HomeNalar PolitikUsaha Sandi Goyang Kandang Banteng

Usaha Sandi Goyang Kandang Banteng

Sandiaga Uno mengungkapkan bahwa timnya berencana memindahkan markas pemenangan mereka di hari-hari terakhir jelang hari-H pencoblosan Pilpres 2019.


Pinterpolitik.com

[dropcap]D[/dropcap]i kondisi yang normal, siapa pun tentu tidak ingin sembarangan masuk ke kandang banteng. Hewan dengan tubuh besar dan tanduk tajam ini tentu bisa saja marah besar jika ruangan pribadinya tiba-tiba diinvasi begitu saja.

Meski demikian, tampaknya ada beberapa orang yang tidak takut dengan serudukan banteng. Cawapres nomor urut 02 Sandiaga Uno justru malah akan memindahkan markas pemenangannya ke kandang banteng. Memang, kandang banteng yang dimaksud bukanlah benar-benar tempat hewan bertanduk itu, melainkan provinsi Jawa Tengah yang secara tradisional dikenal sebagai basis suara partai berlogo banteng, PDIP.

Sandiaga dan tim pemenangannya seperti menyadari kekurangan mereka di wilayah tersebut. Perolehan suara Prabowo Subianto, capres yang menjadi pendamping mereka memang tertinggal sangat jauh di provinsi ini. Oleh karena itu, mereka siap bergerilya untuk memenangkan Jateng.

Merebut basis lawan boleh jadi bukanlah hal yang lazim daripada mencoba merebut wilayah yang masih bisa diperebutkan. Pada titik ini, apakah langkah Sandiaga menjajaki kandang banteng adalah hal yang bijak?

Merebut Kandang Banteng

Perolehan suara Prabowo di Jateng pada Pilpres 2014 boleh jadi tergolong menyesakkan. Bagaimana tidak, saat berpasangan dengan Hatta Rajasa kala itu, keduanya hanya mendapatkan suara nyaris separuh dari lawannya, Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK).

Kala itu, Prabowo-Hatta harus puas dengan mendapatkan suara sekitar 6,4 juta. Sementara itu, pasangan Jokowi-JK unggul jauh dengan perolehan suara mencapai 12,9 juta. Selisih suara yang sangat jauh ini memberi cukup pengaruh pada perolehan suara Prabowo-Hatta secara keseluruhan.

Perolehan suara yang jeblok ini sebenarnya sesuatu yang terprediksi. Jateng dikenal sebagai lumbung suara bagi PDIP. Kedigdayaan PDIP di provinsi tersebut bukanlah sesuatu yang mudah ditandingi oleh partai lain seperti Gerindra yang menjadi penyokong utama pencapresan Prabowo.

Pada Pemilu Legislatif 2014, PDIP menjadi penguasa Jateng dengan perolehan suara sebesar 4,2 juta. Perolehan ini tergolong jauh jika dibandingkan peringkat kedua, yaitu Golkar dengan suara sekitar 2,5 juta. Sementara itu, Gerindra sebagai pendukung utama Prabowo tertinggal dengan mendapatkan 1,9 juta suara dan harus puas duduk di urutan keempat.

Melihat kondisi tersebut, Sandiaga tampaknya ingin mengubah peruntungan kamp pemenangannya di Pilpres 2019. Dikabarkan bahwa di hari-hari terakhir jelang pemungutan suara, pasangan Prabowo-Sandiaga siap memindahkan markas pemenangan mereka ke provinsi yang beribukota di Semarang tersebut.

Kamp pemenangan Prabowo-Sandiaga tampaknya mencium momentum yang tengah memperlambat laju banteng PDIP di kandang mereka sendiri. Hal ini terkait dengan melonjaknya perolehan suara pasangan Sudirman Said dan Ida Fauziah di Pilgub Jateng yang cukup besar meski tidak didukung oleh kekuatan tradisional milik PDIP.

Di pertarungan tersebut, Sudirman-Ida memang kalah dengan persentase 41,2 persen berbanding 58,8 persen milik pemenang Ganjar Pranowo dan Taj Yasin – pasangan yang didukung PDIP. Akan tetapi, angka tersebut tergolong di luar ekspektasi karena banyak survei yang memprediksi Ganjar-Yasin akan unggul jauh.

Mengejar momentum tersebut boleh jadi akan menjadi faktor krusial bagi kans kemenangan Prabowo-Sandiaga. Sebagaimana banyak provinsi lain di Pulau Jawa, Jateng tergolong ke dalam wilayah yang menjadi lumbung suara. Provinsi yang dipimpin Ganjar Pranowo ini memiliki jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebesar 27,4 juta pemilih, angka yang tergolong menggiurkan untuk direbut kandidat manapun.

Mengambil Wilayah Lawan

Merebut wilayah yang secara tradisional milik partai lain bukanlah perkara yang mudah. Apalagi, bagi wilayah seperti Jateng yang selama bertahun-tahun sudah milik PDIP. Partai yang dipimpin oleh Megawati Soekarnoputri ini tidak hanya memenangi wilayah ini secara konsisten, tetapi marjin kemenangan mereka juga tergolong tinggi.

Meski demikian, merebut wilayah tradisional milik partai lain sebenarnya bukanlah hal yang sama sekali tidak mungkin. Jawa Timur (Jatim) merupakan sebuah contoh bagaimana sebuah wilayah dapat jatuh ke tangan partai lain, meski secara tradisional menjadi basis massa partai tertentu.

Jatim dianggap sebagai provinsi yang secara tradisional adalah “hijau” karena lekat dengan tradisi Nahdlatul Ulama (NU). Pasca reformasi, unsur hijau milik NU itu diterjemahkan ke partai lain yang berhaluan serupa yaitu PKB. Pada Pemilu 1999 dan 2004, PKB berhasil membuat Jatim menjadi basis suara mereka.

Jika dieksekusi dengan baik, pemindahan markas pemenangan Prabowo-Sandiaga bisa berbuah manis. Share on X

Meski demikian, pada tahun 2009, Partai Demokrat berhasil membuat provinsi ini menjadi “biru”. Di luar dugaan, Demokrat berhasil menghentikan dominasi PKB dan mendapatkan suara terbanyak di provinsi tersebut. Tidak hanya itu, Demokrat juga sudah terlebih dahulu mengamankan posisi gubernur sehingga Jatim menjadi provinsi biru secara utuh.

Kemenangan Demokrat di Jatim itu menjadi gambaran bahwa merebut basis suara partai lain bukanlah sesuatu yang sama sekali mustahil. Boleh jadi, Sandiaga dan tim pemenangannya bisa mengambil kiprah Demokrat tersebut sebagai gambaran untuk menggoyang kandang banteng.

Jateng Sebagai Battleground

Perlu diakui, mengambil alih kandang banteng bukanlah perkara yang benar-benar mudah.  Diperlukan kerja ekstra keras bagi Prabowo dan Sandiaga. Namun, kerja keras ini bisa berbuah manis dan berujung pada sebuah kursi di Istana.

Mengambil wilayah tradisional ini menjadi salah satu faktor kunci yang memenangkan Donald Trump pada Pilpres Amerika Serikat (AS) 2016. Sama seperti Indonesia, AS juga memiliki negara-negara bagian yang secara tradisional dianggap milik partai tertentu.

Sejak tahun 2000, dipercaya bahwa sudah ada negara-negara bagian yang sudah dikunci oleh partai-partai yang ada di Negeri Paman Sam tersebut. Oleh karena itu, muncul pembagian red states atau negara bagian merah yang menjadi basis massa Partai Republik dan blue states atau negara bagian biru yang menggambarkan basis suara Partai Demokrat.

Pada Pilpres AS 2016, terjadi sebuah fenomena yang menurut banyak pengamat disebut sebagai runtuhnya blue wall atau tembok biru milik Demokrat. Ada enam negara bagian yang berubah warna dari biru ke merah, sehingga kemenangan Trump bisa diraih.

Secara khusus, empat negara bagian yaitu Iowa, Wisconsin, Pennsylvannia, dan Michigan sejak tahun 2000 tidak pernah berubah warna dan selalu milik Partai Demokrat. Sementara itu, dua negara bagian lainnya, yaitu Ohio dan Florida, memerah untuk pertama kalinya sejak kemenangan Barack Obama di tahun 2008.

Kemenanangan itu ditangkap oleh beberapa ahli sebagai salah satu faktor kemenangan Trump. John Sides, Michael Tesler, dan Lynn Vavreck dalam Journal of Democracy misalnya menggambarkan bagaimana kesuksesan Trump memenangkan negara-negara bagian battleground itu memberikan kemenangan pada pengusaha tersebut.

Ada beragam faktor mengapa tembok biru tersebut bisa runtuh. Beberapa pengamat menyebut bahwa kandidat Partai Demokrat, Hillary Clinton tidak memberi perhatian pada beberapa negara bagian yang memerah tersebut. Tidak hanya itu, pengamat lain menyebut faktor pemilih kulit putih menjadi penyebab kemenangan Trump di negara-negara bagian tersebut. Terlepas dari apa penyebabnya, mengambil basis massa lawan dan menjadikannya kunci kemenangan adalah hal yang mungkin.

Merujuk pada kondisi tersebut, mengubah Jateng menjadi battleground atau medan pertempuran boleh jadi merupakan salah satu kunci bagi Prabowo dan Sandiaga untuk memenangkan Pilpres 2019. Oleh karena itu, memindahkan markas kemenangan ke Jateng boleh jadi sebuah perjudian yang layak dicoba.

Sementara itu, Jokowi dan partai pendukung utamanya, yaitu PDIP, mungkin harus mulai waspada. Belajar dari kekalahan Hillary, kelengahan di wilayah yang suaranya dianggap aman bisa berbuah petaka. Pada akhirnya, mungkin masyarakat akan melihat kandang banteng sebagai sebuah medan pertempuran antara dua kandidat. (H33)

Baca juga :  Gibran Wants to Break Free?
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...