Site icon PinterPolitik.com

Urus Beras, Damage Anies Meningkat?

Urus Beras, Damage Anies Meningkat

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan saat melakukan panen raya di sawah milik Pemprov DKI Jakarta di wilayah Cakung, Jakarta Timur pada Januari 2018 silam. (Foto: Humas Pemprov DKI Jakarta)

Ketahanan pangan Ibu Kota plus diskursus kesejahteraan petani menjadi justifikasi lawatan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan ke Kabupaten Ngawi pada akhir pekan lalu. Lantas, adakah pengaruh tertentu yang ingin dicapai di balik langkah Anies itu?


PinterPolitik.com

Agenda Pilkada Serentak 2024 membuat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) hampir dipastikan akan mengajukan tujuh nama pejabat (Pj.) kepala daerah setingkat Gubernur yang akan habis masa jabatannya pada tahun 2022. Nama-nama itulah yang kepastian menjabatnya akan ditentukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan merupakan salah satu dari tujuh nama yang akan digantikan dengan mekanisme tersebut. Bak tengah berada di final lap – mengingat tak bisa langsung mencalonkan diri kembali sebagai petahana – Anies tampak terus melakukan langkah dan inisiatif yang cukup konstruktif.

Akhir pekan lalu, Anies dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melalui Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) PT Food Station Tjipinang Jaya, menggandeng Pemerintah Kabupaten Ngawi, Jawa Timur dan kelompok tani di Kecamatan Geneng untuk memperluas cakupan serapan gabah yang akan berkontribusi bagi ketahanan pasokan beras di Jakarta.

Di laman Facebook-nya, Anies mengatakan bahwa Ibu Kota memiliki ketergantungan yang amat tinggi kepada produk pertanian dari luar Jakarta. Oleh sebab itu, pihaknya tidak ingin hanya menerima berasnya saja tetapi tak memikirkan kesejahteraan petaninya.

Skema kolaborasinya sendiri tidak terlalu rumit untuk dieksekusi. Secara teknis, Pemerintah Kabupaten Ngawi dan kelompok tani yang ada akan menyiapkan lahan dan petaninya. Di saat bersamaan, Pemprov DKI akan melakukan pendampingan kepada para petani sekaligus menyediakan segala peralatan yang diperlukan.

Baca Juga: Rumah Panggung, Terobosan Banjir Anies?

Selain Ngawi, di pekan sebelumnya Anies juga melakukan hal yang serupa di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Bahkan, momentum tersebut ditandai dengan foto Anies yang sedang memanen padi di tengah pematang sawah.

Namun, impresi yang ditunjukkannya di Cilacap agaknya kurang menyenangkan bagi pihak tertentu secara politik. Anggota DPRD DKI Jakarta Gilbert Simanjuntak dari Fraksi PDIP, misalnya, yang menyebut bahwa tak sepatutnya Anies memberi kesan sosialisasi di luar DKI Jakarta dan seolah sedang mempersiapkan nyapres.

Lantas, pertanyaannya, mengapa Anies melakukan langkah yang dapat diinterpretasikan sebagai manuver politik tersebut?

Anies Ekspansi Politik Pangan?

Diskursus mengenai politik dan keterkaitannya dengan konteks pangan, terutama makanan pokok, memang tidak dapat dipisahkan. Sejak menjadi urusan vital atas hajat hidup orang banyak, penciptaan ketahanan pangan oleh pemerintah dipengaruhi oleh dinamika politik yang ada dan bermuara pada kompleksitas dan urgensi isu itu sendiri.

Refleksi masa lalu kiranya dapat menjadi acuan untuk memahami konstruksi secara umum mengapa pangan menjadi salah satu aspek determinan dalam politik.

Nyatanya, pangan memang selalu memiliki fungsi simbolis. Hal ini persis seperti yang dikemukakan oleh Alison Perelman dalam disertasinya Political Appetites. Perelman berangkat dari teori strukturasi Anthony Giddens tentang penciptaan dan reproduksi sistem sosial yang berbasis pada analisis struktur dan agen.

Pada intinya, pangan atau utamanya makanan pokok, sebagai kebutuhan dasar memiliki kaitan erat dengan selera dan konsumsi yang mencerminkan identitas individu dan sosial. Ihwal yang lantas dikenal sebagai pola konsumsi itu kemudian memainkan peran penting dalam mendefinisikan identitas bersama, serta struktur yang kemudian terbentuk dari interaksi identitas tersebut.

Esensi itu berkembang hingga peradaban masyarakat modern. Interaksi identitas pada konteks pangan itu disebut Perelman bertransformasi menjadi simbol komunikasi politik.

Salah satu sampel konkretnya tercermin dari realita yang terjadi di negara-negara Asia Barat dan Afrika bagian Utara. Bahkan sebelum Arab Spring, roti sebagai makanan pokok telah menjadi simbol atau variabel spesifik ketika terjadi gejolak sosial-politik.

Lebih fundamental lagi, ajaran Konfusius juga menyebut kecukupan makanan sebagai satu dari tiga hal pokok yang perlu diperhatikan oleh seorang raja demi stabilitas pemerintahannya, selain kepercayaan rakyat dan tentara yang kuat.

Baca Juga: Di Balik Zeitgeist Digital Anies

Khusus pada diskursus mengenai food security atau ketahanan pangan saat ini, agaknya tidak bisa diabaikan sedikitpun, khususnya di tengah krisis multidimensi seperti Pandemi Covid-19. Terlebih, proyeksi ketersediaan beras sebagai makanan pokok kerap menjadi kesimpulan dan peringatan yang “kurang menyenangkan” dari analisa para pakar.

International Rice Research Institute (IRRI), juga sempat mempublikasikan policy brief-nya, yang berjudul Safeguarding Food System in Southeast Asia Amid Covid-19, yang kembali menjadi pengingat akan ancaman kerentanan pangan di kawasan Asia Tenggara.

IRRI memprediksi terjadinya kerawanan pangan dalam jangka panjang di Filipina dan Indonesia. Ketahanan pangan terancam karena mata rantai pasokan beras, khususnya impor mengalami gangguan serius. Negara-negara eksportir beras, seperti Vietnam dan Thailand, kesulitan memasok beras karena ada persoalan di dalam negeri maupun di sisi perdagangan antar negara.

Apalagi dalam konteks Indonesia khususnya DKI Jakarta, kebutuhan dan stabilitas harga beras menjelang Hari Raya Idul Fitri menjadi pekerjaan yang tak mudah bagi pemangku kebijakan, termasuk Anies Baswedan.

Pada dimensi berbeda, baru-baru ini beras juga seolah menjadi pertaruhan reputasi politik ketika Presiden Jokowi menyebut selama hampir tiga tahun pemerintah tak pernah mengimpor beras, namun data BPS tak menyatakan demikian.

Oleh karenanya, manuver Anies yang bertandang ke sejumlah daerah untuk memastikan ketahanan pangan Jakarta di satu sisi memang memiliki urgensinya tersendiri, tidak hanya secara substansial namun juga dari segi komunikasi politik sebagai sosok pemimpin dan kandidat pemimpin negara potensial.

Lalu, seperti apakah sesungguhnya dinamika di balik politik pangan khususnya beras di Indonesia? Adakah hubungan khusus yang menguntungkan bagi sosok Anies secara politik?

Beras Berpihak kepada Anies?

Dalam tulisannya di New Mandala yang berjudul Indonesia’s rice racket, Colum Graham menjabarkan bagaimana beras menjadi variabel dalam perpolitikan di Indonesia bahkan dalam konteks politik level tertinggi.

Naik-turunnya harga hingga ketersediaan beras sejak era mantan Presiden Soeharto yang memang berkorelasi erat dengan dinamika dan intrik politik yang sedang terjadi. Terdapat hubungan khusus antara kekuatan politik elite dan para rice trader atau para “pedagang” beras yang mendefinisikan stok dan stabilitas harga makanan pokok negeri +62 itu.

Baca Juga: Anies Cocok Jadi Diplomat?

Disebutkan, kualitas hubungan dan korelasi antara para elite, Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (PERPADI), sampai Bulog nyatanya memiliki peran, di luar hal teknis, dalam konteks pangan dan ketersediaan beras sebagai makanan pokok di Indonesia. Begitu pun hubungan timbal balik yang otomatis terjadi dari interaksi antar-aktor tersebut.

Sebagian besar aktor di pasar beras Cipinang sering kali menjadi penentang pemerintahan Jokowi dan PDIP. Hal itu disebabkan, selama menjabat Gubernur DKI Jakarta periode 2012 sampai 2014, hubungan Jokowi dengan pasar dan PERPADI memburuk karena janji infrastruktur yang tak terpenuhi. Koperasi pedagang beras lantas mendukung pencalonan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa pada Pilpres 2014.

Pola hubungan dengan karakteristik seperti itu terus berlangsung hingga kepemimpinan DKI di bawah Basuki Tjahaja Purnama (BTP) atau Ahok, serta Djarot Saiful Hidayat. Bahkan, Graham menyebut ekses dari politik pangan ini turut berkontribusi bagi kemenangan Anies pada Pilgub 2017 lalu.

Selain itu, Graham juga merinci aktor-aktor berpengaruh dalam dinamika beras di tanah air, tidak hanya dalam konteks DKI namun juga nasional. Cukup menarik ketika muncul nama Jusuf Kalla (JK) dan keterkaitannya dengan Bulog plus PERPADI melalui Bank Bukopin, yang pernah dikendalikan JK sebelum menjual kepada saudara iparnya Aksa Mahmud. Bukopin sendiri telah lama menjadi bank untuk pembiayaan off budget Bulog.

Kedekatan dan support JK kepada Anies dalam banyak kesempatan plus setting politik yang demikian dalam politik beras nasional agaknya membuat eks Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu tampaknya memiliki keuntungan tersendiri, terutama ketika berbicara potensi pencalonan Anies sebagai Capres 2024 dibandingkan kandidat lainnya.

Meminjam istilah “damage” sebagai kekuatan sebuah subjek dalam permainan virtual, mungkin saja damage sosok Anies meningkat dengan manuver anyarnya itu dibandingkan kandidat lainnya.

Langkahnya ke sejumlah daerah di luar Jakarta juga bisa saja bertujuan untuk memberikan pengaruh dan sinyal kepada publik bahwa Anies memiliki kemampuan lengkap dalam aspek koordinasi, manajerial, dan inovasi yang mumpuni sebagai pemimpin.

Kendati demikian, kendali dan inovasi atas satu aspek komoditas makanan pokok agaknya juga tak serta merta dapat menjadi jaminan penguasaan politik pangan secara keseluruhan dengan keragaman dan kompleksitas yang ada.

Tak hanya politik pangan, untuk benar-benar menasbihkan diri sebagai pemimpin berkualitas, Anies harus mampu membuktikan bahwa berbagai manuver kebijakannya dapat terus membawa perubahan serta implikasi konkret yang positif dan dirasakan warga DKI Jakarta. (J61)

Baca Juga: Anies-Ganjar Menuju Perang Dingin?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version