Kembali, pinjaman sebesar Rp 3,6 triliun dari Bank Dunia melenggang ke kas Indonesia dan kali ini diperuntukan bagi tanggap darurat Covid-19 di tanah air. Lantas di balik peran signifikan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, benarkah ini mengindikasikan bahwa ketergantungannya terhadap pinjaman Bank Dunia telah amat tinggi?
PinterPolitik.com
Tinggal bergantung pada “seutas” utang. Begitu kiranya analogi sederhana untuk mengekspresikan salah satu reaksi publik terkait utang terbaru dari Bank Dunia yang diterima Indonesia dan telah disepakati pada akhir pekan lalu.
Setelah seolah mendapatkan tunjangan hari raya atau “THR” atas pinjaman kedua Bank Dunia kepada Indonesia sebesar Rp 10,3 triliun pada pertengahan Mei lalu, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, sebagai bendahara negara dan eks pejabat Bank Dunia, seperti mendapat “hamper” ketika dana sebesar Rp 3,6 triliun kembali mengalir dari lembaga keuangan internasional itu.
Kesulitan keuangan negara memang diakui oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tempo hari. Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu, Hidayat Amir mengestimasi bahwa kerugian negara akibat pandemi Covid-19 sepanjang kuartal pertama tahun 2020 kurang lebih mencapai Rp 316 triliun.
Padahal, angka tersebut memasukkan komponen Produk Domestik Bruto (PDB) yang dinilai memiliki korelasi secara langsung pada utang dalam indikator rasio esensial. Pada bulan April sendiri, rasio utang terhadap PDB Indonesia mencapai 31,78 persen.
Meskipun rasio tersebut turun dari bulan sebelumnya yang mencatatkan 32,12 persen, angka tersebut dinilai masih mengkhawatirkan di tengah ketidakpastian dampak ekonomi dari pandemi Covid-19. Hal ini pula yang diproyeksikan Bank Dunia sebagai debitur “favorit” Sri Mulyani.
Ralph van Doorn, Ekonom Senior Bank Dunia untuk Indonesia memproyeksikan bahwa rasio utang tanah air terhadap PDB akan naik mendekati 40 persen. Selain itu, angka ini masih belum pasti terkait apakah realitanya justru lebih besar berbanding lurus dengan ketidakpastian pandemi.
Dengan berbagai realisasi pinjaman Bank Dunia serta proyeksi relevansi rasio sebelumnya, apakah konsekuensi nyata dari pinjaman Bank Dunia yang seolah jadi candu tersendiri bagi Sri Mulyani ini sebagai alternatif utama ketika negara mengalami kesulitan keuangan?
Resultan Inheren
John Cavanagh, peneliti dari Institute for Policy Studies di Washington D.C. Amerika Serikat (AS) menggarisbawahi temuan menarik terkait dampak pinjaman Bank Dunia terhadap negara debitur.
Dalam tulisannya yang berjudul “World Bank, IMF Turned Poor Third World Nations into Loan Addicts”, Cavanagh menyatakan bahwa ketika negara menerima structural advice atau persyaratan struktural, Bank Dunia “menghadiahi” negara tersebut dengan pinjaman lebih banyak lagi yang memperdalam hutang mereka. Lalu, Cavanangh juga mengungkapkan beberapa implikasi dari persyaratan struktural riil yang seolah bagai pedang bermata dua bagi negara peminjam.
Menariknya, implikasi tersebut dinilai relevan dengan dinamika ekonomi politik di republik ini dalam beberapa waktu terakhir. Pertama, Cavanangh menyatakan bahwa konsekuensi dari pinjaman Bank Dunia berpengaruh pada berkurang dan bahkan dipangkasnya spending atau pengeluaran pemerintah pada aspek dasar seperti bahan pokok, bahan bakar, hingga pendidikan.
Implikasi tersebut seolah relevan dengan realita realokasi anggaran yang menyasar bidang yang sangat penting di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) akibat dampak pandemi Covid-19.
Ada pula kebijaksanaan yang tidak bijaksana ketika negara enggan menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) bahkan ketika harga minyak mentah dunia tengah jatuh sejatuh-jatuhnya dalam beberapa bulan terakhir.
Lalu yang kedua, Cavanagh menyebutkan dampak inheren pinjaman Bank Dunia terhadap terjadinya eksploitasi berbagai sumber daya secara maksimal yang berorientasi pada “subsidi” investasi. Hal ini tercermin dalam pengesahan Revisi Undang-Undang (UU) No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara atau yang dikenal dengan UU Minerba, meskipun dinilai jamak terdapat pasal kontrovesial nan penuh mudarat bagi banyak aspek esensial di Indonesia.
Ketiga, Cavanagh menemukan fakta bahwa terdapat korelasi pinjaman Bank Dunia dengan masifnya impor di negara debitur. Meskipun Badan Pusat Statistik mengatakan bahwa presentase impor Indonesia di bulan April lalu turun, namun secara agregat angka tersebut masih cukup besar terutama pada sektor elementer yang seharusnya bisa dimaksimalkan di dalam negeri seperti kebutuhan pangan dan sandang.
Ketiga dampak dan relevansi pinjaman Bank Dunia yang disebutkan Cavanagh tersebut dengan dinamika dan realita yang terjadi di Indonesia saat ini, menjadi konsekuensi inheren tersendiri baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sri Mulyani sebagai Menkeu dan pihak yang dipastikan berada di balik pengajuan pinjaman kepada Bank Dunia dinilai bukan tidak menyadari implikasi yang dikemukakan oleh Cavanagh di atas serta berbagai dinamika dan realita yang terjadi di dalam negeri.
Namun demikian, Sri Mulyani di sisi lain juga dinilai sangat memahami bahwa keuangan negara memang sedang tidak baik-baik saja saat ini dan “terpaksa” harus menjatuhkan pilihan untuk secara rutin meminjam kepada Bank Dunia dengan pertimbangan risiko seminimal mungkin.
Lantas, apakah keterpaksaan tersebut saat ini telah menjelma menjadi candu tersendiri jika melihat intensitas pinjaman yang tinggi, paling tidak dalam dua bulan terkahir.
Ketagihan Utang?
Ihwal berikutnya yang menarik ialah, pinjaman teranyar dari Bank Dunia sebesar US$ 250 juta atau sekitar Rp 3,6 triliun yang diperuntukan bagi penguatan aspek penanganan Covid-19 di bawah naungan Kementerian Kesehatan (Kemenkes), agaknya menguak benang merah tersendiri jika disejajarkan dengan peruntukan dua utang dari Bank Dunia sebelumnya.
Pada utang pertama Maret lalu, Bank Dunia menyodorkan US$ 300 juta atau sekitar 14,8 triliun bagi reformasi sektor keuangan di bawah naungan Kemenkeu. Lalu utang berikutnya pada pertengahan Mei, dari total US$ 700 juta atau sekitar 10,3 triliun, sebanyak US$ 400 atau Rp 5,6 triliun dialokasikan bagi Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan sosial atau (bansos) di bawah naungan Kementerian Sosial (Kemensos).
Catharine Weaver dalam tulisannya yang berjudul “Hypocrisy Trap: The World Bank and the Poverty of Reform” menyatakan bahwa penyesuaian struktural bagi sebuah negara sebagai syarat pinjaman Bank Dunia membuat negara tersebut menjadi aid dependence atau ketergantungan dana bantuan. Bahkan istilah Weaver itu oleh Cavanagh sebelumnya disebut sebagai loan addict atau jika diterjemahkan dapat berarti pecandu pinjaman.
Apa yang Weaver kemukakan tampaknya relevan dengan benang merah yang telah dijelaskan sebelumnya terkait kehadiran dana pinjaman Bank Dunia yang seolah menjadi sangat sering dan dengan peruntukan yang “bergilir”.
Hal ini didukung oleh fakta bahwa pandemi Covid-19 agaknya menjadi rasionalisasi paling logis dan dapat menjadi justifikasi andalan dalam hal manuver kebijakan moneter negara.
Menjadi sebuah indikasi tersendiri ketika mengatakan bahwa Sri Mulyani seolah menjadi pivot bagi suplai utang dari Bank Dunia untuk kemudian didistribusikan kepada sektor atau kementerian yang membutuhkan kucuran dana segar dengan justifikasi dampak pandemi.
Posibilitas bagi kehadiran dana berikutnya yang diartikulasikan dalam proposal pinjaman Sri Mulyani kepada Bank Dunia untuk sektor serta kementerian lain disinyalir semakin menguat. Hal ini diperkuat pula ketika tercermin realita pengakuan Kemenkeu sebelumnya bahwa Indonesia tengah rugi ratusan triliun rupiah akibat pandemi sampai sejauh ini.
Jika mengacu pada sektor esensial lain serta berbagai dinamika dampak pandemi yang terjadi Indonesia, prioritas berikutnya dinilai tak akan jauh dari pada sektor perdagangan, pertanian, ketenagakerjaan, hingga pariwisata dan ekonomi kreatif.
Namun demikian, sinyal ini menjadi kekhawatiran tersendiri yang harus disadari publik dan diantisipasi oleh Sri Mulyani sendiri saat mengacu pada tiga structural adjusment Cavanagh beserta realita dan dampak cenderung minor yang terjadi di Indonesia di mana telah dijelaskan sebelumnya.
Pada kulminasi ini, diharapkan manuver “terpaksa” utang Sri Mulyani sebisa mungkin tidak memberikan dampak negatif lanjutan yang terus berlanjut dan justru merugikan negara serta membebani moril dan materil masyarakat di kemudian hari. Itulah harapan saat ini. (J61)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.