Omnibus Law Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (UU Ciptaker) menjadi perdebatan publik untuk kesekian kalinya, setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan status inkonstitusional bersyarat. Namun, berbagai pejabat terlihat masih membela UU Ciptaker. Kira-kira apa urgensinya?
“A state that becomes free creates for itself enemies rather than friends.” – Niccolò Machiavelli
Omnibus Law Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (UU Ciptaker) kembali membuat kegaduhan di tengah masyarakat Indonesia. Setelah berhari-hari melalui proses hukum, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Ciptaker bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, UU Ciptaker ditetapkan inkonstitusional, dengan syarat harus mendapat perbaikan dalam kurun waktu 2 tahun, jika tidak, akan ditetapkan inkonstitusional permanen.
Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan, meskipun pihaknya akan melakukan perbaikan UU sesuai dengan rekomendasi MK, UU Ciptaker dan sejumlah aturan turunannya yang ada sampai saat ini masih tetap berlaku secara konstitusional sampai dilakukan perbaikan sesuai dengan tenggang waktu 2 tahun sejak putusan.
Hal yang senada juga diungkapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang menyatakan UU Ciptaker saat ini masih akan berlaku. Jokowi juga menekankan tak ada satu pasal pun dalam UU Cipta Kerja yang dibatalkan MK. Jokowi juga memberi pesan kepada para pelaku usaha dan investor, dia memastikan investasi yang sudah, sedang, atau akan dijalankan, akan tetap aman.
Pernyataan pemerintah mendapat kecaman dari sejumlah pihak, contohnya adalah dari Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal. Ia menuding Airlangga melakukan propaganda, padahal status inkonstitusional bersayarat melarang pemerintah mengeluarkan kebijakan strategis yang berkaitan dengan UU Ciptaker.
Baca Juga: UU Ciptaker: dari Demonstrasi Menuju MK
Kritik juga dilontarkan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar. Ia mengatakan ketika MK menyebut UU Ciptaker sebagai inkonstitusional bersyarat, seharusnya peraturan tersebut tidak lagi diaplikasikan sampai pembenaran betul-betul disempurnakan.
Zainal juga menambahkan, berdasarkan riset-riset yang ia baca, konsep “inkonstitusional bersyarat” adalah cara yang digunakan MK untuk keluar dari tekanan. Di satu sisi MK mau membatalkan UU, tapi di saat yang sama juga menilai UU tersebut tidak boleh dibatalkan begitu saja.
Lantas, mengapa UU Ciptaker dibela mati-matian sampai pembatalannya saja diperdebatkan lebih lanjut, apa urgensinya?
Masalah yang Sulit Diselesaikan Demokrasi
Mengacu ke pernyataan Jokowi pada tahun 2020 tentang UU Ciptaker, aturan tersebut dibutuhkan Indonesia karena dianggap bisa menjawab permasalahan berat perekonomian negara, yaitu regulasi yang tumpang tindih di masing-masing wilayah dan sektor. UU ini akan menciptakan perizinan terpusat dan mengalihkan kewenangan ke pemerintah pusat.
Seperti yang diketahui, desentralisasi ekonomi dan administratif adalah warisan dari awal era reformasi, melalui UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Ini kemudian yang dianggap banyak pihak menjadi akar ketimpang tindihan kebijakan pusat dan daerah, serta inkonsistensi sinergitas program pembangunan.
Francis Fukuyama dalam bukunya Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21 menjelaskan, setelah Perang Dingin berakhir, desentralisasi secara luas digembar-gemborkan sebagai cara yang paling efektif untuk menjadikan pemerintah lebih tanggap secara politik terhadap krisis ekonomi, dan dianggap dapat lebih mendorong pertumbuhan. Fenomena ini terjadi di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.
Padahal desentralisasi memiliki kekurangan yang berkaitan dengan risiko. Pendelegasian otoritas pusat juga telah mendelegasikan permasalahan yang ada di pemerintah pusat kepada tingkatan-tingkatan organisasi yang lebih bawah, seperti pemerintah daerah. Dengan kemampuan daerah untuk menciptakan aturan sendiri, ini lalu merumitkan sejumlah agenda besar nasional. Institusi politik pusat yang stabil dan yang mampu berfungsi dengan baik merupakan prasyarat untuk kemajuan ekonomi.
Lebih lanjut, pentingnya negara sebagai pengatur pusat aktivitas ekonomi disebutkan oleh James Caporasi dan David Levine dalam buku Theories of Political Economy. Di dalamnya, mereka menegaskan bahwa relasi antara kekuasaan negara dan kepentingan ekonomi bersifat problematik. Di satu sisi sektor ekonomi tidak bisa mengkhianati prinsip efisiensi dan pasar bebas, tetapi ia pun tidak bisa sepenuhnya steril dari intervensi pemerintah.
Baca Juga: UU Ciptaker, Jawaban yang Tidak Menjawab?
Singkatnya, negara tidak bisa sepenuhnya melepaskan diri dari kepentingan ekonomi dengan membiarkan pasar berjalan sebebas-bebasnya. Caporasi dan Levine mengatakan, di tengah-tengah berbagai kepentingan dari kelas-kelas dominan di bidang ekonomi dan kepentingan masyarakat, pemerintah perlu memainkan otonomi untuk mengambil sebuah kebijakan transformatif. Tujuannya sederhana, yaitu untuk menggiring disparitas yang ada ke corong kepentingan nasional.
Namun Caporasi dan Levine juga menyebutkan, meskipun dapat melancarkan agenda ekonomi negara, otonomi negara seperti ini berpotensi menimbulkan beberapa permasalahan, contohnya adalah pelanggaran sebagian prinsip demokrasi. Dikaitkan dengan konteks demokrasi, hubungan responsif antara pemerintah dan yang diperintah menjadi hal yang rumit untuk disesuaikan melalui sentralisasi ekonomi. Jika responsivitas ini tercederai, jelas nilai kebebasan dalam demokrasi ikut tercoreng.
Melihat gesekan antara kepentingan ekonomi dan demokrasi, sepertinya pantas jika kita kemudian mengacu pada pandangan filsuf Slovenia, Slavoj Žižek dalam bukunya Demanding the Impossible. Ia mengatakan bahwa saat ini negara demokrasi sedang kesusahan dalam menjamin nilai partisipasi dan kemerdekaan warga negaranya terhadap berbagai isu kebijakan ekonomi.
Jawaban Žižek akan fenomena ini sesungguhnya cukup sederhana. Kepentingan ekonomi negara semakin diutamakan bukan karena ada niatan jahat dari penguasa untuk semata-mata mengesampingkan nilai-nilai demokrasi, tetapi karena demokrasi dinilai dapat menghambat agenda ekonomi nasional.
Žižek memandang, negara-negara saat ini semakin dibutuhkan untuk mengambil keputusan ekonomi yang cepat, tanpa menjadikan partisipasi publik sebagai pertimbangan utama. Negara harus mengejar ketertinggalan persaingan ekonomi global yang dinilai Žižek bisa terhambat jika harus mempertimbangkan pandangan dari banyak pihak melalui sistem demokrasi terlebih dahulu.
Lalu, jika motivasi negara untuk menetapkan UU Ciptaker sebagai Omnibus Law terlalu kuat, apakah harapan keterlibatan rakyat sudah pupus?
Pemerintah Harus Lebih Terbuka?
Secara alamiah, sentimen tentang keinginan rakyat untuk lebih terlibat dalam pengambilan keputusan negara muncul dari sebuah tren baru demokrasi. Francis Fukuyama dalam tulisannya Infrastructure, Governance, and Trust menjelaskan, ketidakpuasan masyarakat tentang partisipasi politik muncul dari ekspektasi yang terlalu berlebihan dari sistem demokrasi.
Fukuyama mengatakan, masyarakat negara demokrasi saat ini menuntut tingkat partisipasi aktif yang terlampau tinggi, mereka mulai ingin terlibat tidak hanya melalui pemungutan suara tetapi dengan membantu menyusun proposal kebijakan yang terperinci, menetapkan anggaran, menyumbangkan ide, dan, jika perlu, memprotes secara terbuka terhadap kebijakan yang tidak mereka sukai.
Lantas, benarkah partisipasi masyarakat harus dikesampingkan dalam pembahasan UU Ciptaker ini?
Pandangan filsuf ternama, Niccolò Machiavelli dalam bukunya yang berjudul Diskursus bisa menjadi pemantik yang menarik. Machiavelli memperdebatkan tentang keterkaitan antara kebebasan masyarakat dan kemajuan negara. Machiavelli berargumen bahwa dalam menentukan apa yang terbaik bagi negara, suatu kebijakan tidak boleh dilihat hanya melalui kaca mata etis, tetapi dari faktor-faktor lain yang membuat kebijakan tersebut menjadi sangat penting bagi negara.
Baca Juga: UU Ciptaker, Kebangkitan Ekonomi Diktator?
Melalui pandangan Machiavelli, seorang penguasa harus tidak keberatan atas terjadinya ketidaksesuaian, bahkan kekejaman terhadap sejumlah kelompok rakyatnya, demi menjaga kestabilan dan eksistensi negara. Ketidakpuasan rakyat terhadap suatu kebijakan memang pasti akan terjadi, tapi penting untuk dipahami bahwa sentimen perlawanan yang muncul dari rakyat justru akan menciptakan ketidakpastian.
Namun, di sisi lain, dalam tulisan yang sama, Machiavelli juga mengatakan bahwa kebijakan berat yang harus diambil pemerintah tersebut tetap harus dipertanggung jawabkan, karena jika amarah masyarakat tidak ditangani, maka mereka akan memilih jalan ilegal, dan tidak diragukan lagi akan menghasilkan banyak efek yang lebih buruk.
Pada akhirnya, secara prinsip, UU Ciptaker adalah hal yang sesungguhnya diperlukan oleh Indonesia untuk menjawab permasalahan timpang tindih aturan. Namun, masalah utama yang seharusnya kita debatkan adalah selama ini aturan tersebut sangat minim transparansi dan komunikasi.
Berdasarkan pandangan dari filsuf ekonomi India, Amartya Sen dalam tulisannya Development as Freedom, pembangunan ekonomi negara tidak bisa dilihat hanya melalui angka pendapatan per kapita, tetapi juga perlu mempertimbangkan kesempatan sosial, jaminan transparansi, dan jaminan keamanan.
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk belajar dari polemik dua tahun terakhir, dan termotivasi agar lebih terbuka dan lebih mengundang masyarakat dalam perumusan UU Ciptaker, sehingga pembangunan ekonomi negara bisa lebih ideal untuk semua pihak. (D74)