Site icon PinterPolitik.com

Uni Eropa Mengeruyuk ke Prabowo?

Foto: Merdeka.com

Kunjungan 23 Duta Besar negara-negara Uni Eropa ke markas Prabowo-Sandi mendapatkan perhatian publik. Apakah sebuah dukungan politik?


PinterPolitik.com 

[dropcap]P[/dropcap]emilihan Presiden (Pilpres) tidak hanya menarik bagi masyarakat atau kelompok kepentingan domestik di sebuah negara saja. Pilpres nyatanya memantik rasa penasaran dari negara-negara asing untuk mengetahui lebih jauh kondisi suatu negara tersebut.

Hal itu terjadi ketika rombongan Duta Besar (Dubes) dari negara-negara Uni Eropa menyambangi markas Prabowo-Sandi beberapa waktu lalu yang dipimpin oleh Dubes Uni Eropa, Vincent Guérend.

Beberapa Dubes yang hadir di antaranya adalah dari Rumania, Inggris, Slovakia, Belanda, Italia, Denmark, Hungaria, Belgia, Spanyol, Swedia, Republik Ceko, Prancis, Portugal, Jerman, Finlandia dan Republik Irlandia.

Sejumlah isu dibahas, termasuk tentang ekonomi hingga isu kebocoran Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang sempat heboh beberapa waktu lalu. Selain itu juga dibahas isu reformasi pajak hingga keterbukaan bagi dunia bisnis dan investasi.

Memang, kunjungan ini tidak berhenti di kubu Prabowo-Sandi saja. Pasalnya di lain waktu para Dubes dari  negara-negara tersebut juga berencana akan bertemu dengan kubu Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin. Demikian yang ditulis oleh Guérend dalam akun Twitternya.

Namun, persoalan ini tentu saja menjadi perbincangan yang cukup menarik. Apalagi, diketahui bahwa Pilpres kerap kali disebut-sebut melibatkan peran asing, baik itu hanya sekedar dukungan politik, maupun peran intervensi langsung dari negara tertentu.

Kunjungan serupa nyatanya pernah terjadi pada Pilpres 2014 lalu, ketika Jokowi bertemu dengan Dubes Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia, Robert O. Blake bersama dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Berbagai pihak menyebut pertemuan itu sarat kepentingan, baik bagi Jokowi dalam konteks Pilpres, maupun AS sendiri.

Oleh karena itu, kedatangan para Dubes tersebut tidak bisa dipandang sebagai kunjungan biasa. Apalagi, Uni Eropa memiliki hubungan perdagangan dan investasi yang cukup penting di Indonesia.

Ada apa di balik kedatangan Dubes Uni Eropa ke markas Prabowo-Sandi ya? Share on X

Resistensi Jokowi-Uni Eropa?

Hubungan Indonesia dengan negara-negara Eropa memiliki pertalian yang cukup erat yang ditandai dengan beragam kesepakatan kerja sama yang terjalin, terutama dalam bidang perdagangan.

Total perdagangan antara Indonesia dengan Uni Eropa pada 2015 mencapai US$ 26,1 miliar (Rp 371 triliun). Jumlah tersebut sedikit turun pada 2017 menjadi US$ 25,2 miliar. Indonesia mencatatkan total ekspor ke Uni Eropa sebesar US$ 14,8 miliar (Rp 210 triliun) pada 2015, turun menjadi US$ 14,5 miliar pada 2017. Sementara, nilai impor dari Uni Eropa sebesar US$ 11,3 miliar (Rp 160 triliun) pada 2015, dan turun menjadi US$ 10,7 miliar di 2015.

Sementara, total aliran investasi (direct investment flow) Uni Eropa ke Indonesia dalam 10 tahun terakhir (2005-2015) mencapai US$ 9,8 miliar (Rp 139 triliun) yang terfokus di sektor-sektor konstruksi, transportasi, pangan, perkebunan, dan pertambangan. Pada tahun 2016 ada  sekitar 2.813 proyek yang dibiayai oleh investasi dari negara-negara di kawasan ini.

Duta Besar Uni Eropa bersama BPN Prabowo-Sandi. (Foto: Kabar24)

Nilai-nilai tersebut menempatkan Uni Eropa di belakang Tiongkok dan AS dalam hubungannya dengan Indonesia. Artinya, bahwa Indonesia dan Uni Eropa memiliki hubungan yang cukup strategis.

Bahkan Ketua Komite Urusan Luar Negeri Parlemen Eropa, David McAllister pernah menulis bahwa Indonesia merupakan kunci atau gerbang bagi Uni Eropa untuk masuk ke dalam pasar ASEAN yang lebih luas.

Namun sayang, pentingnya posisi tawar Uni Eropa itu masih dibayangi hambatan karena beberapa hal. Masalah minyak sawit dan kedekatan Indonesia dengan Tiongkok adalah beberapa di antaranya.

Banyak pengamat dan analis yang memandang Tiongkok telah melakukan ekspansi ekonomi dan pengaruh yang luar biasa. Ambisinya menjadi the world number 1 atau yang utama di dunia membuat khawatir aktor-aktor internasional besar lainnya, termasuk Uni Eropa.

Tiongkok dengan kebijakan One Belt One Road (OBOR) telah menjamah 120 negara. Dalam hal ini, Indonesia menjadi salah satu sasaran negeri Tirai Bambu tersebut. Bahkan Jeffrey Hutton dalam tulisannya di South China Morning Post (SCMP) menyebut Jokowi “tersandera” dalam konteks hubungannya dengan Tiongkok.

Seperti diketahui, banyak proyek di Indonesia yang dibiayai oleh pinjaman dari Tiongkok. Proyek pengerjaan infrastruktur Jokowi dengan nilai Rp 4.700 triliun banyak melibatkan investasi dari negara tersebut.

Negeri panda itu juga menjadi investor terbesar keempat dengan nilai US$ 700 juta (Rp 9,9 triliun) pada kuartal pertama (Q1) 2018. Posisi ini menempatkan Tiongkok di belakang Singapura, Jepang dan Korea Selatan. Meski masih di posisi keempat, namun bukan mustahil jika Tiongkok bisa merangsek naik dengan segala proyek yang tengah ditawarkan oleh pemerintah.

Pada titik ini, Uni Eropa – yang mulanya dianggap sebagai aktor terbesar setelah AS – patut khawatir akan kedekatan Tiongkok dengan Indonesia. Jokowi yang dianggap memiliki kedekatan dengan Presiden Tiongkok, Xi Jinping juga mau tidak mau harus diwaspadai oleh para pemangku kebijakan di Eropa.

Turunnya nilai perdagangan antara Indonesia dengan Uni Eropa antara tahun 2015 hingga 2017 – seperti disinggung sebelumnya – sangat mungkin juga terjadi akibat peningkatan hubungan dengan Tiongkok.

Selain itu, permasalahan antara Uni Eropa dengan pemerintah Indonesia saat ini adalah terkait kebijakan perdagangan – khususnya sawit – dan investasi.

Indonesia adalah produsen sawit terbesar di dunia, dengan total produksi minyak sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO) mencapai 38,17  juta ton pada 2017. Sekitar 5,1 juta ton (17,85 persen) dari produksi CPO tersebut diekspor ke Uni Eropa dengan total nilai mencapai US$ 3,6 miliar atau sekitar Rp 48,1 triliun pada tahun yang sama.

Namun, pada Januari 2018 Parlemen Eropa menetapkan larangan impor minyak sawit ke kawasan Uni Eropa mulai tahun 2020. Kondisi ini menyebabkan hubungan Indonesia dengan Uni Eropa sempat menegang.

Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla (JK) sempat meminta Uni Eropa untuk tidak melakukan diskriminasi terhadap minyak sawit. Bahkan JK mengisyaratkan untuk membalas perlakuan itu dengan membatasi pembelian pesawat buatan produsen asal Prancis, Airbus.

Polemik sawit ini mendapat komentar dari jurnalis Asia Times, John McBeth. Ia menulis kondisi ini mengakibatkan perang dagang antara Indonesia dengan Uni Eropa.

Selain itu, perjanjian Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) antara Indonesia dan Uni Eropa yang digagas pada 2016 dan ditargetkan akan selesai secara substansial pada 2019, masih melahirkan tarik ulur kepentingan.

Semula, kebijakan yang mencakup segala aspek ekonomi – dari perdagangan hingga investasi – itu dianggap sebagai terobosan penting guna, terutama bagi Indonesia. Namun, hingga memasuki putaran keenam, beberapa pemerhati ekonomi menyebutkan bahwa kesepakatan ini berpotensi menabrak perundang-undangan yang sudah ada di Indonesia, misalnya terkait dengan perlindungan investasi asing.

Berdasarkan permasalahan tersebut, bisa disimpulkan ada sedikit gesekan yang terjadi antara Uni Eropa dengan pemerintahan Indoensia saat ini. Mungkin hal-hal itulah yang membuat mereka merasa penting untuk memperhatikan siapa presiden negara ini selanjutnya.

Dukungan kepada Prabowo?

Dubes memiliki tugas penting di negara tempat mereka ditugaskan. Mereka adalah kepanjangan tangan dari pemerintahannya, bahkan bisa menjadi representasi kepala negara mereka.

Kehadiran mereka saat musim Pilpres juga bisa menjadi dukungan halus (endorsement) atau dukungan terbuka (open statement) terhadap salah satu figur kandidat.

Penelitian Dov H. Levin yang berjudul When the Great Power Gets a Vote: The Effects of Great Power Electoral Interventions on Election Results menyebutkan bahwa dari 938 pemilihan pemimpin negara-negara di seluruh dunia antara tahun 1946-2000, sekitar 117 di antaranya melibatkan peran asing dengan AS dan Rusia sebagai dua negara terbesar di belakangnya. Sekalipun konteks peran AS dan Rusia tersebut adalah ejahwanta dari situasi Perang Dingin, namun bisa dipastikan bahwa peran negara asing besar dalam Pemilu sebuah negara.

Negara-negara tersebut akan tanamkan dukungan dan pengaruh baik kepada figur maupun arah kebijakannya.

Lalu bagaimana dengan Uni Eropa? Tentu saja terlalu jauh untuk menyebut Uni Eropa ingin mengintervensi Pilpres 2019 nanti. Namun, Uni Eropa setidaknya memiliki maksud kuat agar kepentingan mereka berjalan dengan baik.

Bukan tanpa alasan, sebagai salah satu mitra dagang Indonesia, Uni Eropa tentu harus memastikan kepemimpinan Indonesia mendatang bisa sesuai dengan kepentingan mereka, misalnya terkait dengan liberalisasi perdagangan dan investasi yang termuat dalam CEPA.

Dengan demikian, sangat mungkin pertemuan dengan kubu Prabowo-Sandi ini juga dimaksudkan untuk mengetahui visi sang jenderal terhadap hubungan antara dua belah pihak. Prabowo, sebagaimana yang tercantum dalam visi-misinya di bidang ekonomi bisa jadi lebih menguntungkan Uni Eropa. Namun, hal itu masih perlu dibuktikan, apalagi sang jenderal kerap sesumbar untuk menyetop keran liberalisasi ekonomi.

Apa pun itu, Uni Eropa tetap akan menjalankan kebijakan-kebijakan luar negerinya. Masalah potensi dukungan rasanya akan bergantung pada kebijakan siapa yang lebih akomodatif. Apalagi para Dubes tersebut juga berencana melakukan kunjungan yang sama terhadap kubu Jokowi-Ma’ruf.

Kuatnya pengaruh Tiongkok dan produksi minyak kelapa sawit akan tetap menjadi isu besar, baik di bawah komando Jokowi maupun Prabowo. Yang jelas, apakah kunjungan ini hanya sekedar pertemuan biasa atau dukungan politik, biarkan waktu yang menjawab. (A37).

*****

Judul artikel mengalami perubahan pada 22 Januari 2019 pukul 10:54, dari semula “Uni Eropa Tak Suka Jokowi?”

Exit mobile version