar mengapa demokrasi sulit, atau bahkan tidak akan mampu mewujudkan kebaikan bersama (common good) bagi masyarakat luas.
Sekarang pertanyaannya, jika media sosial justru menciptakan informasi-informasi delusif, mungkinkah dapat tercipta diskursus yang berkualitas di tengah masyarakat? Apalagi, media sosial juga menjadi wadah bagi berbagai pihak berkepentingan untuk membangun narasi, propaganda, dan citra.
Dalam teori permainan (game theory), masalah tersebut dikenal sebagai Bayesian game – disebut juga games of incomplete information. Ini adalah kondisi ketika setiap aktor yang terlibat di dalamnya tidak memiliki informasi yang lengkap terkait aktor lainnya.
Ketiadaan informasi yang lengkap ini bermuara pada berbagai pihak kerap kali sulit saling memercayai satu sama lainnya. Jika mengacu pada teori permainan lainnya, yakni dilema narapidana (prisoner’s dilemma), ketiadaan kepercayaan masing-masing pihak membuat praktik saling menjatuhkan menjadi konsekuensinya. Alhasil, dengan adanya UU ITE, berbagai pihak berlomba-lomba menggunakannya untuk menyerang lawan politik ataupun pihak yang tidak mereka sukai.
Steven Feldstein dan Peter Pomerantsev dalam tulisannya Democracy Dies in Disinformation bahkan menyebutkan bahwa demokrasi dapat saja mati karena disinformasi. Simpulan ini bertolak dari minimnya komitmen media dalam mendorong dialog. Alasannya sederhana, karena media lebih mendapatkan insentif ekonomi dengan memicu kebencian dan kebohongan – menarik atensi penikmat jasa.
Baca Juga: Google, Facebook, dan Twitter Mengancam Demokrasi?
Seperti kutipan pernyataan Fukuyama dalam buku The Great Disruption: Hakikat Manusia dan Rekonstitusi Tatanan Sosial di awal tulisan, perkembangan teknologi dan sistem ekonomi tampaknya menjadi tantangan terbesar demokrasi kita saat ini.
Pada akhirnya, mungkin dapat disimpulkan bahwa kendatipun nantinya UU ITE benar-benar direvisi. Jika media sosial, ataupun media massa masih dimanfaatkan sebagai alat produksi narasi, propaganda, dan citra, itu tidak akan banyak mengubah kualitas demokrasi kita saat ini.
Demokrasi yang berkualitas hanya dapat dibangun melalui diskursus dan dialog yang berkualitas. Untuk kepentingan itu, memberikan setiap aktor demokrasi informasi yang lengkap dan jujur adalah urgensial. (R53)