Partai Golkar kembali membuka opsi seluas-luasnya kepada tokoh politik yang dinilai mampu menjadi pendamping Ketua Umum mereka, Airlangga Hartarto. Nama Panglima TNI Andika Perkasa pun menjadi salah satu opsi bagi partai berlambang pohon beringin itu. Padahal sebelumnya, Golkar juga sudah melempar wacana untuk mengusung sosok lain, yaitu Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Apa motif sebenarnya dari Partai Golkar melakukan hal ini?
Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar kembali membuat spekulasi terkait calon pendamping Ketua Umumnya, Airlangga Hartarto untuk berkompetisi di Pilpres 2024 mendatang. Setelah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo disebut sebagai sosok yang akan mendampingi Airlangga, kini muncul kembali nama baru, yaitu Panglima TNI Andika Perkasa.
Usulan ini dinilai cukup menarik karena bisa memadukan antara sosok yang ahli dalam ekonomi dengan tokoh yang berpengalaman di sektor pertahanan. Meski demikian, saat ini Ketua DPP Golkar Dave Laksono menyatakan pihaknya masih fokus untuk meningkatkan elektabilitas Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto.
Hal ini tidak lepas dari hasil beberapa survei yang menunjukkan bahwa elektabilitas Airlangga rendah, padahal sejumlah manuver sudah dilakukan dengan menebar banyak baliho. Maka tidak heran nama-nama seperti Ganjar Pranowo dan Andika Perkasa muncul ke permukaan. Khusus Ganjar, PDIP sudah merespons dengan menyebut jika Gubernur Jawa Tengah ini tidak tertarik untuk menjadi pendamping Airlangga Hartarto. Bahkan salah satu politikus PDIP, Hendrawan Supratikno menanggapi hal tersebut hanya sebagai upaya untuk meramaikan pasar politik.
Motif yang hampir serupa juga tampak pada wacana pengusungan Panglima TNI Andika Perkasa. Meski sosok mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) tidak berafiliasi dengan partai politik manapun, namun jika ditelaah terdapat benang merah antara Andika dengan salah satu partai Politik. Dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Mengapa PDIP Amankan Andika?, dijelaskan jika ada hubungan panjang antara Megawati dengan Hendropriyono yang notabene merupakan mertua dari Jenderal Andika Perkasa. Dalam tulisan ini juga dijelaskan jika hubungan baik keduanya hingga saat ini masih terus berlanjut.
Fenomena ini sekaligus mengingatkan bahwa Golkar sudah dua kali melempar wacana tentang pengusungan tokoh yang terafiliasi dengan PDIP. Lantas, mengapa Golkar beberapa waktu belakangan ini kerap melempar isu terkait pengusungan tokoh yang bakal mendampingi Airlangga di 2024?
Drama Golkar?
Narasi atau wacana untuk mengusung tokoh atau sosok politisi untuk maju sebagai calon presiden atau wakil presiden sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang baru pada dinamika politik Indonesia. Sejumlah partai politik selain Golkar, sebelumnya juga melakukan hal yang hampir sama, yaitu kerap melempar wacana untuk mengusung tokoh atau sosok yang dinilai memiliki kapabilitas untuk bersaing pada kontestasi politik.
Salah satu fenomena yang cukup menarik perhatian terjadi selama menjelang Pilpres 2019 lalu. Manuver pencalonan Muhaimin Iskandar alias Cak Imin sebagai cawapres untuk mendampingi Joko Widodo (Jokowi) cukup ramai menjadi perbincangan. Bahkan, baliho dengan gambar Cak Imin disertai dengan tulisan Cak Imin Cawapres 2019 mendominasi di berbagai ruas jalan Ibu Kota.
Unsur ketokohan dalam dinamika politik Indonesia masih memiliki pengaruh besar, maka tidak heran jika hingga saat ini beberapa partai politik memandang jika sosok tokoh politik bisa memberikan efek positif terhadap elektabilitas partai.
Hal ini juga tidak lepas dari pernyataan Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno terkait kecenderungan pemilih Indonesia yang masih didominasi oleh faktor ketokohan. Pengertian serupa juga dijelaskan di dalam artikel berjudul Strategies of Actors Influencing Electoral Integrity: A Case Study of the Czech Republic karya Ivan Jarabinsky yang menjelaskan bahwa dalam sebuah pemerintahan yang demokrasi peran stakeholder bisa memberikan pengaruh terhadap sebuah kemenangan.
Pengertian ini sekaligus menjelaskan dalam dinamika politik, unsur ketokohan tidak bisa dikesampingkan. Maka situasi politik di Indonesia menjelang 2024 bukan suatu fenomena langka jika partai sebesar Golkar pun kerap melempar wacana untuk mengusung beberapa tokoh yang dinilai bisa mendongkrak popularitas partainya.
Jika mengacu pada pengertian ini, tidak heran jika popularitas Muhaimin Iskandar atau Cak Imin dan PKB meningkat pada tahun 2018. Hal ini terlihat dari hasil survei Charta Politika yang dilakukan pada 13 April sampai 19 April 2018 terhadap 2.000 responden. Dalam survei tersebut, PKB menempati posisi keempat dengan persentase 7 persen. Direktur Eksekutif Charta Politica Yunarto Wijaya menilai pencapain tersebut salah satunya dipengaruhi dengan masifnya baliho yang mendeklarasikan dirinya sebagai cawapres.
Jika sebelumnya ada Cak Imin dengan partainya yaitu PKB, kini hampir semua partai politik menggunakan cara serupa termasuk Golkar. Dengan manuvernya melempar wacana untuk mengusung sejumlah tokoh yang diproyeksikan bakal mendampingi Airlangga Hartarto, mulai dari Ganjar hingga Andika terus menimbulkan spekulasi mengingat nama-nama yang dikemukakan pun tidak kunjung dipastikan akan mendampingi ketua umum partai berlambang pohon beringin itu.
Fenomena ini terkesan layaknya drama yang sejatinya dilakukan sebagai langkah awal untuk berkontestasi di Pilpres 2024. Layaknya teori dramaturgi yang dikemukakan oleh Erving Goffman dalam bukunya berjudul The Presentation of Self in Everyday Life. Secara garis besar menjelaskan jika interaksi sosial layaknya teater di mana individu berperan sebagai artis yang akan ‘unjuk gigi’ di atas panggung dan akan ditonton oleh khalayak. Maka, tiap individu harus berperan sebaik mungkin agar menuai reaksi positif dari penonton.
Fenomena inilah yang sekiranya sedang dilakukan Golkar, melempar wacana untuk mengusung sejumlah tokoh hanya sebagai bentuk drama. Lantas mengapa partai berlambang pohon beringin ini terus memainkan drama seperti ini?
Pancing Reaksi PDIP?
Nama Ganjar dan Andika yang dikemukakan oleh beberapa petinggi Partai Golkar seolah memperlihatkan adanya indikasi drama yang bertujuan untuk menarik perhatian khususnya dari PDIP. Apabila hal ini terjadi, maka sesuai dengan tulisan berjudul How To Be Sophisticated, Lie, Cheat, Bluff and Win at Politics karya Michael Laver, ini termasuk dalam teknik bluffing. Secara garis besar strategi ini bertujuan untuk memancing respons dari lawan sehingga lawan bergerak. Jika upaya ini ingin berhasil maka pihak yang melakukan bluffing sebaiknya tidak secara terang-terangan memperlihatkan niatnya pada lawan.
Keberhasilan strategi political bluffing diukur dari munculnya pergerakan lawan yang buruk sehingga bisa menguntungkan pihak yang melakukan upaya bluffing. Bila dikaitkan dengan adanya indikasi tekanan dari Golkar terhadap PDIP, tampaknya partai berlambang banteng ini belum terpancing untuk bergerak. Meski dikaitkan dengan sosok yang dekat dengan PDIP, namun upaya tersebut belum bisa mempengaruhi PDIP untuk membicarakan isu seputar Pilpres 2024.
Meski strategi yang diterapkan Golkar terkesan sarat akan drama, namun kemungkinan lain yang bisa menjadi alasan kuat bagi Golkar adalah untuk segera membentuk koalisi sejak dini. Hal ini bisa saja terjadi karena beberapa waktu lalu, sejumlah partai politik termasuk Golkar sudah mengemukakan kesediaan untuk membentuk koalisi sejak dini. Maka, di balik manuver Golkar ada dua kemungkinan yang bisa terjadi ke depan, namun intinya tetap untuk menekan PDIP agar tidak menjadi pemenang di kontestasi politik 2024 mendatang. (G69)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.