Wali Kota Solo yang juga putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampaknya telah memiliki relevansi politik di level nasional, khususnya setelah bertemu dengan calon presiden (capres) Anies Baswedan. Agaknya, pertemuan itu mengindikasikan satu hal positif bagi karier Gibran di PDIP kelak. Mengapa demikian?
Hotel Novotel Solo kemarin lusa menjadi saksi pertemuan menarik antara mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dengan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka.
Dikatakan menarik karena Anies selama ini jamak dinilai menjadi antitesis pemerintahan di bawah kepemimpinan ayah Gibran, Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Akan tetapi, pertemuan sendiri berjalan cair sebagaimana tergambar dari sejumlah foto dan video tangkapan awak media.
Bahkan, Gibran mengunggah foto kehangatan makan paginya kala itu bersama Anies di akun Twitter pribadinya dan menyandingkannya dengan foto viral lain, yakni Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri yang satu meja dengan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di salah satu rangkaian acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Bali kemarin.
Meski sekilas hanya terkesan normatif karena agenda utama Anies di Solo adalah acara Haul Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi yang tampak membawa misi politik untuk kepentingan politik 2024, tetap saja pertemuan itu memantik berbagai tafsir.
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul Jamiluddin Ritonga, misalnya, menyebut temu dua tokoh itu sebagai sinyal Anies untuk menyatakan hubungan dengan keluarga Jokowi baik-baik saja.
Sedikit berbeda, peneliti Indikator Politik Indonesia Bawono Kumoro mengatakan Presiden Jokowi dinilai telah mengetahui rencana pertemuan Gibran dengan Anies. Bawono menyebut sangat mungkin dalam pertemuan ini Gibran membawa pesan dari RI-1 kepada Anies.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute (IPI) Karyono Wibowo mengatakan tak ada yang istimewa dari pertemuan itu. Bahkan, dia menilai lawatan Anies hanya sekadar gimmick politik, tidak ada hal substansi yang dibahas, dan tidak ada komitmen politik yang ingin dicapai.
Jika diperhatikan, “lampu pentas” seolah hanya tersorot kepada Anies pasca pertemuannya dengan Gibran. Padahal, Gibran agaknya memiliki signifikansi politik terpendam yang membuatnya telah bertemu sejumlah nama tenar seperti Prabowo Subianto hingga Airlangga Hartarto.
Signifikansi itu bukan tidak mungkin akan membuat Gibran bertransformasi menjadi elite PDIP yang mampu membuat keputusan strategis di kemudian hari. Benarkah demikian?
Tabungan Politik Gibran?
Dalam interaksi politik, asas resiprokal kiranya selalu menjadi esensi yang ingin dicapai oleh setiap aktor. Tidak terkecuali dalam konteks jamuan Gibran kepada Anies.
Untuk menganalisisnya, pendekatan political behavior (perilaku politik) para aktor kiranya dapat dijadikan pintu masuk pertama, khususnya yang berfokus pada Gibran.
Robert D Putnam dalam sebuah publikasi berjudul Making Democracy Work menyebut bahwa relasi merupakan salah satu bentuk modal sosial yang dapat mefasilitasi koordinasi dan kerja sama untuk keuntungan bersama.
Putnam menganalisis perbedaan fungsional dalam modal sosial ke dalam dua kategori, yaitu modal mengikat (bonding capital) dan modal penghubung (bridging capital).
Dalam konteks pertemuan di Solo, relasi baik dengan Anies kiranya juga bisa saja menjadi modal penghubung ke sentimen positif khalayak yang lebih positif terhadap Gibran. Terlebih, Gibran memberikan kesan penghargaan meski Anies kerap disebut sebagai antitesis sang ayah serta PDIP yang merupakan kendaraan politiknya.
Tidak hanya pertemuannya dengan Anies, pertemuannya dengan Prabowo dan Airlangga dalam kesempatan sebelumnya juga kiranya dapat menjadi ajang “pencitraan politik 4.0” bagi Gibran. Mengapa demikian?
Sebagai aktor politik praktis, Gibran tentu membutuhkan citra sebaik mungkin demi jejak kariernya ke depan.
Pakar komunikasi politik Irving J. Rein serta Philip Kotler mengatakan politik adalah sebuah profesi di mana pembentukan dan transformasi citra adalah hal yang mendominasi.
Bahkan, dalam sebuah proses politik, bukan program kerja yang dilihat pemilih, tetapi citra yang relevan dan representatif.
Dengan memberikan sambutan hangat kepada elite politik nasional, Gibran agaknya sedang mempraktikkan pencitraan baru sebagai seorang newbie yang begitu rendah hati.
Meskipun tak dapat dipungkiri bahwa privilese sebagai anak RI-1 turut andil, gestur yang diberikan Gibran selama jamuan tiga tokoh nasional plus riwayat kinerjanya selama ini di Solo seolah tampak begitu berbeda di banding kepala daerah maupun politisi muda lainnya.
Gebrakan Gibran juga seolah relevan dengan ekspektasi masyarakat, paling tidak di wilayah Solo.
Mencopot paksa masker Paspampres yang menganiaya warga Solo, misalnya, Gibran seolah menggambarkan pembelaan sekaligus menjawab keresahan wong cilik belakangan ini terhadap represi oknum aparat – meski tetap menuai kritik.
Di ranah pembangunan manusia, Gibran juga mengaktualisasikan sport tourism dalam bingkai technopark Solo dengan mengolaborasikan generasi Milenial dan Gen Z bersama pihak swasta/startup.
Selain itu, masih terkait dengan citra, sambutan hangatnya kepada Anies juga seakan menjadi bagian dari konstruksi Gibran yang tak anti dengan “so-called” rival politik.
Sebelum menjamu Anies, Gibran diketahui juga berinisiatif menyambangi kritikus ulung pemerintah Presiden Jokowi plus yang juga pernah mengkritik keterlibatannya di Pilkada Solo, yakni Rocky Gerung pada medio September lalu.
Selain itu, Gibran juga sempat meluangkan waktu untuk menjamu satu-satunya partai politik (parpol) yang tak mengusungnya di Pilkada Solo, yaitu PKS (anggota Fraksi PKS DPRD Solo dan pengurus DPD PKS Solo) di Rumah Dinas Wali Kota Solo Loji Gandrung pada 14 September.
Ya, Gibran tampaknya ingin meninggalkan citra positif semaksimal mungkin dan seperti mengemas ulang strategi sang ayah yang selama ini begitu meninggalkan kesan “merangkul lawan dan memeluk kawan demi menghindari musuh politik dalam selimut”.
Akan tetapi, apakah “pencitraan politik 4.0” Gibran dapat berarti banyak bagi karier politiknya?
Hanya Sementara?
Salah satu aspek yang dapat menjawab itu tak lain adalah tergantung pada kepiawaian Gibran beradaptasi dan mengelola kemampuan politik dan citranya.
Dalam konteks itu, teori tabir asap atau smoke screen theory agaknya harus benar-benar dikuasai Gibran, utamanya yang terkait dengan impresi, baik di hadapan pemilih, sesama aktor politik, hingga rival politik.
Itu agaknya cukup penting mengingat naiknya Gibran ke tampuk Solo-1 diiringi berbagai isu minor seperti inkonsistensi ambisi politik, kepentingan politik keluarga, hingga politikus yang lahir dari sendok perak atau silver spoon karena merupakan anak presiden yang sedang berkuasa.
Jika berhasil mengelola itu dan konsisten memiliki jabatan sekaligus legitimasi politik, karier yang mulai dirintisnya sejak dini saat ini bukan tidak mungkin akan membuat Gibran menjelma menjadi elite PDIP kelak.
Itu dikarenakan, cukup sulit untuk menyebutkan nama politisi muda PDIP yang aspek kepopulerannya menyamai Gibran. Sisanya, kakak kandung Kaesang Pangarep itu belum terlihat memiliki dan membina koneksi dengan militer dan instrumen politik kekuasaan lain.
Akan tetapi, kemungkinan berhadapan dengan jalan terjal tetap ada bagi karier politik Gibran. Bertemunya ia oleh elite nasional seperti Prabowo, Airlangga, hingga Anies dianggap hanya sebatas dalam konteks “perantara restu” karena sang ayah masih menjabat sebagai RI-1.
Itu berarti, relevansi Gibran di kancah politik, termasuk di internal PDIP, bisa saja redup setelah Jokowi turun takhta. Dengan kata lain, karier politiknya kelak seolah masih samar. Apakah akan secerah interpretasi sebelumnya atau justru sebaliknya? (J61)