Di tengah perbincangan tentang unicorn, Sandi melawannya dengan konsep Unikop, unit koperasi yang memiliki valuasi di atas Rp 1 triliun. Bisakah ia mewujudkannya?
PinterPolitik.com
[dropcap]D[/dropcap]alam sebuah kontestasi Pemilu, adu program merupakan sesuatu yang patut diapresiasi. Sebab, selama ini masyarakat selalu disuguhi dengan kampanye-kampanye yang tidak berbobot. Misalnya saja sikap saling ledek maupun tebar kebencian antar kubu.
Salah satu kandidat yang berkampanye dengan program tersebut adalah Sandiaga Uno. Salah satu rencana Sandi untuk menumbuhkan ekonomi Indonesia adalah dengan membuat konsep Unikop atau Unit Koperasi. Konsep ini tidak jauh berbeda dengan istilah yang ramai menjadi perbincangan ketika debat Pilpres kedua beberapa waktu lalu, yakni unicorn.
Unikop adalah koperasi dengan skala besar seperti perusahaan yang mendapatkan status unicorn yang memang sudah cukup banyak tersedia di Indonesia.
Menurut Sandi, Unikop berbeda dengan unicorn yang namanya banyak diperbincangkan saat capres petahana Joko Widodo (Jokowi) bertanya tentang unicorn kepada Prabowo Subianto di debat pilpres kedua. Dalam konsepnya, Unikop adalah usaha rintisan koperasi yang memiliki nilai lebih dari Rp 1 triliun. Sedangkan perusahaan berstatus unicorn adalah mereka yang memiliki valuasi 1 miliar dolar AS.
Nah, pertanyaannya tentu saja apakah ide Unikop ini akan terealisasi? Serta mana yang lebih sesuai dalam konteks Indonesia antara kedua konsep tersebut?
Unicorn, Patut Dibanggakan?
Indonesia memang telah memiliki perusahaan rintisan atau startup dengan valuasi di atas 1 miliar dolar AS yang kemudian disebut dengan istilah unicorn. Sebagai pangsa ekonomi besar serta tengah memasuki revolusi industri 4.0, Indonesia berada di jalur yang menjanjikan di kawasan regional.
Bahkan dengan persaingan ekonomi digital yang begitu ketat, pertumbuhan ekonomi digital Indonesia pada tahun 2020 diproyeksikan sebesar 130 miliar dolar AS atau setara dengan seribu triliun lebih, kurang lebih 11 persen dari Produk Domestik bruto (PDB).
Nilai valuasi sebuah perusahaan rintisan ditentukan oleh beragam indikator. Misalkan investasi, penguasaan pasar, hingga Gross Merchandise Value (GMV) atau Gross Transaction Value (GTV), yakni total nilai kotor transaksi yang dilakukan.
Pada titik ini, pemerintahan Jokowi patut berbangga dengan pencapaian tersebut. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah perusahaan yang disebut unicorn tersebut dimiliki sepenuhnya oleh anak negeri? Dalam hal ini tentu perlu melihat kepemilikan modal di balik dari perusahaan tersebut.
Tokopedia dan beberapa start up unicorn yang dibanggakan Jokowi sebagai prestasi anak bangsa dibaliknya ternyata menyimpan permasalahan perijinan fintech
Setelah diajukan beberapa tahun lalu, perijinan fintech tidak kunjung disetujui oleh BI. Alasannya saat itu tidak jelas.
— Julie "Hypatia" #2019GOLPUT ?️?? (@RadPlague) February 28, 2019
Yang pertama ada Gojek, perusahaan rintisan yang dibuat oleh Nadiem Makarim ini adalah yang pertama dalam mendapatkan status unicorn. Gojek pertama kali dinobatkan sebagai unicorn setelah mendapatkan pendanaan sekitar 550 juta dolar AS atau sekitar Rp 7,5 triliun, pada Agustus 2016 dari konsorsium delapan investor yang dipimpin oleh Sequoia Capital dan Warburg Pincus LLC, dua perusahaan investasi papan atas asal AS.
Selain itu, pada bulan Februari lalu Gojek mendapatkan suntikan dana segar dari PT Astra International Tbk dan PT Global Digital Niaga (GDN) anak usaha perusahaan modal ventura milik Djarum Group. Secara kolektif, modal tambahan dari gabungan para investor di sesi fundraising terbaru Gojek dikabarkan mencapai kisaran 1,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp 16 triliun.
Lalu yang berikutnya adalah Traveloka, perusahaan penyedia layanan pariwisata yang dibentuk oleh Ferry Unardi dan dua orang temannya pada 2012 dinobatkan menjadi unicorn setelah mendapatkan pendanaan dari Expedia, perusahaan travel asal AS pada pertengahan tahun lalu senilai 350 juta dolar AS atau sekitar Rp 4,6 triliun.
Selain itu, pada periode 2016 dan 2017 Traveloka juga mendapatkan kucuran dana dari East Ventures, Hillhouse Capital Group, JD.com, dan Sequoia Capital dengan raihan total 500 juta dolar AS atau sekitar Rp 7 triliun. Dengan total pendanaan tersebut, Traveloka kini telah mencapai nilai valuasi lebih dari 2 miliar dolar AS atau setara Rp 26,6 triliun.
Yang ketiga ada Bukalapak, perusahaan rintisan oleh Achmad Zaky itu mendapatkan status unicorn pada akhir tahun lalu. Grup media terbesar kedua di Indonesia, Emtek, merupakan salah satu penanam modal di marketplace ini. Selain itu, Bukalapak mendapatkan dana dari Mirae Asset-Naver Asia Growth Fund, perusahaan yang berbasis di Korea Selatan dengan total 50 juta dolar AS atau sekitar Rp 700 miliar.
Yang terakhir, ada Tokopedia yang masuk ke tataran unicorn setelah memperoleh penyertaan investasi senilai 1,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp 15 triliun dari Alibaba pada 17 Agustus 2017. Data yang dijabarkan dari Crunchbase mengungkapkan bahwa layanan perushaaan yang didirikan oleh William Tanuwijaya itu secara keseluruhan telah memperoleh pendanaan senilai 1,347 miliar dolar AS atau sekitar Rp 18 triliun.
Dari empat perusahaan yang telah mendapatkan status unicorn tersebut, tidak ada satu pun yang mendapatkan pendanaan murni dari anak negeri. Memang bukan sesuatu yang salah jika ada investasi asing terhadap perusahaan startup Indonesia. Namun hal itu juga tidak bisa menjadi kebanggaan sepenuhnya sebab ada relasi asimetris terhadap kepentingan investor.
Hal itu juga sudah mendapatkan perhatian dari Prabowo Subianto saat debat Pilpres kedua. Dalam debat tersebut, capres Prabowo Subianto mengkhawatirkan uang yang dihasilkan perusahaan unicorn asal Indonesia dilarikan ke luar negeri oleh investor atau pemodal.
Berdasarkan kondisi tersebut, meski masuknya investasi asing adalah hal yang penting karena menandakan kepercayaan pihak luar, akan tetapi dalam konteks perusahaan unicorn, hal ini membuat kepemilikan perusahaan itu berpotensi tak murni milik anak negeri. Pada titik ini, apakah unicorn-unicorn ini dapat menjadi sesuatu yang sepenuhnya dibanggakan?
Unikop, Konsep Menarik Sulit Eksekusi
Sementara itu, Sandi ingin membuat sistem ekonomi yang berasakan pada gotong royong. Rencana ini berawal dari ketika Cawapres 02 itu menyambangi Koperasi Srinadi di Desa Gelgel, Klungkung Bali. Kala itu, ia mengatakan akan membentuk Unikop, satuan unit koperasi dengan skala besar, seperti unicorn.
Menurut Sandi, koperasi di Klungkung bisa dijadikan contoh Unikop. Kata dia, Koperasi Srinadi merupakan koperasi terbesar di Bali yang beroperasi sejak tanggal 14 Januari 1985. Ada sebanyak lebih dari 12.600 anggota yang terdaftar dengan aset lebih dari Rp 200 miliar.
Rencana Sandi ini terbilang unik dan menarik, sebab ia memadukan antara ekonomi gotong royong dengan skema investasi. Bila koperasi dikelola dengan baik dan profesional maka akan menjadi kekuatan dahsyat untuk menggerakkan ekonomi Indonesia. Hal itu juga akan mewujudkan cita-cita Mohammad Hatta atau Bung Hatta dengan koperasi sebagai soko guru ekonomi Indonesia.
Hal itu bisa dikategorikan ke dalam sistem ekonomi campuran (mixed economy system). Stanley Hayman dalam The Theory of the Mixed Economy menyebut jika sebuah negara dapat memadukan konsep kapitalisme dan sosialisme pada sistem ekonominya.
Pada dasarnya hal ini berguna untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Banyak negara sudah menerapkan konsep ini, bahkan AS disebut juga turut menerapkan konsep seperti ini.
Selain itu, secara politik Sandi juga bisa mendapatkan keuntungan dari dibentuknya “konsep” Unikop itu sendiri. Sebab, secara waktu ia mengeluarkannya pada saat Pilpres di mana hal itu akan memiliki dampak terhadap elektabilitasnya.
Menurut Lucie Cerna dalam The Nature of Policy Change and Implementation, seorang politisi bisa memanfaatkan kapasitasnya untuk melakukan policy diffusion atau difusi kebijakan dengan kebijakan pemerintahan sebelumnya. Ada semacam langkah imitasi (imitation) dengan meniru sebuah kebijakan yang sebelumnya sudah ada dengan mengubah sedikit entah melalui nama atau konten kebijakan namun pada dasarnya hal tersebut tetap menyerupai.
Dalam hal ini, apa yang dilakuan oleh Sandi dengan membuat konsep unikop pada dasarnya sebuah difusi antara konsep kapitalisme dan sosialisme yang cocok bagi sitem di Indonesia. Selain itu, langkah imitasi ini seolah menidaklanjuti apa yang sebelumnya sudah dilakukan atau dihasilkan oleh pemerintahan Jokowi dengan perusahan unicorn.
Meskipun begitu, hingga saat ini belum ada penjelasan lebih lanjut oleh Sandi terkait dengan masa depan Unikop tersebut. Belum terlihat jelas bagaimana skema konkrit yang akan diterapkan oleh Sandi untuk membuat Unikop dengan nilai di atas Rp 1 triliun.
Masih banyak beragam pekerjaan rumah yang harus dibereskan mulai dari sumber daya manusia, tata kelola koperasi hingga sumber pendanaan. Sebab bagaimanapun untuk menuju unikop dengan valuasi di atas Rp 1 triliun perlu investasi yang tidak sedikit.
Apalagi saat ini masih sedikit koperasi yang memiliki valuasi miliaran rupiah. Artinya ada kendala terhadap pembiayaan untuk mencapai target 1 triliun. Oleh karena itu, perlu investasi besar untuk mewujudkannya. Pada titik ini, apakah investasi tersebut juga akan mengandalkan investasi asing? Menarik ditunggu. (A37)
Unikop bisa menjadi langkah menjanjikan jika dikelola secara serius. Share on X