HomeNalar PolitikUstadz, Jangan Ajarkan Korupsi!

Ustadz, Jangan Ajarkan Korupsi!

Benarkah suap bisa dibagi menjadi dua, suap haram dan suap halal? Benarkah Tuhan mengajarkan suap untuk kebaikan?


PinterPolitik.com

Beberapa waktu terakhir, Ustadz Abdul Somad (UAS) yang fenomenal kembali menimbulkan kontroversi. Kali ini, pernyataannya tentang ‘’sogok syariah” menjadi perdebatan. Sebagian besar pihak menolak, tapi tentu ustadz kondang penuh sensasi ini akan teguh pada sikapnya.

Menurut UAS, praktik sogok atau suap diperbolehkan dalam Islam jika dan hanya jika seseorang telah memenuhi syarat tertentu, namun tetap ada pemaksaan (secara sistem atau oknum) untuk melakukan sogok. UAS mencontohkan sistem rekrutmen PNS, di mana orang boleh saja menyogok kalau itu sebuah keharusan, yang penting orang tersebut memenuhi prasyarat sebagai PNS.

Contoh lain dari UAS, adalah bila barang kita dicuri, lalu bila kita membayar kepada pencuri itu agar barang kita dapat kembali, maka hal itu diperbolehkan dalam Islam.

Wajar bila ceramah UAS ini mendatangkan pertanyaan dari publik. Apakah layak, istilah “sogok” yang negatif disandingkan dengan “syariah” sebagai simbol suci hukum agama?

Apakah sogok atau suap yang adalah bagian dari korupsi, diperbolehkan dalam kadar tertentu, secara hukum Islam maupun hukum positif pegangan para pemberantas korupsi?

Bolehkah Korupsi Menurut Ulama Lain?

Korupsi dengan segala jenis bentuknya telah lama ditolak oleh banyak aliran Islam di Indonesia. Ada banyak landasan ajaran Islam dari Alquran, Hadits, fikh, dan fatwa ulama-ulama yang dapat dipahami sebagai larangan berbuat korup.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sendiri, sebagai institusi tertinggi Islam di Indonesia telah mengeluarkan fatwa haram untuk segala jenis tindakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) pada tahun 2000. Tuntutan “bersih-bersih” pejabat pasca-reformasi turut mengajak MUI memperhatikan isu korupsi.

Setidaknya ada tiga tipe korupsi yang disebut perbuatan haram menurut MUI, yaitu praktik suap (risywah), korupsi (ghulul), dan hadiah kepada pejabat yang kesemuanya dianggap perbuatan yang tidak benar (batil).

Menurut Hijrah Saputra, anggota dari tim perumus fatwa MUI, ada beberapa ajaran dalam Alquran yang dijadikan landasan dalam melahirkan fatwa ini. Antara lain adalah QS. Al-Baqarah [2]: 188 yang berbunyi: “Dan janganlah (sebagian) kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim”.

Begitu pun dalam mengurusi hal suap menyuap (risywah)—yang dalam hal ini berkaitan dengan ceramah UAS—MUI pun memiliki landasan argumen Kadiah Fiqiyah yang berbunyi: “Sesuatu yang haram mengambilnya, haram pula memberikannya”.

Karenanya, kalau MUI mau berhadap-hadapan dengan UAS dalam perkara ini, maka sikap MUI akan jelas. Perbuatan menyuap untuk mendapatkan kursi PNS, sekalipun si penyuap qualified, maka perbuatan tersebut tetap salah di mata Islam. Demikian sikap MUI, berdasarkan fatwa mereka di tahun 2000.

Ustadz Abdul Somad salah kaprah menyikapi suap

Begitu pula dengan dua ormas Islam terbesar, yakni Nadhlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Keduanya juga merespon korupsi dengan memunculkan fatwa masing-masing.

Baca juga :  Gibran Wants to Break Free?

NU, dalam Munas Alim Ulama NU tahun 2002, bersikap tegas bahwa koruptor adalah kafir dan jenazah koruptor tidak perlu disolatkan oleh pemuka agama Islam. Said Aqil Siraj, Ketua PBNU saat itu menegaskan, ulama/pemuka agama tidak perlu menyolati jenazah koruptor. Sholat cukup dilakukan oleh keluarga dan kerabat terdekat saja.

Akan tetapi, fatwa tersebut dinilai cukup ekstrim oleh sejumlah pihak. Ustadz Hartono Ahmad Jaiz dari Dewan Da’wah Islam Indonesia (DDII) mengritik, bahwa mengkafirkan orang dan tidak meyolati seorang Muslim—tanpa embel-embel koruptor—adalah pelanggaran terhadap Fardu Kifayah (fikh). Walaupun demikian, kritik tersebut tak terlepas dari perbedaan posisi politik Islam DDII dengan NU.

Sementara, Muhammadiyah mengeluarkan fatwa yang lebih praktis dan kontekstual, antara lain fatwa untuk tidak memilih pemimpin yang korup menjelang Pileg dan Pilpres 2014. Muhammadiyah selanjutnya juga turut melemparkan fatwa agar tidak menyolatkan jenazah koruptor, pada tahun 2015.

Kedua ormas, NU dan Muhammadiyah pun sepakat untuk mengeluarkan fatwa bersama terkait hukuman mati bagi koruptor. Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak dan Rais Syuriah PBNU KH Ahmad Ishomuddin, di tempat terpisah, menyatakan bahwa organisasi Islam di Indonesia berobligasi untuk menumpas korupsi sampai ke akarnya.

Mau Bagaimanapun, ‘Uang Pelicin’ Itu Salah

Suap, alias sogok, alias uang pelicin, jelas-jelas adalah malpraktik dalam sistem pemerintahan kita. Tidak ada pemerintahan yang bersih atau good governance bila pejabat dan birokratnya harus dikasih uang dulu baru berfungsi.

Dan tentu saja, hal seperti itu yang juga tidak diinginkan dalam ajaran Islam. Sekalipun tidak pernah difatwakan secara khusus, tapi proses suap kecil-kecilan seperti contoh UAS, tetap saja adalah bagian dari larangan suap (risywah) dalam Islam.

Sejalan dengan para pemuka Islam, lembaga-lembaga negara yang menangani korupsi pun pasti berpendapat yang sama, bahwa perilaku korupsi sekecil apapun tetaplah korupsi.

Febri Diansyah, juru bicara Korupsi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengatakan bahwa bila perilaku (dalam ceramah UAS) itu ditoleransi, maka toleransi kepada perilaku korupsi yang lebih besar dapat terjadi. Kalau sudah begitu, tentu saja sistem birokrasi yang dibangun sebersih mungkin, akan kembali rusak dengan budaya korup yang ditoleransi seperti itu.

Pada 2016, KPK bahkan telah sepakat dengan NU, bahwa korupsi adalah sama dengan penistaan agama. Kalau begitu, pelaku suap menyuap pun demikian, bukan?

Sementara itu, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri, mengatakan bahwa pandangan UAS sangat keliru, karena bagaimanapun uang suap tersebut adalah ilegal dan haram dalam Islam.

“Uang yang dibayarkan dalam bentuk apapun, dalam kondisi apapun, untuk bisa diterima dalam suatu posisi di institusi, tetap haram dan itu termasuk bagian dari korupsi,” jelas Febri Hendri.

Begitu juga dengan Komisioner Ombudsman, Laode Ida. Ida menilai, ceramah seperti itu sangat berbahaya, karena implikasinya dapat jauh lebih berbahaya lagi: dapat ditiru dan dipraktikkan oleh aparatur negara di sektor lain, dan bisa pula diamini oleh masyarakat luas.

Baca juga :  Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Jika penolakan sudah seluas itu, maka mengapa UAS bisa sampai pada titik nalarnya tersebut, bahkan memberi terminologi baru “sogok syariah”?

‘Islam Medsos’ yang Masuk dalam Sendi Bermasyarakat

Lalu, apa yang menjadi kekuatan dari Ustadz Abdul Somad di era kemajuan informasi dan media komunikasi ini? Tentu saja media sosial. UAS mampu menjangkau pendengarnya dengan begitu luas di media sosial. Keuntungan ini juga tak terlepas dari kemampuan ceramahnya yang tinggi.

Tak hanya berceramah dalam hal-hal yang “besar”, UAS pun berceramah tentang hal-hal yang “kecil” dan mampu menyentuh sisi personal dan rutinitas kehidupan para pendengarnya. UAS juga mampu menghadirkan ceramah Islam dengan candaan renyah yang halus—katakanlah berbeda dengan ceramah Habib Rizieq Shihab yang selalu berkobar-kobar.

Di dunia media sosial saat ini, ustadz mendapatkan tempatnya untuk menjadi populer dan trendy di hadapan masyarakat luas. Pengguna gawai pintar, mulai dari anak-anak sampai ibu rumah tangga akan terus terinspirasi oleh UAS, sebagai salah satu ustadz kondang di media sosial.

Lalu, apakah mungkin ceramah-ceramah UAS mampu mengubah perilaku pendengarnya? Mungkin saja, bila merujuk teori attitude change atau teori perubahan sikap dari Janis Hovland dan Kelley (1953).

Dalam teori tersebut, terdapat dua pihak yang berinteraksi, yakni the communicator (pembicara) dan audiences (penonton). Untuk dapat influencing (berpengaruh) secara kuat, maka seorang pembicara harus memiliki sejumlah kriteria, antara lain tidak terlihat sedang mempersuasi dan menyampaikan argumen dari dua sisi.

Ceramah UAS setidaknya meng-cover kriteria kedua. Dengan menceritakan dua tipe sogok, yakni konvensional dan syariah, UAS berhasil menjelaskan dengan sangat persuasif (tidak keras) apa yang halal dan haram dalam Islam—membuat garis tegas di antara keduanya. Sehingga pendengar pun paham, bahwa untuk menjalankan suap secara halal maka variabel tertentu harus dipenuhi terlebih dahulu.

Teori ini pun menjelaskan kriteria penonton yang paling kondusif untuk diberikan pembicaraan-pembicaraan persuasif, yakni berada pada level intelijensi dan kepercayaan diri yang rendah serta berada di usia gamang, yakni 18-25 tahun. Apakah memang kalangan itu target ceramah UAS? Hanya beliau yang tahu.

Yang jelas, UAS memiliki legitimasi moral yang sangat tinggi di telinga para pendengarnya, karena Ketuhanan merupakan nafas utama ceramahnya. Ini dapat dijelaskan pula dalam konsep komunikasi ultimate terms, bahwa sebuah ceramah akan mendapatkan kekuatan dengan penggunaan terminologi-terminologi tertentu, misalnya Tuhan atau Iblis. Dan dalam ceramah ini, UAS menggunakan kata “syariah” sebagai jalan halal sogok menyogok.

Memang, sepertinya ceramah UAS selalu mengambil konteks realita hidup masyarakat sebagai audiensnya. Namun, sikap UAS tentang “sogok syariah” berpotensi merusak tak hanya sistem negara tapi juga moral bangsa, lebih daripada yang mungkin beliau bayangkan. (R17)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Mengejar Industri 4.0

Revolusi industri keempat sudah ada di depan mata. Seberapa siapkah Indonesia? PinterPolitik.com “Perubahan terjadi dengan sangat mendasar dalam sejarah manusia. Tidak pernah ada masa penuh dengan...

Jokowi dan Nestapa Orangutan

Praktik semena-mena kepada orangutan mendapatkan sorotan dari berbagai pihak, baik di dalam maupun luar negeri. Di era Presiden Joko Widodo (Jokowi), praktik-praktik itu terus...

Indonesia, Jembatan Dua Korea

Korea Utara dikabarkan telah berkomitmen melakukan denuklirisasi untuk meredam ketegangan di Semenanjung Korea. Melihat sejarah kedekatan, apakah ada peran Indonesia? PinterPolitik.com Konflik di Semenanjung Korea antara...