Site icon PinterPolitik.com

UU Ciptaker, Kebangkitan Ekonomi Diktator?

UU Ciptaker, Kebangkitan Ekonomi Diktator?

Presiden Jokowi bersama dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping (Foto: Kompas)

Pengesahan RUU Ciptaker menjadi UU tidak hanya disikapi sebagai perubahan regulasi bisnis yang lebih terpusat, melainkan juga disebut sebagai preseden atas kebangkitan sistem ekonomi diktator. Dengan kedekatan pemerintahan Jokowi dengan Xi Jinping, mungkinkah RUU tersebut diimitasi dari Tiongkok?


PinterPolitik.com

“Negara-negara otoriter, dipimpin Tiongkok, tumbuh lebih percaya diri dan menonjol” – Francis Fukuyama, dalam Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment

Sejak terjadinya gelombang demokratisasi setelah Perang Dunia II, diktator, otoriter, dan istilah berkonotasi pemerintahan bertangan besi lainnya dipahami sebagai istilah negatif. Tidak hanya itu, istilah tersebut juga bertransformasi menjadi semacam cercaan politik dan kritik bagi mereka yang sedang menikmati kursi kekuasaan.

Pada 11 Maret lalu, istilah tersebut yang juga digunakan oleh Ketua Departemen Dalam Negeri Partai Demokrat, Abdullah Rasyid untuk memberikan kritik terhadap Racangan Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Ciptaker). Tuturnya, alasan terkuat Partai Demokrat menolak RUU Ciptaker karena mengakibatkan pemusatan kekuasaan di tangan presiden, yang mana ini berpotensi membuat presiden menjadi diktator.

Dengan teknik yang mirip, namun jauh lebih halus, Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah juga mengkritik RUU Ciptaker yang sudah disahkan menjadi UU baru-baru ini. Menurutnya, UU tersebut kemungkinan diadopsi dari sistem ekonomi Tiongkok.

Seperti yang diketahui, bersama dengan Rusia, Tiongkok adalah negara yang begitu percaya diri pada sistem politik otoriternya. Dengan kata lain, menyamakan UU Ciptaker dengan sistem ekonomi Tiongkok sama saja dengan menyebut produk hukum tersebut meniru sistem ekonomi terpusat yang otoriter.

Senada, Iqra Anugrah dalam tulisannya The Illiberal Turn in Indonesian Democracy (2020) juga menyebutkan bahwa dipromosikannya Omnibus Law yang disebutnya sebagai produk hukum pro-kapital dan investasi adalah indikasi bahwa demokrasi Indonesia saat ini telah dikuasai oleh golongan elite dan oligarki. Secara spesifik, Anugrah menyebut ini sebagai konsekuensi dari berjalannya demokrasi iliberal atau demokrasi semu.

Tentu pertanyaannya, benarkah UU Ciptaker diadopsi dari Tiongkok? Kemudian, akankah UU ini akan membawa Presiden Jokowi menerapkan ekonomi diktator?

Gelombang Balik Demokrasi

Samuel P. Huntington dalam bukunya yang berjudul The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century (1991) akan memberikan kita penjelasan yang menarik terkait dugaan Fahri tersebut.

Berbeda dengan berbagai catatan yang menyebutkan gelombang demokratisasi terjadi sejak berakhirnya Perang Dunia II, Huntington justru menyebut peristiwa bersejarah ini sebenarnya telah terjadi jauh sebelum itu.

Menurutnya, gelombang demokratisasi pertama sudah terjadi sejak tahun 1828 – 1926. Gelombang demokratisasi kedua dan ketiga kemudian terjadi pada tahun 1943 – 1962 dan 1974 – (unknown). Menariknya, Huntington melihat terdapat gelombang balik setelah terjadinya gelombang demokratisasi. Gelombang balik pertama terjadi pada tahun 1922 – 1942, dan gelombang balik kedua pada tahun 1958 – 1975.

Tidak hanya mencatat sejarah, Huntington bahkan membuat “ramalan” bahwa gelombang balik ketiga bisa saja terjadi. Mengumpulkan faktor-faktor yang menyebabkan gelombang balik pertama dan kedua, Huntington merumuskan berbagai faktor yang dapat saja menyebabkan gelombang balik ketiga sebagai berikut.

Pertama, kegagalan sistemis dari rezim-rezim demokratis untuk beroperasi secara efektif dapat memperlemah legitimasi mereka. 

Kedua, ambruknya perekonomian dapat mengikis legitimasi demokrasi. 

Ketiga, bergesernya negara demokrasi besar ke arah otoriter dapat memicu efek bola salju di negara-negara lainnya. Di sini, Huntington mencontohkan berbaliknya Rusia ke negara otoriter.

Keempat, bergesernya negara demokrasi baru ke arah otoriter karena tidak memiliki banyak prasyarat demokrasi juga dapat menciptakan efek bola salju.

Kelima, apabila sebuah negara non-demokratis mengembangkan kekuatannya secara besar-besaran dan memperluas wilayah pengaruhnya, ini dapat merangsang gerakan-gerakan otoriter di negara lain. Huntington mencontohkan Tiongkok dalam kasus ini.

Keenam, bentuk-bentuk otoritarianisme dapat saja muncul kembali apabila dinilai sesuai dengan kebutuhan zaman.

Menariknya, gelombang balik ketiga tampaknya tengah terjadi. Francis Fukuyama dalam bukunya Identity: The Demand for Dignity and the Politics of Resentment (2018) menyebutkan bahwa sejak pertengahan tahun 2000-an, tren demokratisasi telah berbalik dan negara demokrasi jumlahnya telah menurun. Di sini, Fukuyama kembali menyinggung majunya Tiongkok telah membuat negara-negara non-demokratis tampil lebih percaya diri.

Otoritarianisme Tiongkok Menular?

Jika Huntington benar, tudingan Fahri boleh jadi benar adanya. Dengan ambisi Presiden Jokowi pada pertumbuhan ekonomi dan melihat berhasilnya sistem ekonomi Tiongkok, boleh jadi ini membuat pemerintah “tergiur” untuk menerapkan sistem ekonomi yang sama.

Seperti yang disebutkan Fahri, kapitalisme baru ala Tiongkok boleh jadi telah dilihat lebih menjanjikan dibandingkan kapitalisme model Amerika Serikat (AS) dan di benua Eropa. Apalagi, dengan kedekatan Presiden Jokowi dengan Tiongkok dalam kerja sama ekonomi, boleh jadi ini memperbesar peluang ketertarikan tersebut.

Sistem ekonomi Tiongkok sendiri begitu unik. Kendati sistem politiknya otoriter, sistem ekonominya justru kapitalistik. Alhasil, pemerintah lebih leluasa dalam mengatur laju perekonomian.

Intervensi negara dalam laju ekonomi sebenarnya bukanlah hal baru. Sejak terjadinya Depresi Besar, berbagai pihak mulai mengkritik sistem ekonomi pasar bebas yang dinilai tidak menjamin terbentuknya pasar yang stabil. Sejak tahun 1944, ahli ekonomi Karl Polanyi juga telah mencatat bahwa pasar harus diatur dengan peraturan yang ketat. Jika tidak demikian, menurutnya pasar akan menjadi “penggilingan setan”.

Tidak hanya masalah pasar global yang tidak stabil, Indonesia juga mendapati masalah domestik karena terjadi tumpang tindih regulasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Oleh karenanya, ini menjadi dasar yang kuat untuk membentuk suatu payung hukum untuk memastikan pasar dapat bekerja dengan baik. Salah satunya adalah Omnibus Law UU Ciptaker.

Konteks ini juga dibahas oleh Harpani Matnuh dalam tulisannya Law as a Tool of Social Engineering. Tegasnya, pada prinsipnya fungsi hukum adalah sebagai alat rekayasa sosial untuk melakukan perubahan yang diinginkan atau direncanakan. Di tengah masyarakat yang kompleks, alat yang paling tepat untuk mengubah birokrasi adalah dengan menerapkan penegakan hukum.

Namun, kendatipun sistem ekonomi sentralistik ala Tiongkok benar-benar diadopsi, terdapat dua hal yang menjadi ganjalan utama. Pertama, Presiden Jokowi tidak memiliki kekuasaan seluas Xi Jinping. Kedua, tidak ada ketegasan hukum terhadap koruptor. Ganjalan kedua boleh jadi merupakan konsekuensi dari ganjalan pertama.

Konteks ini juga diungkapkan oleh Tenaga Ahli Utama Kepala Staf Presiden (KSP) Donny Gahral Adian dalam wawancaranya dengan PinterPolitik. Menurutnya, UU Ciptaker tidak membalikkan sistem kekuasaan menjadi sentralistik seperti era Soeharto karena pemerintah daerah masih memiliki kewenangan. Oleh karenanya, Donny membantah tudingan sejumlah pihak yang menyebut UU ini akan membuat pemerintah menjadi otoriter.

Selain itu, terkait dugaan Fahri, Donny menegaskan bahwa Omnibus Law bukanlah adopsi atau imitasi dari sistem ekonomi Tiongkok, melainkan buah dari evaluasi pengalaman atas dibutuhkannya penataan birokrasi dalam bidang ekonomi.

Pada akhirnya, apapun yang ada di balik proses pengesahan UU Ciptaker, yang terpenting saat ini adalah pemerintah harus memastikan bahwa masyarakat memahami bahwa produk hukum tersebut memiliki rasa keadilan. Seperti yang disebutkan oleh Matnuh, hukum sebagai rekayasa sosial akan berjalan baik apabila masyarakat sudah memahaminya sebagai suatu hal yang baik.

Mari kita nantikan apa upaya pemerintah dalam membendung surplus kecurigaan akibat disahkannya UU Ciptaker. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

Exit mobile version