Site icon PinterPolitik.com

Usulkan Anies-Ganjar, Surya Paloh Tidak Mengerti Politik?

Usulkan Anies-Ganjar, Surya Paloh Tidak Mengerti Politik?

Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh. (Foto: ANTARA /ADITYA PRADANA PUTRA)

Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh mengusulkan duet Anies-Ganjar karena dinilai dapat menyatukan bangsa. Apakah ini menunjukkan Surya Paloh tidak mengerti politik?


PinterPolitik.com

Sejak Pemilu 2019, hubungan Surya Paloh dengan PDIP tampaknya mulai merenggang dan memanas. Kita tentu ingat Megawati Soekarnoputri yang tidak menyalami Paloh pada pelantikan anggota DPR RI Oktober 2019 lalu. 

Baru-baru ini, Paloh-Megawati juga terlihat saling sindir secara terbuka. Dalam Rakernas Partai NasDem, Paloh menyinggung soal adanya partai sombong. Di Rakernas PDIP, seolah membalas, Megawati mengaku heran kenapa ada yang menyebut partainya sombong.

Kritik juga berlanjut pada usulan capres-cawapres Paloh. Disebutkan, Paloh telah mengusulkan duet Anies Baswedan-Ganjar Pranowo ke Presiden Joko Widodo (Jokowi). Paloh menyebut ini sebagai duet pemersatu bangsa. Harapannya, duet ini akan mengakhiri polarisasi politik ekstrem seperti pada Pilpres 2019.

Ketua DPP Bidang Ideologi dan Kaderisasi PDIP Djarot Saiful Hidayat, mengkritik usulan duet itu. Menurutnya, persatuan bangsa tidak terletak pada sosok atau individu, melainkan pada persamaan ideologi. 

Namun menariknya, elite PDIP lainnya justru pernah mengeluarkan argumentasi yang sama dengan Surya Paloh. Pada 1 Juni 2021, politisi senior PDIP Effendi Simbolon sempat mengusulkan duet Anies-Puan Maharani untuk Pilpres 2024. Menurutnya, Anies memiliki kantong suara dari golongan religius, sementara Puan dari golongan nasionalis. Oleh karenanya, duet ini berpeluang mendapatkan suara maksimal.

Well, terlepas dari kontradiksi dalam kritik PDIP terhadap usulan duet Surya Paloh, ada satu pertanyaan menarik yang patut diajukan. Tepatkah Anies-Ganjar merupakan jawaban untuk menghindari polarisasi politik ekstrem seperti yang terjadi pada Pilpres 2019?

Mitos Polarisasi

Analis strategi politik asal Amerika Serikat (AS), Mark Penn dalam bukunya Microtrends: The Small Forces Behind Tomorrow’s Big Changes, memberikan pencerahan penting untuk memahami isu polarisasi politik – tepatnya polarisasi pemilih.

Menurut Penn, polarisasi pemilih sebenarnya adalah mitos. Penn menunjukkan berbagai data statistik pemilih di AS untuk membuktikan kesimpulan itu. Seperti yang jamak diketahui, telah lama AS dikenal sebagai negara yang sangat terpolarisasi secara politik. Seolah ada kategorisasi hitam-putih yang mengental. Jika bukan Demokrat, pasti Republik – begitu pula sebaliknya.

Menariknya, jika melihat data statistik, dalam 50 tahun terakhir, pemilih yang mengaku independen – bukan Demokrat maupun Republik – mengalami peningkatan dari seperempat menjadi lebih dari sepertiga.

Menurut Penn, penentu setiap kemenangan pemilih justru adalah pemilih independen – disebut pemilih mengambang di Indonesia. Penn sangat membantah terdapat polarisasi yang tidak berubah atau bersifat baku. Menurutnya, mayoritas pemilih justru adalah swing voters. Terdapat berbagai strategi kampanye yang dapat digunakan untuk mengubah persepsi pemilih.

Penn mencontohkan survei pada tahun 1995. Saat itu, sebanyak 65 persen pemilih menyebut tidak akan memilih Bill Clinton. Namun menariknya, setahun kemudian, Bill Clinton justru terpilih kembali dengan suara telak.

Masalahnya Bukan Polarisasi

Selain adanya mitos polarisasi yang baku, perlu untuk disadari bahwa polarisasi bukanlah masalah yang sebenarnya. 

Profesor Geografi University of California, Los Angeles (UCLA) Jared Diamond dalam bukunya Upheaval: Bagaimana Negara Mengatasi Krisis dan Perubahan memberikan pujian menarik terhadap Indonesia. Secara geografis, Indonesia adalah negara paling terpecah di dunia dengan sebaran 18 ribu pulau, namun secara menakjubkan dapat menjadi negara kesatuan.

Pada persoalan bahasa nasional, dengan bahasa Jawa yang digunakan oleh sepertiga populasi, bahasa Indonesia justru dipilih sebagai bahasa nasional untuk menghindari persepsi dominasi Jawa.

Di awal kemerdekaan, sejarah telah mencatat bagaimana tolerannya bangsa ini. Meskipun Islam adalah agama mayoritas, sila pertama dalam Pancasila rela diubah, dan negara Islam tidak dipilih sebagai bentuk negara.

Jared tentu mencatat terdapat kerusuhan agama di Indonesia, namun eskalasinya jauh di bawah yang terjadi di negara-negara Asia Selatan dan Timur Tengah.

Pujian serupa juga dikemukakan oleh mantan Diplomat Singapura, Profesor Kishore Mahbubani dalam tulisannya Indonesia’s democratic miracle. Tidak tanggung-tanggung, Mahbubani menyebut Indonesia sebagai mercusuar kebebasan dan demokrasi bagi dunia Muslim.

Menariknya, Mahbubani membandingkan Indonesia dengan kiblat demokrasi dunia, Amerika Serikat. Tidak seperti AS yang memiliki paranoia terhadap Muslim setelah serangan 9/11, islamofobia tidak berkembang pesat di Indonesia meskipun terjadi beberapa serangan terorisme besar, seperti bom Bali. 

Mengacu pada analisis Jared dan Mahbubani, ada satu pertanyaan menarik yang dapat ditarik. Dengan fakta begitu beragamnya budaya di Indonesia, kenapa baru pada Pilpres 2019 terjadi polarisasi politik identitas ekstrem? Kenapa itu tidak terjadi pada Pilpres 2004 atau Pilpres 2009?  

Dari sini kita dapat menarik satu kesimpulan penting. Seperti yang disebutkan sebelumnya, masalah sebenarnya bukan pada polarisasi identitas, melainkan penajaman identitas. Polarisasi identitas itu fakta sosial-budaya. Sedangkan penajaman identitas adalah konstruksi strategi kampanye.

Masalahnya di Partai Politik

Atas kesimpulan itu, yang patut disalahkan atas pembelahan masyarakat sebenarnya bukanlah masyarakat itu sendiri, melainkan partai politik yang menggunakan strategi kampanye penajaman identitas. Dalam frasa yang lebih frontal, mengutip ilmuwan politik AS Francis Fukuyama, itu adalah politik kebencian.

Jika melihat kronologinya, akarnya bukan pada Pilpres 2019, melainkan Pilpres 2014. Saat itu, berbagai isu identitas digunakan untuk menyerang Jokowi. Salah satu yang paling masif adalah tuduhan Jokowi merupakan etnis Tionghoa. Jokowi banyak diisukan sebagai tangan kanan kepentingan Tiongkok di Indonesia. 

Dengan mudah, kita dapat membaca tuduhan itu sebagai kapitalisasi isu pribumi vs non-pribumi, khususnya Tionghoa. Ini memanfaatkan ketidaksukaan terhadap etnis Tionghoa yang telah lama ada di tengah masyarakat.

Pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017, strategi penajaman identitas semakin masif digunakan. Kate Lamb dalam tulisannya ‘I felt disgusted’: inside Indonesia’s fake Twitter account factories, menjelaskan betapa intensnya penggunaan buzzer politik pada Pilgub DKI 2017. 

Baik kubu pro dan kontra Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sama-sama menggunakan buzzer sebagai senjata politik. Di kubu kontra, ada Muslim Cyber Army (MCA) yang menggunakan ratusan akun palsu dan anonim untuk menyebarkan konten rasis agar Ahok tidak dipilih. 

Sementara di kubu pro Ahok, Lamb mencontohkan salah satu tim buzzer yang diketuai sosok bernama Alex. Tim buzzer ini dibayar sekitar US$ 280 per bulan untuk mengunggah 60-120 kali konten dalam sehari di berbagai akun media sosial palsu mereka.

Atas berbagai uraian tersebut, usulan duet Anies-Ganjar sebagai jawaban pemersatu bangsa dari Surya Paloh dapat dikatakan sebagai gimik politik semata. Seperti pandangan pengamat politik BRIN Wasisto Jati, itu bukan untuk menyatukan masyarakat, melainkan menyatukan kepentingan para elite politik.

Dalam narasi yang lebih frontal, mungkin dapat dikatakan Surya Paloh tidak benar-benar mengerti situasi politik. Jika usulan duet Anies-Ganjar bukan gimik, melainkan benar-benar dipahami untuk mengakhiri polarisasi pemilih, maka dapat dikatakan Paloh tidak mengetahui akar masalah yang sebenarnya.

Jika Paloh dan berbagai elite lainnya tidak menginginkan polarisasi ekstrem seperti pada Pilpres 2019, caranya bukan menduetkan sosok tertentu, melainkan dengan tidak mengulangi strategi penajaman identitas dan politik kebencian.

Berbagai elite partai politik harus kompak atas hal ini. Jangan lagi kesalahan hanya diletakkan pada masyarakat. Partai politik yang seharusnya bertanggung jawab atas kerasnya penajaman identitas yang terjadi. (R53)

Exit mobile version