“Ya maju, saya yang mewakili Gerindra. Memang saya disuruh maju, bukan seandainya lagi. Sudah benar gua yang disuruh maju,” Mohammad Taufik
PinterPolitik.com
[dropcap]T[/dropcap]eka-teki siapa yang akan mengisi kursi DKI-2 masih belum juga terungkap. Pasca posisi tersebut ditinggalkan Sandiaga Uno, masih belum ada sosok yang bisa menggantikannya. Kosongnya kursi tersebut membuat sejumlah aktor politik mengincar posisi penting itu.
Salah satu yang mengincar posisi tersebut adalah Ketua DPD Gerindra DKI Jakarta Mohammad Taufik. Dalam berbagai kesempatan, pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta itu kerap mengklaim dirinya sebagai calon pengisi kursi DKI-2 dari Gerindra.
DPD Gerindra DKI Jakarta dikabarkan telah resmi menawarkan nama Taufik sebagai pengganti Sandiaga. Mereka menyebut bahwa sosok Taufik adalah kandidat terbaik yang dimiliki. Padahal, selama ini Taufik amat lekat dengan statusnya sebagai mantan narapidana korupsi.
Bagi sebagian orang, langkah tersebut bisa merugikan Gerindra. Tidak hanya itu, gigihnya Gerindra mendukung Taufik yang mantan koruptor bisa merembet hingga ke elektabilitas Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno di Pilpres 2019. Lalu, mengapa Taufik masih terus didorong untuk menjadi pengisi kursi wagub DKI Jakarta?
Langkah Bunuh Diri?
Taufik boleh jadi adalah orang kuat di Gerindra. Dalam beberapa kesempatan, ia seperti menjadi tokoh yang tak terbendung di partai berlogo Garuda tersebut. Padahal, rekam jejaknya tidak selalu diisi dengan prestasi mewah yang memukau publik.
Taufik pernah menjadi Ketua KPUD DKI Jakarta saat gelaran Pemilu tahun 2004. Sayangnya, jabatannya tersebut berbuah petaka baginya. Ia menjadi narapidana korupsi dalam kasus logistik KPUD Jakarta sehingga harus mendekam di penjara selama 18 bulan.
Rekam jejak ini menjadi beban baginya dan Gerindra secara umum. Meski begitu, baik Taufik dan Gerindra sama-sama percaya diri bahwa dirinya adalah sosok yang sudah bersih dan tidak akan mengulangi sejarah kelam tersebut. Hal ini kemudian tergambar melalui kepercayaan Gerindra kepada Taufik untuk mengisi posisi tertentu.
Saat KPU melarang partai politik untuk mencalonkan mantan napi korupsi menjadi anggota legislatif, Gerindra tetap bersikukuh mengusung Taufik. Hal serupa kemudian berlaku saat Gerindra memutuskan untuk mencoret nama-nama mantan napi korupsi. Nama Taufik menjadi satu-satunya caleg yang selamat dari pencoretan tersebut.
Kini, tak hanya imun dari pencoretan caleg mantan napi korupsi, Taufik justru menjadi calon kuat untuk mengisi kursi orang nomor dua di DKI Jakarta. Meski belum resmi diumumkan, DPD Gerindra DKI Jakarta telah resmi mengajukan nama Taufik.
Kenapa Gerindra begitu ngotot usung Taufik yang merupakan eks koruptor? Bukannya ini sama dengan bunuh diri? Share on XBeberapa pengamat menganggap bahwa langkah tersebut bisa berbahaya bagi Gerindra bahkan hingga ke pasangan capres Prabowo-Sandiaga. Menurut Stefan Krause dan Fabio Mendez, korupsi oleh pejabat publik kerap kali dihukum oleh pemilih.
Bukan tidak mungkin, hukuman tersebut akan berlaku bagi Prabowo karena sikapnya yang mendukung koruptor seperti Taufik. Hal ini tergolong merugikan, terutama karena posisi yang akan diisi Taufik merupakan posisi yang penting di Jakarta. Bisa saja publik, terutama di Jakarta, mengasumsikan Prabowo pro-korupsi dan menghukumnya dengan memilih kompetitornya.
Pemilih di Jakarta sendiri tergolong ke dalam pemilih rasional dan kritis. Sikap Prabowo yang berpotensi merestui koruptor seperti Taufik, bisa menjadi beban terhadap elektabilitasnya di Pilpres nanti. Apalagi, jumlah pemilih Jakarta sendiri tidak sedikit.
Di titik itu, Prabowo seperti tengah melakukan langkah bunuh diri politik terhadap pencapresannya. Ungkapan ini pernah digunakan oleh Harry J. Kazianis saat menggambarkan kebijakan Donald Trump. Langkah bunuh diri ini idealnya bukanlah hal yang harus diambil, apalagi di tengah perang sekelas Pilpres yang tidak memberi ruang pada kesalahan sekecil apa pun.
Ketergantungan Taufik
Gerindra seharusnya tidak bisa dibilang kekurangan kader mumpuni untuk mengisi posisi yang ditinggalkan Sandiaga. Akan tetapi, tampak bahwa partai itu tidak gentar untuk menyebut bahwa Taufik sebagai sosok ideal, meski masa lalunya tergolong kelam.
Boleh jadi, Taufik sendiri memang berupaya untuk menjalin kedekatan khusus dengan sang Ketua Umum, Prabowo. Dikabarkan bahwa Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta ini membujuk langsung Prabowo agar namanya yang diusung menjadi wagub dari Gerindra.
Menurut Gerindra, Taufik memiliki sumbangsih bagi partai yang didirikan oleh Prabowo tersebut. Ia dianggap sukses memimpin DPD Gerindra DKI Jakarta hingga mendapatkan suara yang signfikan pada Pileg 2014 lalu. Sebagai partai yang belum terlalu lama berdiri, Gerindra berhasil mendapatkan 14 kursi di DPRD DKI Jakarta dan meraih posisi kedua di bawah PDIP.
Saya bingung kenapa pada ga setuju M taufik jadi wagub DKI, beliau sangat berpengalaman loh di DKI, Dari Pengurus Gerindra DKI, wakil ketua dprd DKI, ketua PRSSNI DKI, bahkan pernah terdakwa korupsi pun dlm kapasitas sbg KPUD DKI… kurang apa?
— Yunarto Wijaya (@yunartowijaya) September 18, 2018
Meski begitu, Gerindra terlihat seperti kekurangan kader dan seolah ada ketergantungan kepada sosok Taufik. Lembaga atau institusi partai seperti tidak berhasil menelurkan kader lain yang setara Taufik tetapi dengan masa lalu yang lebih “bersih”.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Dirk Tomsa tentang de-institusionalisasi partai politik. Menurutnya, kelembagaan partai tergerus dan mengarah pada hampir tidak berfungsinya institusi partai. Partai menjadi ketergantungan kepada figur baik dari sisi kepemimpinan maupun pendanaan.
Di titik ini, Gerindra seperti tidak mampu menghasilkan kader yang memiliki ketokohan seperti Taufik. Padahal, meski Ketua DPD Gerindra DKI itu dianggap memiliki kepemimpinan yang baik, masa lalunya bisa menjadi beban bagi Gerindra maupun Prabowo secara khusus. Idealnya, jika institusionalisasi berjalan baik, mereka bisa melahirkan kader lain dengan kepemimpinan setara Taufik, tetapi tidak memiliki beban di masa lampau.
Menjaga Jatah Kader
Dengan kondisi-kondisi tersebut, tentu kuatnya posisi Taufik yang terus didorong untuk posisi penting menimbulkan pertanyaan. Mengapa sebuah langkah yang dapat dikategorikan sebagai sebuah bunuh diri politik masih tetap dipertahankan?
Salah satu hal logis yang bisa disimpulkan dari langkah tersebut adalah bahwa Gerindra butuh menempatkan kadernya di posisi yang krusial seperti DKI-2. Mereka tidak bisa begitu saja melepas kursi yang mati-matian mereka rebut kepada aktor lain. Sebagai Ketua DPD Gerindra DKI, Taufik boleh jadi salah satu pilihan paling logis untuk mengisi kursi yang dianggap sebagai jatah Gerindra.
Secara khusus, kehadiran Taufik bisa menjadi penyeimbang posisi Anies Baswedan sebagai tokoh non-parpol di posisi gubernur. Anies, sebagai tokoh dari luar partai politik bisa saja mengambil sikap yang bertentangan dengan partai politik, termasuk partai pengusungnya sendiri.
Semoga yg jadi wakil gubernur DKI, gantiin Sandiuno, yg jadi bang Taufik dr Gerindra.
Dukung 100% !
wkwkwk ?— daydreamer (@blangk_on) September 18, 2018
Di titik itu, tergolong rasional jika Gerindra ngotot untuk mengisi kursi DKI-2 dengan kadernya. Taufik kemudian dianggap sebagai figur yang bisa memastikan arah pemerintahan DKI Jakarta tetap sesuai dengan arah politik Prabowo dan Gerindra.
Anies sendiri dalam satu kesempatan mengungkapkan keengganannya untuk didikte kekuatan-kekuatan pendukungnya. Ia pernah menyebut bahwa ia mendahulukan janji kampanyenya ketimbang agenda politik pendukungnya satu per satu.
Taufik akan menjadi perpanjangan tangan Prabowo yang lebih mudah diatur ketimbang Anies. Bisa saja ada rasa tidak percaya dari Prabowo dan Gerindra kepada Anies yang berlatarbelakang non-parpol untuk sepenuhnya menjalankan agenda politik dari Gerindra. Taufik bisa menjadi sosok yang memastikan agenda politik Gerindra bisa sepenuhnya terlaksana di ibukota.
Berdasarkan kondisi tersebut, langkah Gerindra untuk terus mendorong Taufik menjadi wagub DKI Jakarta boleh jadi beralasan. Bisa saja ada pertimbangan lebih besar di ibukota yang membuatnya seperti tak terbendung meski berpotensi mengancam perolehan suara Gerindra dan Prabowo secara khusus di pesta demokrasi 2019. (H33)