Ustadz Somad dinilai lebih Pancasilais ketimbang Jokowi dan Megawati. Benarkah begitu?
PinterPolitik.com
[dropcap]K[/dropcap]alau bicara tentang Ustadz Abdul Somad, orang pasti langsung membayangkan Rina Nose. Lha, kok bisa? Apakah mereka ada hubungan kekerabatan?
Ow, nggak dong. Ustadz Somad kan orang Riau, sedangkan Neng Rina dari Makassar, keluarga dari mana coba?
Akan tetapi, yang menjadi topik utamanya, bukan itu. Yang menjadi buah bibir beberapa waktu lalu adalah terkait komentar Ustadz Somad kepada Rina Nose yang memutuskan untuk lepas hijab. Tapi, saya nggak mau ikut campur lho, karena saya sadar ilmu saya belum setinggi Ustadz Somad.
Tapi memang ada hikmah setelah peristiwa itu. Ustadz Somad menjadi tenar, bahkan lebih dari Habib Rizieq. Tapi, yang aneh kok bisa-bisanya ia ‘ditolak’ di Bali dan di Hongkong? Apa salah dan dosanya? Bukankah dia adalah sosok yang rendah hati dan merakyat?
Peristiwa penolakkan Ustadz Somad tersebut, rupanya memantik rasa iba dari dalam hati Bang Faisal Assegaf. Menurut Ketua Progres 98 ini, Ustadz Somad adalah korban persekusi dan penistaan secara semena-mena.
Tak cukup sampai di situ, Bang Faisal juga bilang bahwa Ustadz Somad itu lebih Pancasilais dibanding Jokowi dan Megawati. Emang dari mana tolok ukur untuk menentukkan seseorang berjiwa Pancasila atau tidak? Hmm, saling tuduh deh siapa yang Pancasilais dan siapa yang tidak.
Abdul Somad Lebih Pancasilais Dari Jokowi Dan Megawati https://t.co/NEafHOxC0c
— Eka Gumilar (@ekagumilars) December 28, 2017
Tapi, kayaknya argumen Bang Faisal ini berlebihan deh. Sebab kalau dilihat baik-baik, sebenarnya ini hanya persoalan yang melibatkan satu orang aja, tapi kok malah melebar menjadi persoalan negara? Di situ, saya sering merasa bingung.
Seharusnya yang patut ditelusuri itu adalah motif di balik penolakan Ustadz Somad di Hongkong. Apa tujuannya datang ke sana? Kalau sampai jauh-jauh ke sana hanya untuk ceramah, tanpa dibayar alias gratis, mungkin saja itu mustahil. Bisa cek UU Imigrasi Hongkong. Kan aneh kalau tiba-tiba langsung main tembak aja, sampai mengait-ngaitkan dengan Pancasila segala. Di situ, saya sering merasa lucu. (K-32)