HomeNalar PolitikUntuk Apa Civil Society Watch?

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi.


Pinterpolitik

Masyarakat sipil yang aktif dan kritis mengawasi pemerintah adalah salah satu prasyarat utama agar demokrasi bisa berjalan dengan baik di suatu negara. Namun, apa jadinya kalau kelompok tersebut justru malah akan diawasi, seperti saat ini oleh Civil Society Watch yang digawangi Ade Armando?

Ya, di saat pemerintah tengah jadi sorotan banyak kelompok masyarakat sipil melalui beragam isu, malah muncul wacana untuk mengawasi civil society. Yang berpotensi bikin orang bingung adalah, kelompok pengawas tersebut, justru berasal dari masyarakat.

Tentu, wacana unik itu kemudian jadi bahan pembicaraan masyarakat di media sosial. Ada yang menanggapinya secara serius, ada pula yang meresponsnya dengan ragam guyonan seperti meme atau template cuitan yang tengah populer.

Terlepas dari respons netizen apakah serius atau bercanda, tampak ada satu hal yang menjadi nuansa utama. Hal tersebut adalah ancaman terhadap demokrasi yang muncul dari kelompok masyarakat pengawas masyarakat ini.

Perkara penurunan demokrasi boleh jadi bukan hal yang baru dibicarakan. Namun, Civil Society Watch menjadi hal yang bisa menjadi dimensi baru dalam hal ini. Lalu, bagaimana kelompok besutan Ade Armando ini dapat dimaknai?

Masyarakat Mengawasi Masyarakat

Rasanya, masyarakat tak akan pernah kehabisan bahan pembicaraan jika membicarakan penurunan demokrasi Indonesia belakangan ini. Di tengah wacana beragam pasal baru di RKUHP, hingga isu pelemahan KPK, muncul kelompok dengan tajuk Civil Society Watch.

Kelompok tersebut kemudian jadi bahan pergunjingan karena namanya itu sendiri. Bagaimana mungkin kelompok masyarakat sipil harus ada yang mengawasi? Sementara, bukankah mereka sendiri berfungsi untuk mengawasi pemerintah?

Bagi beberapa orang, mengawasi masyarakat sipil boleh jadi amat membingungkan. Pasalnya, kelompok LSM atau NGO, sesuai namanya tak memiliki afiliasi dengan pemerintah, dan tak membuat kebijakan terkait pemerintahan.

Baca Juga: Mungkinkah Puan Gandeng Anies?

Jika ditarik lebih luas, seperti namanya, mereka juga tak menikmati aliran dana dengan pemerintah. Alih-alih seperti itu, banyak NGO justru biasanya mengawasi penggunaan dana yang digunakan dan dialirkan pemerintah.

Merujuk pada hal tersebut, banyak pihak mempertanyakan urgensi keberadaan Civil Society Watch ala Ade Armando dan kawan-kawan. Lebih jauh, publik juga mulai mengaitkannya dengan ancaman demokrasi, seiring dengan wacana pengawasan kelompok pengawas pemerintah.

Ade sendiri, sebagai salah satu pentolan membantah kalau kelompoknya akan melindungi pemerintah yang berkuasa. Kelompoknya justru akan meminimalisasi masyarakat dari intervensi negara.

Baca juga :  Pilkada 2024: Jokowi’s Next Battle?

Secara khusus, Civil Society Watch disebutkan akan jadi tempat pengaduan masyarakat atau perusahaan yang merasa dirugikan oleh LSM. Lalu. Kelompok itu juga akan menjadi kontra narasi terhadap pelanggaran etika yang dilakukan LSM.

Menurut Ade, kelompoknya hanya akan mengkritisi kerja-kerja dari kelompok masyarakat sipil. Namun, ia sendiri tidak menutup kemungkinan akan membuat laporan jika ada organisasi yang ia sebut memalak atau mengancam.

Lebih lanjut, dalam keterangannya kepada Tempo, dosen Universitas Indonesia itu menyebutkan kalau mereka akan mengawasi LSM yang merugikan masyarakat. Perbuatan yang merugikan itu misalnya adalah memeras, mengancam, hingga pemberitaan media massa yang tidak berimbang.

Budaya Informan

Tentu, Ade dan kawan-kawan boleh punya argumen kalau mereka tak jadi kelompok yang melindungi pemerintah. Mereka juga mungkin merasa tak akan jadi pihak yang akan melaporkan sesama masyarakat agar dijerat secara hukum.

Meski demikian, publik boleh belum terlalu yakin bahwa Civil Society Watch akan berjalan secara ideal. Publik mungkin akan melihat afiliasi atau kecenderungan politik Ade dan orang-orang di sekelilingnya sehingga ada potensi bias dalam rilis laporan mereka.

Tak hanya itu, Ade sendiri sudah menyebutkan kemungkinan akan membuat laporan meski masih membatasi diri untuk kelompok yang dianggap memalak atau mengancam.

Kondisi-kondisi tersebut membuat masyarakat sulit untuk tidak memandang Ade dan kawan-kawan ini bekerja bak cepu, alias informan bagi aparat.

Baca Juga: Sepeda Tol Anies Tiru Jerman?

Jika mau bicara lebih serius, langkah yang dilakukan oleh Civil Society Watch ini mungkin akan mengingatkan banyak orang pada budaya informan atau informant culture. Jika merujuk pada Jim Redden, hal itu disebut pula dengan snitch culture.

Dalam kadar tertentu, Ade dan orang-orang di sekelilingnya bisa saja bertindak layaknya citizen spies. Istilah tersebut digunakan oleh Joshua Reeves dalam bukunya Citizen Spies: The Long Rise of America’s Surveillance Society. Ia menyoroti sejarah perekrutan masyarakat untuk memata-matai satu sama lain di Amerika Serikat.

Menurutnya, negara dan institusi yang terkait kerap menggunakan masyarakat untuk mengintai dan memberikan informasi tentang sesamanya. Ia menyebut kalau budaya “if you see something, say something” telah menjadi tanggung jawab masyarakat di AS.

Dalam kadar tertentu, boleh jadi itulah yang akan dilakukan Ade dan kawan-kawan lewat Civil Society Watch. Memang, mereka mungkin tak akan bertindak layaknya intel yang bekerja secara layak. Mungkin juga mereka tak mendapatkan penugasan atau instruksi yang sifatnya formal.

Namun, boleh jadi mereka akan melakukan budaya if you see something, say something. Hal ini terkait dengan tujuan mereka untuk mengawasi masyarakat sipil dan mengungkap bahkan melaporkannya.

Baca juga :  Koalisi Titan: Sentripetalisme Konsensus Demokrasi Prabowo

Jadi Lahan Para Informan?

Ade mungkin sudah menyebutkan kalau Civil Society Watch tidak akan menjadi kelompok yang melindungi pemerintah. Namun, jika melihat snitch culture dan peran citizen spies yang tentu akan menguntungkan pemerintah, hal itu bukan tak mungkin terjadi di Indonesia.

Terlebih, Ade dan orang-orang di dalam Civil Society Watch kerap terlihat sebagai sosok yang rajin membela Presiden Joko Widodo dan seluruh kebijakannya. Ade telah menyebut kalau orang-orang di dalamnya adalah mereka yang bergelut di Cokro TV bersama dirinya.

Cokro TV sendiri terkenal sebagai pembuat konten yang kerap menyerang oposisi atau pengkritik Jokowi. Selain itu, penyaji kontennya sendiri adalah sosok-sosok yang kerap dianggap buzzer atau setidaknya membela Jokowi dengan sangat rajin.

Di sinilah mungkin yang menjadi sebab Ade dan Civil Society Watch jadi bahan pembicaraan. Di tengah keuntungan pemerintah dalam budaya informan, para kemungkinan calon informan ini sendiri adalah sosok yang secara visual rajin mendukung mereka.

Oleh karena itu, wajar jika kemudian kemunculan kelompok ini membuat tanda tanya soal demokrasi Indonesia semakin nyata. Ada kemungkinan kelompok yang dianggap memuja Jokowi akan menjadi informan bagi kelompok lain yang mengawasi dan mengkritik pemerintah.

Baca Juga: Jokowi Riding The Dragon Tiongkok

Kekhawatiran itu mungkin memiliki dasar tersendiri. CHR. Michelsen Institute misalnya mempunyai pandangan terkait budaya snitching ini dan pemerintahan otoriter.

Mereka misalnya menggambarkan kalau Ethiopia telah menjadi tanahnya para informan di mana masyarakat melaporkan masyarakat lainnya jika tidak loyal pada rezim berkuasa. Rezim Ethiopia sendiri memiliki kekuatan absolut terhadap warganya.

Di sana, pemerintah memiliki sosok loyal di seluruh wilayah negara yang bekerja untuk mengontrol oposisi dan masyarakat secara keseluruhan.

Merujuk pada kondisi-kondisi tersebut, wajar jika kemudian banyak pihak yang merasa kalau Ade dan Civil Society Watch akan jadi cepu menuju pemerintahan yang otoriter. Apalagi, jika Ade dan kawan-kawannya di Cokro TV itu memang benar loyal kepada Jokowi, seperti para loyalis di Ethiopia.

Pada akhirnya, tentu hal itu masih perlu dibuktikan. Terlepas dari itu, pola-pola yang terjadi di belahan bumi lain bisa saja jadi alarm yang mengkhawatirkan masyarakat yang masih menginginkan pemerintahan demokratis. Kita lihat saja bagaimana kiprah Civil Society Watch ini. (H33)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Youtube Membership

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Promo Buku
spot_imgspot_img

#Trending Article

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Dengarkan artikel ini: Dibuat dengan menggunakan AI. Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok...

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

Prabowo, Kunci Kembalinya Negara Hadir?

Dalam kunjungan kenegaraan Prabowo ke Tiongkok, sejumlah konglomerat besar ikut serta dalam rombongan. Mungkinkah negara kini kembali hadir?

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...

Menakar Puan sebagai Capres Perempuan

Nama Puan Maharani belakangan mulai dibicarakan sebagai capres 2024. Kemunculannya tergolong jadi pembeda mengingat bursa capres lebih sering didominasi laki-laki. Namun, apakah ia sendiri...