Seri pemikiran Fareed Zakaria #18
Dalam publikasi terbarunya, Fareed Zakaria menyebut kerusakan lingkungan hidup turut berkontribusi pada eksistensi pandemi. Di dalam negeri sendiri, UU Ciptaker nyatanya juga mendapat sorotan minor pada klaster lingkungan hidup yang dianggap kontraproduktif pada keberlangsungan hutan Indonesia yang tersisa. Lantas, apa yang dapat dimaknai dari dua postulat tersebut?
Zamrud khatulistiwa secara filosofis terpatri sebagai julukan bagi Indonesia karena letaknya yang melintang di garis khatulistiwa dengan hamparan hutan yang hijau.
Namun seiring dengan laju aktivitas, kebutuhan, dan progresivitas manusianya, julukan tersebut tampaknya semakin memudar saat kini jamak hakikat hutan sesungguhnya bertransformasi menjadi area perkebunan hingga lahan tambang.
Data dari World Resources Institute (WRI) menunjukkan bahwa Indonesia masuk dalam daftar sepuluh negara dengan persentase kehilangan hutan hujan tropis atau deforestasi tertinggi di dunia pada tahun 2018.
Indonesia sendiri pernah mencatat angka deforestasi tertinggi pada periode 1996-2000, yakni sebesar 3,51 juta hektare per tahun. Dan deforestasi tertinggi kedua kemudian tercatatkan pada periode 2014-2015 dengan cakupan luas hutan alami yang tergerus sebesar 1,09 juta hektare.
Dalam buku terbarunya yang berjudul Ten Lessons for a Post-Pandemic World, Fareed Zakaria menyebut bahwa kerusakan lingkungan hidup termasuk hutan alami merupakan salah satu faktor determinan yang juga berkontribusi pada eksistensi wabah, epidemi, maupun pandemi.
Selain kemungkinan akibat konsumsi hewan liar, pandemi disebut oleh Zakaria sebagai balasan dari alam. Zakaria menyoroti aktivitas manusia seperti perusakan habitat alami hewan liar itu sendiri yang juga membuat semakin terbukanya peluang interaksi, termasuk transmisi penyakit atau virus dari hewan liar ke manusia untuk kemudian terjadi pada manusia ke manusia.
Pembangunan jalan dan pemukiman, hingga membuka lahan hutan untuk keperluan pertambangan menjadi aktivitas manusia dalam memperluas peradabannya ialah variabel yang berkontribusi besar bagi kemudaratan tersebut.
Mengutip seorang ahli penyakit ekologis asal Britania Raya, Peter Daszak, Zakaria menyebutkan sampel penyakit seperti rabies hingga ebola yang menjadi pengejawantahan bahwa manusia melakukan hal-hal yang membuat wabah, epidemi, maupun pandemi lebih mungkin terjadi.
Jika menariknya pada konteks kekinian di dalam negeri, pengesahan Omnibus Law UU Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker) juga dinilai memiliki porsi yang tak menguntungkan bagi kelestarian maupun keberlanjutan aspek lingkungan hidup dan kehutanan.
Meski naskah finalnya masih misteri, berlandaskan pada draft yang telah beredar, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) dan Greenpeace menyebut jika UU Ciptaker klaster lingkungan hidup melonggarkan sanksi bagi korporasi pelanggar ketentuan lingkungan hidup, baik perusakan hutan maupun ekskresi limbah, yang mana dampaknya juga akan berpengaruh pada aspek sosial ekonomi masyarakat secara luas, termasuk masyarakat adat yang hidup berdampingan dengan hutan.
Potensi kerusakan serta turunannya seperti kebakaran, deforestasi, hingga degradasi hutan tak hanya terkait dengan keseimbangan dan keberlanjutan alam dan lingkungan hidup, tetapi juga memperburuk dampak emisi global serta implikasi perubahan iklim yang kian nyata terasa.
Lantas jika memang demikian, mengapa pemerintah, dalam hal ini Presiden Jokowi yang disebut sebagai pengusul regulasi justru terkesan semakin “agresif” terhadap isu lingkungan hidup dan kehutanan?
Jokowi “Hanya” Menapaki Jejak Soeharto?
Deforestasi memang bukanlah hal baru di Indonesia. Namun alih-alih mengarah pada perbaikan, berbagai kebijakan kekinian pemerintah seolah justru mengarah pada ihwal yang kontraproduktif.
Dalam tulisannya di D+C Development and Cooperation, Marianne Scholte menyebutkan istilah legacy of destruction untuk menggambarkan bagaimana Presiden Soeharto seolah menjadi peletak dasar yang signifikan bagi pengelolaan hutan yang tak bertanggung jawab, termasuk dampak deforestasi masif pada hutan alami Indonesia.
Sudut pandang Scholte tampaknya memantik perspektif retroaktif yang lebih luas bahwa memang sejatinya faktor historis tidak bisa dilepaskan dari dinamika panjang regulasi dan implementasi pengelolaan hutan dan lahan di Indonesia.
Di era kepemimpinan Soekarno dengan kebijakan desentralistis plus ekonomi politik yang berlandaskan paradigma sosialisme dan nasionalisme yang anti investasi Barat, membuat sumber daya kehutanan cukup aman dari eksploitasi masif.
Investasi komersial di bidang kehutanan hampir nihil di masa Soekarno. Tercatat hanya terdapat kerja sama dengan perusahaan Jepang seperti Mitsui yang melakukan eksploitasi hutan pada tahun 1950-an di Kalimantan, namun dinilai kurang berhasil.
Semua bersulih 180 derajat saat tampu kepemimpinan berganti seperti yang Scholte kemukakan sebelumnya. Soeharto dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan ditambah dengan regulasi penanaman modal asing dan dalam negeri, menjadi justifikasi bagi era konsesi eksploitasi hutan yang sangat masif atau dikenal dengan sistem Hak Pengusaha Hutan (HPH).
Ditambah kuatnya relasi antara politisi, militer, dan pengusaha kehutanan – yang mana oleh Edward Aspinall disebut sebagai klientilisme – membuat eksploitasi hutan yang cenderung merusak dan tak bertanggung jawab berlangsung dengan langgeng.
Sektor kehutanan melalui pemberian HPH sendiri memang menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar setelah sektor minyak bumi, termasuk setelah kebijakan untuk membuka Hutan Tanaman Industri (HTI).
Namun secara akumulatif, Indonesia dinilai sangat merugi karena kehilangan hutan seluas 40 juta hektare pada era Orde Baru (Orba). Mayoritas terjadi di sejumlah daerah seperti Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Jambi, hingga Riau yang disebabkan konversi bagi lahan kelapa sawit, transmigrasi, konsesi HPH dan HTI, ekspansi pertanian, dan praktik illegal logging (pembalakan liar).
Terlebih keuntungan finansial dari pembangunan ekonomi nasional di sektor kehutanan dinilai hanya dinikmati oleh segelintir elite di lingkar kekuasaan.
Legacy of destruction di bidang kehutanan peninggalan Orba dinilai menjadikan pengelolaan hutan pasca reformasi tak banyak mengalami perbaikan berarti. Deforestasi dan pengelolaan hutan yang tak bertanggung jawab tetap terjadi dengan skala yang berbeda-beda di tiap kepemimpinan.
Di era Presiden Jokowi sendiri, tren eksploitasi hutan cenderung meningkat tajam dan berpotensi semakin masif dengan UU Ciptaker yang tinggal selangkah lagi berlaku.
Menyeruaknya isu hutan adat Kinipan di Kalimantan Tengah hingga semakin meluasnya pembabatan hutan di Provinsi Papua dan Papua Barat tampaknya menjadi perbandingan lurus yang getir dengan akselerasi ekonomi dan infrastruktur yang notabene tampak menjadi visi absolut eks Wali Kota Solo.
Lantas dengan gelagat tersebut plus postulat awal mengenai dampak minor UU Ciptaker bagi lingkungan hidup dan kehutanan, apakah Presiden Jokowi akan mengulang dan meninggalkan legacy of destruction seperti yang jamak dinilai Soeharto telah lakukan?
Greed vs Green
Meski Zakaria mengatakan bahwa aktivitas manusia yang eksploitatif dengan merusak lingkungan hidup dan kehutanan bersifat sangat merugikan dan bahkan dapat menjadi kausalitas bagi wabah, epidemi maupun pandemi, memang harus diakui tidak mudah untuk mengeliminir atau menghentikan perilaku tersebut.
Apalagi sejak eksploitasi alam, termasuk deforestasi hutan, berangkat dari upaya pemenuhan kebutuhan hidup elementer serta demi terus meningkatkan standar kehidupan manusia.
Di era Presiden Jokowi sendiri, salah satu komoditas yang bersemi di atas raibnya hutan belantara ialah kelapa sawit, yang mana pada tahun 2018 secara ekonomi kontribusi devisanya tak kalah dari batu bara yakni senilai US$ 18,9 miliar atau setara Rp 265 triliun.
Ironisnya, dua pencapaian komoditas tersebut, baik sawit maupun batu bara, mayoritas sama-sama diraih seiring jamak dipapasnya hutan alami yang tak jarang menuai polemik dalam pembebasan status eksploitasinya.
Kendati demikian, Zakaria menyebut bahwa menghentikan kemudaratan tersebut bukan tidak mungkin untuk dilakukan, utamanya bagi para pemimpin negara saat ini.
Refleksi bahwa lambat laun bencana ekologis dan lingkungan sejatinya dapat sangat merusak atau bahkan memusnahkan peradaban manusia itu sendiri, semestinya dapat membuat pemimpin dapat memahami dan mengartikulasikannya melalui kebijakan-kebijakan lingkungan hidup dan pemanfaatan alam yang bijak dan berkelanjutan.
Hal senada dengan dimensi berbeda pun dikatakan oleh Tony Juniper dalam Capitalism v Environment: Can Greed Ever be Green? yang mengatakan bahwa mengutamakan kepentingan kapitalisme berlebihan di atas keberlangsungan ekologi yang baik hanya akan membuka jalan menuju bagi kehancuran kita sendiri.
Jika memang benar UU Ciptaker nantinya akan menambah problematika lingkungan hidup dan kehutanan di tanah air, plus kalkulasi di mana Presiden Jokowi hampir mustahil secara politis untuk menganulir atau tidak menandatangani UU Ciptaker yang telah disahkan parlemen, legacy of destruction dinilai bukan tidak mungkin akan menjadi preseden yang terkonstruksi atas kepemimpinan mantan Gubernur DKI Jakarta secara keseluruhan.
Oleh karenanya, berbagai ancang-ancang atas upaya hukum kolektif untuk “meluruskan” UU Ciptaker patut didukung penuh oleh masyarakat, termasuk demi menyelamatkan lingkungan hidup dan kehutanan dari kehancuran. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.