Dengan terus bertambahnya jumlah pasien positif yang terjangkit oleh virus Corona (Covid-19) di seluruh dunia, desakan untuk menemukan vaksin semakin kencang menerpa. Beberapa negara – seperti Amerika Serikat (AS), Tiongkok, dan Jerman – berlomba-lomba mengembangkan vaksin tersebut. Siapakah pemenangnya?
PinterPolitik.com
“It’s a race to the bag, get the mills” – Offset, penyanyi rap asal Amerika Serikat
Situasi perkembangan penyebaran virus Corona (Covid-19) sepertinya belum menunjukkan adanya perlambatan laju. Total kini telah menembus angka 858.892 kasus positif di seluruh dunia – dengan kasus aktif yang terus meningkat mencapai 638.634 kasus.
Di Indonesia, laju penyebaran juga tampaknya jauh dari kata melambat. Berdasarkan konferensi pers resmi dari Juru Bicara Pemerintah dalam Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto, jumlah kasus positif telah mencapai angka 1.677 – dengan jumlah pasien meninggal sebanyak 157 jiwa.
Hampir seluruh provinsi di pulau Jawa – kecuali D.I. Yogyakarta – telah mendapatkan status merah dengan frekuensi kasus di atas 50 kasus. Provinsi-provinsi lain pun mulai melaporkan kasus positif dan korban meninggal satu per satu.
Bukan tidak mungkin semakin memburuknya situasi ini semakin memperlambat upaya pemulihan dunia dari Covid-19 – baik dalam bidang kesehatan maupun ekonomi. Tak hanya Indonesia, pertumbuhan ekonomi dunia juga akan terus menurun akibat pandemi Covid-19.
Dalam KTT ini, saya mengajak para pemimpin negara G20 untuk bersama-sama memenangkan dua “peperangan” yaitu melawan Covid-19 dan melawan pelemahan ekonomi dunia.
Untuk itu, G20 harus aktif memimpin upaya menemukan anti-virus dan obat Covid-19, tentunya bersama WHO.
— Joko Widodo (@jokowi) March 26, 2020
Bila benar begitu, kampanye dan kebijakan stay at home atau #dirumahaja bisa saja akan dipertahankan lebih lama guna tetap menjaga kurva pandemi tetap datar (flattening the curve). Di Indonesia sendiri, beberapa ahli matematika mencoba membuat beberapa model skenario yang memprediksi bahwa pandemi baru berakhir pada bulan Agustus-September – bila skenario terburuk berlaku.
Mungkin, akibat dampak-dampak buruk inilah, banyak negara akhirnya berusaha untuk menemukan vaksin untuk virus satu ini. Dalam konferensi tingkat tinggi (KTT) G20 virtual beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga menekankan bahwa vaksin menjadi penting sebagai wadah kolaborasi internasional.
Berbagai negara besar – seperti Amerika Serikat (AS), Republik Rakyat Tiongkok, dan Jerman – menjadi pelopor dalam penelitian pengembangan vaksin. Negara-negara tersebut menggandeng perusahaan-perusahaan di industri farmasi.
Namun, terlepas dari adanya ancaman global, apa alasan negara-negara tersebut untuk terlibat dalam pengembangan vaksin? Apakah ada dinamika ekonomi dan politik di baliknya?
Persaingan Global
Di balik pengembangan vaksin virus Corona, dinamika politik bisa jadi turut bermain. Setiap negara dapat saja memiliki keinginan untuk mendapatkan keuntungan tersendiri.
Kemungkinan kompetisi antarnegara di balik pengembangan vaksin ini bisa jadi benar. Ini terlihat dari bagaimana Tiongkok merespons pengumuman AS soal pengembangan vaksin di negaranya.
Setelah AS mengumumkan untuk menguji vaksin milik perusahaan Moderna pada manusia, Tiongkok langsung merespons sehari setelahnya. Pemerintah negeri Tirai Bambu tersebut menyatakan bahwa CanSino – perusahan produsen vaksin asal Tiongkok – akan segera memulai uji coba fase pertama.
Selain itu, upaya kompetitif juga ditunjukkan oleh AS dengan adanya upaya Presiden AS Donald Trump untuk menegosiasi perusahaan pengembang vaksin asal Jerman – CuraVec – agar mengembangkan vaksin tersebut di negara Paman Sam. Upaya ini dinilai bertujuan agar produksi lebih lanjut dapat dilakukan di AS.
Tentunya, persaingan seperti ini membuat publik semakin bertanya-tanya. Di tengah-tengah pandemi yang semakin parah, mengapa negara-negara besar ini malah saling bersaing untuk memproduksi vaksin?
Dalam studi Hubungan Internasional, sudah menjadi hal yang wajar apabila negara-negara saling bersaing. Perspektif neorealis misalnya, menilai bahwa negara akan saling mencari keuntungan untuk dirinya sendiri (relative gains).
Dalam perspektif ini, suatu negara dinilai akan cenderung merasa rugi apabila negara lain mendapatkan keuntungan yang diinginkannya. Oleh sebab itu, negara akan berkompetisi satu sama lain untuk mendapatkan keuntungan tersebut.
Negara akan saling mencari keuntungan untuk dirinya sendiri (relative gains). Share on XDalam Perang Dingin pada abad ke-20 misalnya, AS dan Uni Soviet memiliki kecenderungan untuk saling bersaing. Setidaknya, persaingan kedua negara digdaya itu berlangsung dalam dua bidang, yakni militer (seperti persenjataan nuklir) dan teknologi (seperti penjelajahan luar angkasa).
Tidak hanya dua bidang itu, kompetisi antarnegara sebenarnya terjadi melalui banyak hal. Michael J. Mazarr dan rekan-rekan penulisnya dalam tulisan mereka yang berjudul Understanding the Emerging Era of International Competition setidaknya menyebutkan bahwa terdapat beberapa hal yang kerap diperebutkan dalam kompetisi antarnegara, yakni kekuatan (power), keamanan (security), kekayaan (wealth), pengaruh (influence), dan status.
Bukan tidak mungkin negara-negara seperti Tiongkok dan AS tengah memperebutkan hal-hal tersebut dalam persaingan yang dilakukan terkait vaksin Corona. Bisa jadi, persaingan ini berhubungan dengan perebutan pengaruh negara yang tengah dilakukan Tiongkok melalui diplomasi maskernya.
Negara yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping tersebut disebut-sebut tengah berusaha melebarkan sayap pengaruhnya ke berbagai negara dengan tampil sebagai negara pemimpin dalam penanganan pandemi Covid-19. Hal ini dilakukan dengan mengirimkan ahli kesehatan, alat kesehatan, dan alat pelindung diri (APD) ke berbagai negara – khususnya kawasan Eropa.
Bisa jadi, negara yang memenangkan persaingan pengaruh ini dapat memiliki status dan citra yang lebih di panggung internasional – memunculkan soft power bagi negara tersebut. Akibatnya, negara tersebut bisa saja memiliki pengaruh terhadap negara lain dalam tata tindaknya.
Namun, apakah benar kompetisi vaksin ini hanya berada pada dimensi pengaruh politik? Bagaimana kah dengan dimensi ekonomi? Adakah kepentingan tersebut?
Ekonomi Politik Vaksin
Persaingan yang terjadi antara Tiongkok dan AS dalam pengembangan vaksin ini bisa jadi merupakan bagian dari persaingan ekonomi. Pasalnya, setiap negara dinilai ingin mendapatkan keuntungan ekonomi di balik kompetisi ini.
Hal ini dapat dijelaskan melalui studi Ekonomi Politik Internasional – khususnya melalui pendekatan nasionalisme ekonomi. Dalam pendekatan tersebut, dijelaskan bahwa negara saling berkompetisi dalam perdagangan.
Selain itu, pendekatan nasionalis ini juga berasumsi bahwa perusahaan merupakan bagian dari kekuatan (power) negara. Perusahaan-perusahaan swasta seperti McDonalds dan Starbucks bukan tidak mungkin turut berkontribusi dalam kekuatan AS dalam perdagangan dunia.
Mungkin, inilah sebabnya AS dan Tiongkok menggandeng perusahaan produksi vaksin masing-masing – seperti Moderna dan Johnson & Johnson di AS serta CanSino di Tiongkok. Melalui perusahaan-perusahaan ini, kedua negara berupaya mendapatkan keuntungan dalam perlombaan vaksin ini.
Kepentingan ekonomi ini semakin mungkin benar adanya dengan potensi profit yang dilahirkan oleh pandemi ini. Pasalnya, hampir setiap negara kini harus berhadapan dengan Covid-19.
Dengan kampanye dan kebijakan #dirumahaja yang digalakkan di banyak negara, risiko kematian akibat Covid-19 diharapkan dapat ditekan – membuat kurva skenario pandemi semakin datar. Akibatnya, jumlah populasi dapat tetap terjaga sehingga demand (permintaan) terhadap vaksin tetap tinggi.
Potensi pasar yang besar inilah yang mungkin tengah dicari oleh AS dan Tiongkok. Bukan tidak mungkin kedua negara merasa persaingan ini semakin penting dengan adanya gesekan di antara keduanya, yakni persoalan pengaruh dan status di panggung internasional.
Lantas, negara mana yang dapat “menang” dalam persaingan vaksin ini? Siapakah yang akan dirugikan?
Bisa jadi, di tengah upaya global dalam mencari vaksin ini, AS mendapatkan poin lebih untuk saat ini. Pasalnya, dibandingkan dengan Tiongkok dan Jerman yang masih mempersiapkan uji coba fase pertama, negara Paman Sam tersebut telah melakukan uji coba terhadap pasien-pasien Covid-19.
Poin lebih yang dimiliki AS sekarang ini dapat saja turut merefleksikan salah satu asumsi pendekatan nasionalisme ekonomi yang menyebutkan bahwa negara yang memiliki teknologi yang lebih canggih memiliki kecenderungan untuk memenangkan kompetisi.
Namun, bila AS benar akan memenangi kompetisi vaksin ini, bukan tidak mungkin negara-negara lain akan merasakan dampaknya. Pasalnya, industri farmasi di negeri Paman Sam kerap dinilai memiliki sistem dan kecenderungan untuk memaksimalkan profit – membuat harga obat lebih mahal.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Apakah Indonesia dapat dirugikan dengan persaingan global yang bisa saja “dimenangkan” oleh AS?
Tentu, persaingan global ini dapat membawa dampak lain bagi Indonesia. AS sebagai “pemenang” bukan tidak mungkin akan mementingkan negaranya terlebih dahulu – apalagi di bawah pemerintahan Trump.
Hal seperti ini pernah terjadi kala wabah Flu Babi merebak di banyak negara. Kala itu, Australia yang berhasil menemukan vaksin flu itu membuat keputusan agar permintaan di negeri Kanguru tersebut dapat dipenuhi terlebih dahulu sebelum diekspor ke banyak negara.
Dengan keputusan semacam itu, stok vaksin yang ada di pasar pasti akan menjadi terbatas. Inilah mengapa Indonesia akhirnya merasa perlu untuk mengembangkan vaksinnya sendiri – melalui konsorsium Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di bawah Kementerian Riset dan Teknologi.
Namun, persaingan global dalam riset vaksin Corona ini belum selesai. Lagi pula, siapa pun “pemenangnya,” bukan tidak mungkin kepentingan ekonomi politik turut terlibat. Mari kita tunggu saja kelanjutannya. (A43)
https://www.youtube.com/watch?v=IX678zypXcQ
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.