Per 2 November 2020, Presiden Jokowi resmi meneken UU Ciptaker, yang akhirnya membuat UU kontroversial tersebut resmi berlaku. Tentu kita paham, UU ini membawa sentralisasi ekonomi sebagai kritik sekaligus jawaban atas desentralisasi ekonomi yang dinilai memiliki banyak celah. Namun, tepatkah resep tersebut?
Telah lama publik bergemuruh akibat ambisi Omnibus Law, khususnya Undang-undang Cipta Lapangan Kerja (UU Ciptaker). Namun menariknya, di tengah masifnya gelombang penolakan, kemarin malam Presiden Joko Widodo (Jokowi) justru meneken UU tersebut. Dalam versi terbarunya, UU ini setebal 1.187 halaman dan diundangkan dalam Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Tidak lama setelah disahkan, #MosiTidakPercaya kemudian trending di media sosial sebagai respons, sekaligus kritik publik. Tidak hanya publik, Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat, Irwan Fecho juga turut berkomentar dengan menyebutkan bahwa pengesahan tersebut menunjukkan Presiden telah mengabaikan aspirasi rakyat melalui protes buruh dan mahasiswa yang turun ke jalan, dan juga penolakan dari tokoh agama serta akademisi.
Menariknya, kendati sudah diteken, ternyata UU Ciptaker masih memiliki kesalahan penulisan. Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melalui akun Twitter @FPKSDPRRI, misalnya, mengungkapkan adanya ayat yang hilang dalam UU tersebut. Pada Bab III Pasal 6, disebutkan bahwa “Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a”. Tapi anehnya, ayat (1) huruf a justru tidak terdapat dalam Pasal 5.
Yang lebih menarik adalah, ternyata pemerintah melalui Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno mengakui kekeliruan tersebut. Namun menurutnya, kekeliruan itu bersifat teknis administratif sehingga tidak berpengaruh terhadap implementasi UU Ciptaker.
Selaku UU yang menyangkut hajat hidup orang banyak, tentu sangat aneh mengapa kesalahan semacam itu dapat terjadi. Selain persoalan hilangnya ayat (1) huruf a dalam Pasal 5 yang kini tengah viral, kita juga perlu untuk mempersoalkan dan menguji, benarkah landasan filosofis UU tersebut?
Sebagaimana diketahui, UU Ciptaker berusaha untuk menciptakan perizinan terpusat karena menilai desenstralisasi kewenangan karena adanya otonomi daerah justru telah menghambat perizinan usaha.
Central Economic Planning
Sekiranya masif kita dengar bahwa otonomi daerah setelah jatuhnya rezim Soeharto justru memberikan dampak negatif. Itu misalnya dari tumpang tindih kebijakan antara pusat dan daerah, ataupun sulitnya membangun sinergitas pembangunan.
Francis Fukuyama dalam bukunya Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21, juga menyebutkan bahwa otonomi daerah di Indonesia justru telah berkonsekuensi pada terjadinya korupsi di semua tingkatan eselon. Oleh karenanya, Ia lebih menyarankan agar pemerintahan dijalankan secara terpusat agar agenda pembangunan ataupun kebijakan dapat lebih terarah.
Penekanan akan dampak negatif otonomi daerah atau pendelegasian kewenangan ke pemerintah daerah kemudian menjadi argumentasi kunci mengapa pemerintah mendorong pemberlakuan UU Ciptaker. Bahkan, di tengah masifnya penolakan, Presiden Jokowi tanpa ragu meneken UU tersebut. Sebelumnya, mantan Wali Kota Solo itu memang telah menegaskan bahwa dirinya tidak takut mengambil keputusan non-populis jika itu demi kepentingan masyarakat.
Tentu kita paham bahwa UU Ciptaker mestilah memiliki niat atau tujuan baik, khususnya untuk memudahkan perizinan usaha yang selama ini dikenal begitu rumit di Indonesia. Akan tetapi, bagaimana jika UU Ciptaker yang mengembalikan sistem perizinan ekonomi menjadi terpusat seperti di rezim Soeharto justru kontradiktif dengan tujuannya untuk menciptakan efektivitas?
Pada tahun 1945, ekonom sekaligus filsuf ekonomi Friedrich August von Hayek adalah sosok yang memberikan kritik keras atas asumsi bahwa sentralisasi ekonomi akan berkonsekuensi pada efektivitas. Tibor R. Machan dalam tulisannya Beyond Hayek: A Critique of Central Planning menyebutkan bahwa tesis Hayek adalah perencanaan ekonomi terpusat tidak akan pernah dapat mengalokasikan sumber daya secara efisien atau mengkoordinasikan kegiatan masyarakat untuk tujuan yang ingin mereka capai.
Landasan argumentasinya adalah ekonomi terpusat akan membuat mereka yang mengambil kebijakan ekonomi mengalami kekurangan informasi mendetail di tiap-tiap daerah atau sektor. Senada, David Henderson dalam tulisannya Hayek and Central Planning juga menyebutkan bahwa perencana ekonomi terpusat tidak memungkinkan untuk memiliki informasi yang dibutuhkan untuk merencanakan perekonomian dengan baik.
Menurut Fukuyama, Hayek melihat bahwa mayoritas informasi yang digunakan dalam perencanaan ekonomi justru bersifat lokal dan berkaitan dengan keadaan-keadaan tertentu yang biasanya hanya diketahui oleh para pelaku lokal.
Sama seperti Henderson, Fukuyama juga menyebutkan bahwa penjelasan Hayek ini adalah jawaban dari macetnya perencanaan ekonomi terpusat yang diusung dalam sosialisme. Dengan adanya kompleksitas informasi, tentu mustahil bagi mereka yang berada di pusat untuk memahami dan bertindak berdasarkan semua pengetahuan lokal yang dihasilkan dalam perekonomian modern.
Lanjut Fukuyama, desentralisasi seperti yang dipromosikan Hayek, selain membuat aktor ekonomi lebih dekat dengan sumber informasi, juga memungkinkan perubahan atau adaptasi yang lebih baik karena informasi lebih cepat didapatkan.
Pada praktiknya, kita dapat melihat perencana ekonomi terpusat justru berimbas pada kebijakan ekonomi yang bersifat reduksionis karena percaya bahwa perencanaan yang ada mestilah baik bagi semua pihak. Dalam tulisan yang dimuat oleh Intercollegiate Studies Institute, disebutkan bahwa kegagalan perencanaan ekonomi terpusat yang jamak ditunjukkan saat ini adalah bukti dari relevansi kritik Hayek terkait dibutuhkannya informasi lokal dalam perencanaan ekonomi.
Jawaban yang Kurang Tepat?
Entah bertolak dari Hayek atau bukan, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati dalam wawancaranya dengan PinterPolitik juga menyebutkan bahwa asumsi UU Ciptaker akan mewujudkan ekonomi yang efektif perlu dipertanyakan.
Menurutnya, jika pemerintah daerah saja tidak memiliki informasi yang mendetail tentang kondisi ekonomi daerahnya, bagaimana mungkin pemerintah pusat akan memiliki informasi yang lebih baik?
Dalam sejarahnya, otonomi daerah sendiri merupakan evaluasi atas kebijakan pembangunan yang terlalu terpusat di Pulau Jawa atau yang kerap disebut Jawa-sentris. Dengan adanya pendelegasian wewenang ke pemerintah daerah, diharapkan pemerataan pembangunan dapat terjadi karena tidak perlu menunggu arahan langsung dari pusat.
Akan tetapi, otonomi daerah yang terjadi saat ini memang harus diakui belum berjalan maksimal. Sampai saat ini pembangunan masih terlihat berkutat di Pulau Jawa. Namun, itu sebenarnya lebih karena pemerintah daerah yang belum bekerja secara maksimal. Selain itu, Pulau Jawa memang telah lama menjadi pusat industri dan masih dominannya populasi di Pulau Jawa.
Menurut Asfina, terdapat inkonsistensi logis dalam argumentasi pendukung UU Ciptaker. Pasalnya, jika argumentasi dasar sentralisasi ekonomi adalah untuk memutus mata rantai korupsi birokrasi, mengapa bukan persoalan korupsi yang diselesaikan? Lanjutnya, kendatipun perizinan usaha nantinya terpusat, korupsi akan tetap ada jika tidak terdapat kepastian hukum terhadap para koruptor.
Rimawan Pradiptyo dalam tulisannya A Certain Uncertainty; Assessment of Court Decisions in Tackling Corruption in Indonesia, menggunakan data putusan Mahkamah Agung RI dari tahun 2001 hingga tahun 2009, menemukan bahwa meskipun terdapat panduan yang jelas tentang intensitas hukuman terhadap setiap jenis korupsi, keputusan hakim tentang intensitas hukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa justru jauh dari kata konsisten.
Temuan Pradiptyo dengan jelas mengafirmasi pernyataan Asfina bahwa masalah kita memang adalah kepastian hukum, khususnya bagi terdakwa korupsi. Dengan kata lain, mungkin kita dapat menyimpulkan bahwa pemerintah telah melakukan penalaran yang tidak konsisten karena akar masalah, yakni korupsi justru tidak dijadikan sebagai fokus penekanan. Yang dirasa sebagai jawaban justru adalah mengembalikan perencanaan ekonomi menjadi terpusat melalui UU Ciptaker.
Pada akhirnya, hanya waktu yang menjawab kebenaran dari asumsi pemerintah bahwa UU Ciptaker adalah jawaban dari masalah ekonomi yang ada saat ini. Kita lihat saja bagaimana kelanjutan UU tersebut. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)