Tahun politik, bukan hanya politisi saja yang was-was, pemuka agama pun juga. Selain biksu dan pendeta, ulama juga ikut diserang. Mengapa?
PinterPolitik.com
[dropcap]K[/dropcap]H Umar Basri tak curiga sedikit pun saat lampu masjid dimatikan. Ia tetap melanjutkan wirid yang biasa dilakukannya selepas subuh, di masjid yang berjarak tak jauh dari kediamannya.
Tapi siapa sangka hujan bogem mentah mendarat di wajah dan tubuh pria berusia 60 itu setelahnya. Dalam keadaan bingung, takut, dan kesakitan, ia mendengar pelaku berteriak dalam bahasa Sunda jika semua yang berada di masjid akan masuk neraka, tak terkecuali dirinya.
Selepas penganiyaan tersebut, KH Umar Basri mendapati dirinya di Rumah Sakit Al Islam, Bandung, dan pelaku sudah berhasil dibekuk. Tim kepolisian dan psikolog yang bergabung di dalamnya, berkata jika pelaku memang punya gangguan mental berjenis skizofrenia sejak usia 25 tahun.
Kasus yang menimpa KH Umar Basri adalah satu dari beberapa penyerangan yang terjadi kepada pemuka agama di Indonesia. Minggu lalu, seorang pemuda bahkan menyerang pastur menggunakan samurai di Gereja Lidwina Bedog, Sleman, Yogyakarta.
Beberapa hari sebelumnya, persekusi terhadap seorang biksu juga terjadi di daerah Tangerang. Biksu bernama Mulyanto Nurhalim tersebut diancam oleh warga agar pergi dari kediamannya karena menggelar ibadah di rumahnya.
Penganiayaan yang terjadi pada pemuka agama ini, terutama yang beragama Islam, memancing keprihatinan Habib Rizieq Shihab (HRS). Melalui mulut Dailami Firdaus, yang juga anggota DPR, HRS menyampaikan, “Beliau (HRS) prihatin terhadap kasus-kasus penyerangan ulama dan mubaligh yang terjadi akhir-akhir ini,” ujar Dailami.
Jika berangkat dari keprihatinan HRS tersebut, kira-kira apa di balik serangan ulama yang terjadi belakangan ini? Apakah ada unsur politis di belakangnya? mengapa pula ulama diserang di negara mayoritas beragama Islam?
Siapa Lagi yang Diserang?
Penyerangan ulama atau pemuka agama Islam di negara bermayoritas Islam dan di tahun politik pula, menjadi unik untuk ditelisik lebih jauh. Jika hendak mengambil kasus yang terjadi, yakni kasus yang terjadi pada KH Umar Basri dan Ustadz Prawoto (alm), terdapat pola-pola yang sama pada kasus keduanya, yakni sama-sama terjadi di Bandung, Jawa Barat, setelah subuh, dan kedua pelaku penganiayaan dinyatakan mengalami gangguan jiwa oleh kepolisian.
Kasus yang menimpa Ustad Prawoto (alm) tak kalah mengiris hati. Ia diserang secara brutal oleh tetangganya sendiri dengan linggis, di pekarangan rumahnya. Tak hanya luka, dia juga mengalami patah tangan kiri karena pukulan benda tajam. Anggota brigade organisasi Persatuan Islam (Persis) tersebut, menemui ajal tak jauh dari rumahnya.
Pelaku penganiayaan Ustadz Prawoto (alm), digambarkan memakai baju bermotif banteng berwarna merah. Oleh beberapa pihak, hal tersebut dikaitkan dengan PDIP, partai politik berlambang banteng berwarna merah. Pelaku pembunuhan Ustadz Prawoto (alm) juga dikabarkan merengek meminta pertolongan Presiden Jokowi saat dijatuhi hukuman.
Identitas merah dan banteng, serta nama Jokowi, sepertinya sengaja diungkap pelaku untuk memunculkan keterhubungan dengan Jokowi dan PDIP dibalik penganiayaan ini. Suara lain juga menghembuskan teori bahwa ideologi Persis yang berseberangan dengan organisasi NU di Bandung, merupakan pemicu penganiayaan. Namun begitu, kepolisian setempat masih mantap berpegang pada praduga bila pelaku punya kelainan jiwa.
Sementara pada tragedi yang menimpa KH Umar Basri, Setara Institute membuka suara bila kekerasan yang terjadi pada pemimpin Pondok Pesantren Al Hidayah tersebut diakibatkan karena paham dan ideologi agama yang berbeda. Ini dirunutnya dari teriakan pelaku saat menghujani korban dengan tonjokan.
Walau sudah ada pernyataan yang dikemukakan oleh lembaga ahli, spekulasi tak serta merta berhenti. Masih banyak yang mengaitkannya dengan kegiatan politik tahun ini. Hal ini bisa saja dibensini oleh Al Khathath yang pada awal Januari lalu berkata akan menerapkan pola kemenangan Pilkada DKI Jakarta di provinsi lainnya. “Pesan Habib Rizieq ketika saya pergi ke Mekah, meminta kepada tiga pimpinan partai supaya meng-copas (copy-paste) yang ada di Jakarta supaya mendapatkan kemenangan di provinsi-provinsi lain,” jelasnya.
Seperti yang diketahui, Pilkada DKI Jakarta banyak menggunakan simbol dan identitas agama guna meraih kemenangan. Pola yang berhasil membuat demarkasi lebar antara kelompok ‘cebongers’ atau ‘bani Ahok’ dengan ‘kaum bumi datar’ ini, bahkan bisa dikatakan memanipulasi Islam untuk kepentingan politik praktis.
Jika dugaan tersebut ada benarnya, maka hal yang patut dilakukan adalah terus mewaspadai kekerasan dengan melibatkan agama. Isu ini secara serampangan bisa dipelintir atau untuk mengadu domba demi memunculkan kesan kalau Islam sedang diserang, dan pemerintah tak mempedulikan kelompok ulama.
Data ini keren untuk membuktikan kalau tiap ada pilkada dan pilpres mendadak banyak konflik yang modus, pola dan tujuannya mirip. Isu serangan ke ulama itu dibuat untuk merugikan Jokowi dan untungkan lawan politik. Bentar lg ada yang mengeruk untung https://t.co/PCUMIzu5H8
— IG: ulinyusron (@ulinyusron) February 13, 2018
Korban (Ulama) Lain Berjatuhan
Selain KH Umar Basri dan Ustadz Prawoto, pemuka agama Islam yang diserang lainnya berada di Jakarta Barat dan Jawa Timur. Mereka adalah Ustadz Abdul Basit dari Palmerah, Jakarta Barat dan Ustadz Moh Idris Jauhari dari Sampang, Madura, Jawa Timur.
Ustadz Abdul Basit, menurut pengakuan istrinya, diserang oleh tiga pemuda tak dikenal hingga babak belur. Kepolisian memberi keterangan jika apa yang terjadi pada Ustadz Abdul Basit adalah murni kriminalitas. Berbeda dengan dua kasus sebelumnya, para pelaku tak divonis mengalami gangguan jiwa.
Data mengenai pelaku yang bisa diketahui hanyalah, ketiganya baru beranjak dewasa. Para pelaku tersinggung karena ditegur oleh sang ustadz gara-gara kerap nongkrong di depan tokonya. Mereka tak terima dan menganiaya Ustadz Abdul Basit. Dari keterangan yang ada, kekerasan yang menimpa Ustadz Abdul Basit memang murni kriminalitas tanpa bumbu politis.
Sementara yang terjadi dengan Ustad Moh Idris di Sampang, Madura, lebih rumit. Pembunuhan yang terjadi di akhir 2017 ini, sangat kental dengan aroma politis di belakangnya. Walau pengakuan keluarga dan ulama setempat menyatakan Ustadz Moh Idris tidak terlibat politik, tetapi beberapa tahun belakangan ia sangat menentang otoritas militer dan pemerintah setempat terkait polemik pembebasan lahan di Sampang.
Walau tidak secara langsung, namun sebenarnya tentangan Ustadz Moh Idris ini bisa dikatakan bersifat politis. Sebab pembebasan lahan tersebut berhubungan dengan pembangunan Waduk Nepa yang diresmikan oleh Jokowi pada 2016 lalu. Sejak 1993, pembangunan Waduk Nepa sudah mendapat penolakan dari warga setempat, mulai dari kalangan kiai hingga petani. Pembangunannya pun dilindungi oleh aparat keamanan dari militer hingga kepolisian.
Seperti yang disampaikan oleh anak kandung Ustadz Moh Idris, wilayah yang dibangun sebagai waduk tersebut tak hanya bernilai ekonomis tetapi juga kultural. Tanah tersebut dianggap sebagai pusaka, peninggalan leluhur yang harus dijaga dan dipertahankan. Sejauh ini, ayahnya adalah korban jiwa kelima yang jatuh karena kasus perebutan lahan antara negara dengan sipil tersebut.
Dengan demikian, dari beberapa serangan yang terjadi pada pemuka agama Islam, yakni yang terjad pada KH Umar Basri, Ustadz Prawoto, Ustadz Abdul Basit, dan Ustadz Moh Idris, memang ada indikasi bercampur dengan masalah politik, ideologi, dan juga murni kriminalitas.
Lantas jika mengaitkan kekerasan dengan politik dan agama yang terjadi, bisakah mencari apa penyebabnya? Siapa pula yang bisa diuntungkan dari friksi tersebut?
Mencari Ujung Teror
Konflik yang disebabkan oleh agama, tentu tak hanya terjadi di Indonesia dan pada agama Islam saja. Hal dan pola serupa terjadi di negara dan agama lain. Monica Duffy Toft menyebut selama interseksi antara agama, politik lokal, serta modernisasi, demokratisasi, dan globalisasi terjadi, kekerasan pun akan terus ada.
Pergeseran zaman, akan membuat suara dan aktor agama menyelaraskan diri pada perkembangan yang ada. Dari sana perebutan suara tak terelakkan hingga kekerasan lahir. Friksi yang terjadi dalam lingkup lokal, akhirnya mengglobal karena menemui pola yang hampir serupa.
Kekerasan yang melibatkan agama dan politik tak bisa dipisahkan pula dari perebutan kekuatan politik, sumber ekonomi, rekognisi simbolik, hingga reproduksi kultural. Apa yang disebutkan oleh Roger Brubaker tersebut, dapat kembali dihubungkan untuk meneliti atau sekedar menebak siapa yang mendapat keuntungan secara politik, sosial, dan ekonomi dari adanya perselingkuhan agama dan politik.
Dalam kasus perebutan lahan Waduh Nepa yang terjadi pada Ustadz Moh Idris, pihak pemerintah, militer, serta kepolisian bisa mereguk untung dari kasus yang ada. Kekerasan tersebut hanya makin menguatkan posisi mereka secara simbolik sebagai pihak pemegang kuasa dengan jatuhnya korban, serta keuntungan ekonomi dari pembangunan waduk.
Cagub dan wacagub Jawa Barat, Uu dan Ridwan Kamil, serta Ahmad Syaikhu juga mendapat sorotan alias rekognisi simbolik karena mengunjungi KH Umar Basri di rumah sakit. Dari sana, selain memiliki intensi kepedulian, mereka mendapatkan citra pula sebagai pihak yang peduli pada pemuka agama Islam.
Selain kelompok politik tersebut, kelompok agama juga mendapat keuntungan. Dengan kekerasan yang terjadi, kelompok tersebut akan memiliki ‘dalih’ dan senjata untuk menerapkan norma atau standar keagamaan yang diimajinasikan oleh mereka demi melindungi pemuka agama Islam. (Berbagai Sumber/A27)