Front Pembela Islam (FPI) dan Gerakan Alumni 212 tak mau ketinggalan ambil bagian dalam gelombang protes pengesahan Rancangan Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker). Dalam aksi 13.10 yang digelar beberapa waktu lalu, FPI bahkan menyebut imam besarnya, Habib Rizieq Shihab akan segera kembali ke Tanah Air untuk memimpin revolusi. Akankah polemik UU Ciptaker ini jadi momen kebangkitan FPI?
Sudah dua tahun lebih Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab bermukim di Arab Saudi. Rizieq tak kunjung kembali ke Tanah Air sejak bertolak ke Tanah Suci untuk melaksanakan ibadah umrah April 2017 lalu.
Meski bermukim ribuan kilometer jauhnya, namun pengaruh Rizieq nyatanya masih tetap terasa dalam beberapa tahun terakhir. Dengan aksentuasi yang khas, Ia tetap rajin mengkritisi situasi yang terjadi di dalam negeri.
Sejak kasus penistaan agama yang menyeret nama mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengemuka pada 2017 lalu, FPI di bawah komando Rizieq, memang tampil sebagai salah satu kekuatan yang cukup prominen dalam dinamika politik nasional. Bagaimana tidak, FPI bisa dibilang menjadi salah satu kekuatan penting di balik lahirnya gerakan Alumni 212 yang kerap dikait-kaitkan dengan kebangkitan politik identitas di Indonesia.
Sejumlah lembaga survei bahkan menyebut Rizieq menjadi salah satu tokoh penentu pada gelaran Pemilu 2019 silam. Kendati akhirnya Prabowo Subianto, sosok yang mereka dukung di Pemilu 2019 lalu bergabung dengan gerbong koalisi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), FPI dan Alumni 212 tetap konsisten menjadi oposisi pemerintah.
Konsistensi tersebut nyatanya terbukti hingga hari ini. Setelah lama tak terdengar, FPI dan Alumni 212 baru-baru ini ikut meramaikan gelombang protes terhadap pemerintah terkait pengesahan Rancangan Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker).
Lewat aksi 13.10 beberapa waktu lalu, FPI bahkan menyebut Rizieq akan segera kembali ke Indonesia. Mereka mengklaim kembalinya Rizieq ke tanah air adalah untuk memimpin gerakan revolusi menyelamatkan NKRI.
Meski Duta Besar Indonesia untuk Kerajaan Arab Saudi, Agus Maftuh menyebut Rizieq belum bisa kembali ke Indonesia karena tersangkut persoalan izin tinggal, namun FPI tetap pada pendiriannya. Mereka malah balik menuding KBRI justru menjadi pihak yang menghalang-halangi kepulangan Rizieq.
Wacana kepulangan Rizieq sebenarnya bukan baru-baru sini aja mengemuka. Rizieq sudah beberapa kali dikabarkan akan pulang, namun semua wacana itu tidak terbukti hingga saat ini.
Lantas apa sebenarnya motif FPI kembali melempar wacana tersebut di tengah-tengah gelombang sentimen publik terhadap pemerintah terkait polemik UU Ciptaker?
Ingin Bangkitkan Ketokohan Rizieq?
Meski masih aktif menggelorakan kritik terhadap pemerintah, namun tak dapat dipungkiri, absennya Rizieq selama hampir tiga tahun terakhir sedikit banyak berpengaruh terhadap sepak terjang FPI dan golongan Alumni 212 dalam dinamika politik nasional. Merapatnya Gerindra dan Prabowo Subianto ke gerbong pemerintahan Jokowi juga agaknya semakin tak menguntungkan posisi FPI.
Sejumlah pihak bahkan menilai FPI kini bak ‘macan ompong’ pasca ditinggal Rizieq. Aksi-aksi FPI yang masih kerap melakukan mobilisasi massa dalam beberapa kesempatan dinilai justru membuat masyarakat semakin jengah dengan agenda-agenda politik berbasis identitas agama yang memang konsisten mereka gelorakan.
Terlepas dari segala kontroversinya, tak dapat dipungkiri Rizieq adalah sosok pemimpin yang karismatik. Hal ini terbukti dari kemampuannya dalam mengintegrasikan FPI dan berbagai golongan ke dalam basis yang kini dikenal dengan sebutan Alumni 212. Golongan tersebut bahkan masih eksis meski tujuan awalnya telah tercapai.
Konsep kepemimpinan karismatik atau charismatic leadership sendiri diungkapkan oleh seorang sosiolog berkebangsaan Jerman, Max Weber. Dalam pemikirannya, Weber menyebut karisma merupakan kekuatan inovatif dan revolutif yang membuat sosok pemimpin mampu mengacaukan tatanan normatif politik yang mapan. Otoritas karismatik, menurutnya bersandar pada aspek person ketimbang hukum impersonal.
Maka dari itu, pemimpin karismatik akan cenderung menuntut kepatuhan dari para pengikutnya atas dasar keunggulan personal, seperti misi ketuhanan, perbuatan-perbuatan heroik dan anugerah yang membuatnya berbeda.
Meski memiliki kualitas kepemimpinan yang luar biasa, sosok pemimpin karismatik memiliki sisi gelap yang juga dapat merugikan organisasi yang dipimpinnya. Ray Williams dalam tulisannya yang berjudul Beware: The Dark Side of Charismatic Leaders menilai mereka yang mengandalkan karisma dalam memimpin memiliki keyakinan dan optimisme yang berlebihan, yang mana ini membuat mereka sulit melihat bahaya yang nyata.
Selain itu, otoritas yang lebih dominan mengandalkan karisma juga dapat menghambat lahirnya pemimpin penerus. Hal ini lantaran para pengikut-pengikutnya memiliki ketergantungan yang berlebihan terhadap sosok pemimpin karismatik. Terhambatnya proses regenerasi pemimpin itu lantas berpotensi menciptakan krisis kepemimpinan di masa yang akan datang.
Berangkat dari sini, maka dapat dikatakan melemahnya kekuaan FPI pasca absennya Rizieq dalam beberapa tahun terakhir boleh jadi disebabkan oleh otoritas karismatik yang selama ini Ia terapkan. Absennya sosok pemimpin tersebut, membuat organisasi FPI kini terjebak dalam fase krisis kepimpinan karena tak ada lagi tokoh lain yang mampu menandingi komando Rizieq di FPI.
Dengan mempertimbangkan hal itu, maka menjadi masuk akal jika FPI kini memanfaatkan momentum polemik UU Ciptaker untuk menggembar-gemborkan wacana kepulangan Rizieq. Hal ini dilakukan demi menggelorakan kembali ketokohan Rizieq kepada publik.
Lantas jika memang asumsi tersebut benar, apakah FPI akhirya dapat kembali merebut kejayaannya jika nantinya Rizieq benar-benar kembali ke Indonesia?
Senjakala FPI?
FPI merupakan ormas Islam yang lahir di tengah gejolak politik 1998. Awalnya organisasi ini aktif bergerak di akar rumput dengan melakukan aksi-aksi sweeping di tengah-tengah masyarakat.
Namun begitu, kiprah FPI sebagai ormas sebenarnya tak bisa selalu dipandang sebelah mata. Tak dapat dipungkiri, organisasi ini kerap menjadi yang terdepan dalam gerakan-gerakan sosial di tengah-tengah bencana. Gerakan-gerakan tersebut bahkan sempat mendapat pujian dari media-media asing.
Meski kiprah politik FPI memiliki sejarah yang cukup panjang, namun signifikansi kekuatan FPI secara politik baru terjadi kala organisasi ini mulai memberikan dukungannya pada pencalonan Prabowo Subianto di Pilpres 2014, hingga terus berlanjut sampai Pilpres 2019.
Namun demikian, puncak kebangkitan kekuatan politik FPI sebenarnya terjadi pada tahun 2017. Kala itu, FPI di bawah komando Rizieq tampil sebagai salah satu motor penggerak gerakan 212 yang akhirnya berhasil menyeret Ahok ke jeruji besi akibat kasus penistaan agama. Sejak saat itu, FPI konsisten memainkan perannya sebagai kekuatan utama yang paling vokal mengkritik pemerintahan Jokowi.
Meski begitu, kesuksesan kiprah politik FPI nyatanya memiliki konsekuensi yang harus dibayar. Ian Wilson dalam tulisannya yang berjudul Between Throwing Rocks and a Hard Place: FPI and the Jakarta Riots menilai sejak FPI lebih fokus berkiprah dalam perpolitikan nasional, ormas tersebut mulai kehilangan dukungannya di akar rumput.
Kendati kapasitas FPI dalam menghimpun masyarakat yang lebih beragam secara demografis dan ideologi sebenarnya meningkat, namun di sisi lain ormas itu bisa dibilang telah meninggalkan keberadaannya di akar rumput. Ini membuatnya tak lagi memiliki kekuatan di tingkat infrastruktur lokal sebagaimana ormas-ormas lain seperti Forum Betawi Rempug (FBR) atau Pemuda Pancasila (PP).
Ian juga menilai konsistensi untuk tetap memposisikan diri sebagai oposan juga membuat FPI harus menghadapi kenyataan bahwa mereka tak lagi memiliki patronase politik yang jelas. Hal ini membuat mereka menjadi semakin rentan terhadap kriminalisasi oleh pemerintahan Jokowi, khususnya di periode kedua yang dinilai tidak segan-segan menggunakan sistem hukum untuk menargetkan para pengkritiknya.
Setelah poros Gerindra-PKS pecah pasca pemilu 2019, arah politik FPI ke depan memang masih menjadi tanda tanya besar. FPI bisa dibilang tak lagi memiliki ‘backing’ politik kuat. Satu-satunya parpol yang mungkin masih setia bersanding dengan FPI adalah PKS dan sejumlah loyalis Amien Rais yang baru saja mendirikan Partai Ummat. Akan tetapi tak dapat dipungkiri, modal tersebut tidaklah cukup bagi FPI untuk mengkatrol kekuatan politiknya.
Dengan memudarnya dukungan di akar rumput, momentum polemik UU Ciptaker dan wacana kembalinya Rizieq sekalipun boleh jadi tak akan terlalu banyak menguntungkan posisi FPI saat ini. FPI sudah seharusnya mempertimbangkan untuk kembali membenahi kehadirannya di akar rumput. Selain itu, ormas tersebut juga sepertinya perlu menawarkan narasi baru untuk kembali mendulang simpati publik di luar politik berbasis agama yang selama ini sudah kerap mereka gelorakan.
Pada akhirnya, semua ulasan-ulasan tersebut hanyalah asumsi yang disandarkan pada teori-teori logis semata. Motif sebenarnya di balik munculnya wacana kepulangan Rizieq di tengah-tengah polemik UU Ciptaker hanyalah pihak-pihak terkait yang tahu. Terkait apakah wacana kepulangan Rizieq sendiri akhirnya akan terwujud atau tidak, hanyalah waktu yang sanggup menjawabnya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.