Membuat pernyataan berbeda tentang wacana penundaan pemilu dan tiga periode presiden, yang dilakukan oleh Ketum PAN Zulkifli Hasan (Zulhas) menjadi perhatian publik. Zulhas dinilai tidak konsisten dan bahkan dianggap hanya mengekor pada kekuasaan. Lantas, benarkah stigma tersebut, ataukah kesemua itu adalah upaya menyelamatkan PAN ala Zulhas?
Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan (Zulhas) menjadi sorotan, karena secara terbuka mengungkapkan wacana penundaan pemilu maupun tiga periode presiden tidak akan mungkin terealisasi.
Padahal sebelumnya, Zulhas sempat menyampaikan usulan penundaan Pemilu 2024 dengan dalih angka kepuasan terhadap Joko Widodo (Jokowi) masih tinggi merujuk sejumlah survei. Dan juga faktor situasi pandemi yang masih berlangsung perlu mendapat perhatian khusus.
Dengan mengatakan wacana tersebut tidak mungkin terealisasi, memperlihatkan kejanggalan dalam memberikan statement. Sebagian orang menilai, perubahan pernyataan ini disinyalir karena terjadi perubahan sikap Presiden Jokowi yang memastikan Pemilu 2024 terlaksana sesuai jadwal.
Zulhas menghimbau agar masyarakat tidak lagi memperdebatkan wacana tiga periode ataupun penundaan pemilu. Baginya, wacana tersebut hanya obrolan politik, dan dalam politik hal tersebut merupakan sesuatu yang lumrah dilakukan.
Yandri Susanto, Wakil Ketua Umum PAN, mengatakan pernyataan Presiden Jokowi menutup peluang terwujudnya wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode. Yandri mengklaim PAN akan fokus dalam mempersiapan pemilu serentak 2024.
Lantas, kenapa pernyataan politik sekelas ketum partai seolah tidak punya nilai yang mendasar? Bukankah pernyataan politik adalah citra dari keutamaan seorang negarawan?
Korosi Keutamaan Politik?
Keutamaan politik atau virtue merupakan konsepsi yang diperkenalkan oleh Niccolò Machiavelli untuk menggambarkan nilai-nilai yang harus dimiliki tokoh politik, sebagai bentuk kualitas-kualitas utama seorang pemimpin.
Thomas P. Jenkin dalam bukunya The Study of Political Theory, membedakan dua pendekatan dalam melihat kondisi politik. Pertama, dengan pendekatan valuational, di mana politik dianggap mengandung nilai moral dan norma politik. Dalam teori ini segala sesuatunya harus mempertimbangkan baik-buruk atau konsekuensinya.
Kedua, pendekatan non-valuational yang melihat politik berdasarkan fakta-fakta politik tanpa mempersoalkan nilai moral maupun norma. Teori ini memberikan gambaran dan perbandingan fenomena politik dalam kehidupan nyata.
Hingga pada bentuknya yang paling mutakhir, dominasi pendekatan terhadap nilai-nilai dianggap sebagai salah satu keutamaan (virtue). Para politisi hadir dalam sebuah sistem politik untuk memperjuangkan kebaikan bersama. Dalam bentuk kongkrit mereka harus memperlihatkan etos pelayanan pejabat publik.
Tapi yang menjadi permasalahan, seringkali politik seolah memberikan ruang bagi para politisi untuk tidak harus mengindahkan keutamaan tersebut. Lebih parah lagi, seolah kebohongan menjadi instrumen para politisi dalam berakrobatik dalam pentas politik.
Lasarus Jehamat dalam tulisannya Melawan Banalitas Politik, mengatakan realitas kebohongan dalam panggung politik ditandai dengan mulai tertransformasinya sikap politik seseorang ke dunia digital atau internet.
Lasarus meminjam pemikiran Brenner dalam tulisannya The Emerging Fault Lines of the Nation State, dengan menyatakan dunia maya sebagai zombie penyebar informasi, tidak hanya ketakutan, tetapi juga kebohongan, ketidakjelasan, dan anomali.
Dengan demikian, sumbangan utama kekacauan dunia maya berdampak langsung pada kehidupan sosial kemasyarakatan. Kebohongan dalam dunia politik memang tidak muncul di ruang hampa, semua narasi itu muncul dan terindikasi disebabkan oleh banalitas para politisi.
Trio Kurniawan dalam tulisannya Kritik Atas Banalitas Kebohongan Manusia Era Post-Truth, mengatakan rekonstruksi nalar kritis masyarakat harus ditegakkan untuk dapat menyaring informasi yang begitu meyakinkan bahwa itulah yang benar terjadi.
Saran kepada masyarakat ini beralasan, karena budaya berkomentar, berkata, bahkan membuat sebuah pernyataan dalam dunia politik seringkali sukar untuk dibuktikan konsistensinya antara satu pernyataan dengan pernyataan lainnya. Sederhananya, tidak konsisten berarti pernyataan tersebut masuk kategori kebohongan.
Itu dapat terjadi saat seseorang mulai berbohong dalam sebuah hal maka dia akan berbohong tentang hal lain. Ketika dia berbohong pada suatu kesempatan maka dia akan berakhir pada kebohongan lain di lain kesempatan.
Hannah Arendt dalam The Crises of the Republic, mengatakan kebohongan bersumber dari imajinasi. Bagi Arendt, mereka yang melakukan kebohongan memiliki keuntungan karena mengetahui lebih dulu apa yang ingin didengar atau diharapkan publik. Jadi, versinya disiapkan dan disesuaikan dengan apa yang diinginkan publik.
Kebohongan kemudian membesar, bahkan menjadi sebuah normalitas ketika memasuki arena politik. Tentunya bertentangan dengan para filsuf politik yang mengajarkan politik sebagai bagian dari aktualisasi diri manusia menuju kesempurnaan.
Politik adalah suatu cara berada. Sebagai cara berada, politik mesti memancarkan keadaban. Dengan itu, politik bernilai dalam dirinya sendiri. Hal ini yang akan membuat korosi dari keutamaan politik dapat dihindari.
Tentunya bagi Zulhas dan PAN, yang pernah menyampaikan wacana perpanjangan masa jabatan akan mempunyai konsekuensi elektoral. Pemilih kritis akan mengelompokkan Zulhas sebagai bagian dari orang yang ditentang oleh masyarakat yang resisten tentang isu tersebut.
Bagi kelompok kritis yang resisten, kelompok politisi ini dianggap beririsan dengan kekuasaan. Dan akan dikategorikan sebagai kelas oligarki politik, yang membuat keutamaan politik mengeropos dan membusuk tanpa terkendali.
Semua ini merupakan pekerjaan rumah bagi Zulhas dalam persiapan menghadapi kontestasi politik 2024 yang tidak lama lagi. Lantas, mungkinkah ada akrobat politik yang belum terungkap di balik pernyataan Zulhas?
Ingin Kelola Konflik?
Pernyataan Zulhas yang mengatakan penundaan pemilu dan tiga periode adalah wacana yang sebenarnya tidak ada dan tidak perlu diperdebatkan, dapat dilihat sebagai upayanya untuk menyelamatkan PAN dari konflik yang saat ini mulai terlihat.
Indikasi pertama jika kita melihat data, PAN tampil tidak memuaskan saat Pemilu 2019. PAN tidak mampu menambah jumlah kursi di DPR RI. Hal ini terlihat jika dibandingkan hasil Pemilu 2014, PAN memperoleh 49 kursi, namun di Pemilu 2019 hanya memperoleh 44 kursi DPR.
Indikasi berikutnya, yaitu konflik internal. Konflik ini dipicu pernyataan Zulhas sebelumnya tentang wacana penundaan pemilu yang direspons oleh Sekretaris Majelis Penasehat Partai Wilayah (MPPW) PAN Jawa Barat, Ahmad Adib Zain yang menuntut Zulhas mencabut pernyataannya tersebut.
Permasalahan lain juga terlihat dari eksternal. Terdapat partai baru yang digadang-gadang akan mencuri suara PAN pada Pemilu 2024 mendatang. Partai baru yang dimaksud adalah Partai Ummat, yang didalamnya terdapat mantan Ketum PAN Amien Rais.
Abdul Hamid, peneliti senior Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), mengatakan masuknya PAN dalam koalisi pemerintah membuat pemilih PAN yang terdiri dari kelompok Islam kota dan modernis akan berangsur berpindah ke Partai Ummat.
Semakin kompleks permasalahan dan juga konflik yang sedang dihadapi oleh PAN. Zulhas adalah satu-satunya orang yang mengemban tugas untuk menguraikannya karena permasalahan ini tidak bisa disalahkan kepada orang lain. Yang bertanggung jawab terkait hasil elektoral partai adalah Zulkifli Hasan sebagai pucuk pemimpin di PAN.
Ilmuwan politik asal Jerman Michelangelo Vercesi, mengatakan dukungan politik pada penguasa dapat menjadi solusi menyelamatkan partai politik. Dengan sumber kekuasaan penguasa, diharapakan dapat meminimalisir benang kusut yang terjadi dalam tubuh partai politik.
Vercesi melanjutkan, bahwa secara sosiologis, partai politik tidak memiliki kemampuan mengatur, dan mengelola agensi-agensi politik mereka, baik ke dalam maupun ke luar. Perlu kekuatan di luar dirinya untuk melakukan manajemen konflik partai politik tersebut.
Partai tidak bisa berharap dan berkutat dengan simpati publik dalam mengambil keputusan, seringkali keputusan partai politik terkesan berseberangan dengan keinginan publik, meski demikian kepentingan lebih besar, yaitu menyelamatkan partai jadi lebih penting.
Hal ini yang mewajarkan jika Zulhas saat ini dekat dengan kekuasaan. Karena kecerdasan mengelola situasi politik sebenarnya menentukan perjalanan sebuah partai politik. Dengan kondisi PAN saat ini, apa yang dilakukan oleh Zulhas dapat dikatakan sebagai upayanya untuk menyelamatkan PAN. (I76)