Dengan adanya berita Ukraina akan mendapatkan bantuan tank dan senjata dari Amerika Serikat (AS) dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), orang-orang fokus membicarakan probabilitas kemenangan Ukraina. Akan tetapi, mereka melupakan satu hal penting, yakni bagaimana Ukraina akan membayar bantuan yang selama ini didapatkannya?
Perang Rusia dan Ukraina sudah berlalu satu tahun lamanya. Hingga kini, belum tampak siapa yang akhirnya akan jadi pemenang. Beragam retorika seram telah dilontarkan kedua belah pihak agar dunia mengetahui bahwa dirinya lah yang memiliki keunggulan di konflik tersebut. Tentu, salah satunya adalah ancaman senjata nuklir yang kerap diisukan akan digunakan oleh Presiden Vladimir Putin.
Karena konflik tersebut sudah berlangsung cukup lama, sepertinya sebagian besar orang belakangan ini pun mulai melihat bahwa perang yang pada awalnya dipercaya akan jadi katalis dari Perang Dunia 3 ini hanya diisi oleh gertakan-gertakan yang mungkin sebagian besarnya tidak akan terjadi.
Terlepas dari itu, dinamika yang terjadi dalam peperangan ini juga semakin menunjukkan bahwa Rusia sepertinya tidak se-superior yang awal diperkirakan banyak orang. Ukraina yang telah menahan agresi Rusia tampak memiliki harapan dalam mempertahankan wilayahnya dari caplokan sang Beruang Putih.
Bahkan, kalau melihat perkembangannya, sepertinya wajar bila akhirnya orang-orang percaya bahwa Ukraina akan benar-benar sukses, ini diperkuat dengan kabar bahwa Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) akan mengirimkan lusinan tank-tank tempur canggihnya ke medan pertempuran di Eropa Timur sana.
Oleh karena itu, jika akhirnya tank-tank tersebut sampai dan digunakan oleh pasukannya Volodymyr Zelensky, bukan tidak mungkin kemenangan semakin berada dalam gapaian Ukraina.
Walau hal tersebut bisa saja benar, ada satu hal yang kerap dilupakan orang-orang namun memiliki makna yang penting untuk dibicarakan, yakni apa yang akan terjadi pada senjata dan alat tempur yang “dipinjam” Ukraina bila perangnya dengan Rusia berakhir nanti?
Dan sebagai informasi saja, hingga saat ini AS setidaknya sudah memberi bantuan ke Ukraina senilai US$50 miliar.
Berangkat dari situ, tentu AS dan kawan-kawan yang memberikan senjata pada Ukraina tidak memberinya secara sukarela, bukan? Jika demikian, maka akan seperti apa skenario yang terjadi kalau Ukraina memenangkan perang?
Bagaimanapun Ukraina Terjebak?
Publilius Syrus, penulis era Republik Romawi kuno, pernah mengatakan:
“Utang adalah perbudakan manusia bebas.”
Dan ya, negara kita sendiri mungkin pernah merasakan apa yang dikatakan Publilius ketika menanggung triliunan utang luar negeri akibat krisis moneter pada 1998 silam.
Lantas, apakah Ukraina akan memiliki nasib yang kurang lebih sama, bahkan jika mereka memenangkan peperangannya dengan Rusia? Atau justru berbeda, karena toh, yang dipinjamkan pada mereka adalah senjata untuk memperjuangkan “kemerdekaan”?
Well, sebelum menjawab itu, kita perlu pahami bersama terlebih dahulu tentang bagaimana cara kerja “kedermawanan” AS dalam membagi senjatanya ke Ukraina.
Pada tanggal 9 Mei 2022 silam, Putin dan seluruh warga Rusia merayakan Victory Day atau Hari Kemenangan, perayaan tersebut menandakan hari ketika pasukan Uni Soviet berhasil menumpak pasukan Nazi Jerman dan diktatornya, Adolf Hitler. Akan tetapi, seperti sebuah cemoohan, pada hari yang sama Presiden Joe Biden juga menandatangani Ukraine Democracy Defense Lend-Lease Act of 2022, yakni kesepatakan pinjaman sewa alutsista pada Ukraina melalui skema lend lease.
Pada dasarnya, skema lend lease ini adalah skema pinjaman sewa, yang artinya, apapun yang dipinjamkan suatu negara, berlaku layaknya sebuah barang yang disewa, yang pada akhirnya perlu dikembalikan, umumnya menggunakan uang. Tapi, spesifik AS, pinjaman alat perang dengan skema lend lease ini memiliki sejarahnya tersendiri.
Ketika Perang Dunia II meletus, Inggris dan Uni Soviet menjadi salah satu negara yang terancam secara langsung oleh agresi Hitler, oleh karena itu, mereka meminta tolong pada AS agar bisa memberikan sejumlah bantuan, mulai dari minyak, makanan, sampai perlengkapan perang, melalui skema lend lease yang serupa.
Menariknya, bantuan besar yang diberikan AS baru bisa dilunasi oleh Inggris dan Rusia pada tahun 2006, 61 tahun setelah kesepakatan lend lease.
Karena apa yang dijanjikan AS pada Ukraina melalui kesepakatan mereka terlihat serupa dengan yang dibuat AS dengan Inggris dan Uni Soviet, sejumlah pengamat mulai mencurigai bahwa kemungkinan besar Ukraina perlu melakukan pekerjaan yang cukup berat untuk membayar “kebaikan” dari AS dan beberapa negara NATO.
Julian McBride dalam tulisannya Ukraine War: Dispelling Popular Lend-Lease Myths di laman Geopolitical Monitor, mengacu pada isi dari kesepakatan lend lease AS-Ukraina, menyebutkan bahwa jika memang kesepakatan itu mengacu pada apa yang pernah dilakukan oleh AS pada Perang Dunia II, maka mutlak Ukraina harus membayar kembali apa yang telah diberikan Paman Sam, baik dalam bentuk uang atau melalui penggunaan kontraktor AS dalam membantu “merekonstruksi” negara.
Kalau kita mengacu kembali pada apa yang dilakukan Inggris pada AS, selain mengembalikannya dalam bentuk uang, “donasi” 50 kapal tempur yang diberikan AS pada Perang Dunia II dahulu juga dibayar dalam bentuk izin mendirikan pangkalan militer AS di sejumlah wilayah Inggris. Intinya, segala hal bisa diwujudkan asal hasil akhirnya dapat dialihkan kembali ke perekonomian dan kepentingan AS.
Jika basis cara kerja lend lease antara AS dan Ukraina memang demikian, maka setidaknya akan ada dua skenario upah yang akan diminta AS. Pertama, jika Kongres merasa dirugikan karena uang yang mereka berikan ke Ukraina harusnya digunakan untuk rakyat AS sendiri, maka AS akan ciptakan skema utang finansial yang akhirnya membuat Ukraina terikat untuk mengembalikan dalam bentuk uang.
Kedua, jika dorongan untuk menangkal ancaman Rusia dan Tiongkok lebih kuat, maka AS akan mendorong Ukraina untuk memberikan izin pada AS dan kawan-kawan agar mereka bisa memperluas pengaruhnya di Eropa Timur. Karena, seperti apa yang dikatakan David Vine dalam bukunya Base Nation, salah satu tujuan utama dari skema lend lease adalah bukan untuk mendapatkan keuntungan finansial, tetapi untuk memperluas pengaruh AS di seluruh penjuru dunia.
Bila ditodong untuk menentukan skema mana yang akan terjadi, maka jika melihat situasi sekarang, tampaknya skenario kedua lebih mudah untuk diwujudkan, karena bagaimanapun juga, kalah ataupun menang, potensi ekonomi Ukraina akan berada dalam kondisi yang sangat tidak pasti.
Lantas, kalau memang seperti itu, bagaimana dampaknya pada situasi geopolitik global?
Konflik Besar Depan Mata?
Ada sebuah pepatah tua mengenai peperangan:
“Perang tidak pernah berhenti, perdamaian hanya perhentian sementara.”
Secara objektif, mungkin kalimat tersebut tidak sepenuhnya salah. Melihat kembali sejarah, kita bisa sadari sendiri bagaimana api peninggalan Perang Dunia I menjadi percikan yang menyulut Perang Dunia II, dan setelah itu menjadi bibit dari Perang Dingin.
Terkait apa yang akan terjadi di masa depan paska perang di Ukraina selesai, seperti yang disebutkan dalam artikel PinterPolitik berjudul Kita Lupa Putin Begitu Berbahaya?, kalau Rusia akhirnya memang dikalahkan oleh Ukraina yang mendapat bantuan dari AS dan negara-negara NATO, maka hampir bisa dipastikan perang yang meletus pada 24 Februari silam hanya akan menjadi pemantik dari sebuah konflik yang lebih besar.
Kita tidak boleh lupa bahwa Putin dan Rusia adalah negara dengan senjata nuklir terbanyak di dunia, bahkan melebihi dari apa yang dimiliki oleh AS. Dengan pamor yang seperti itu, tidak mengada-ngada bila Putin akhirnya nekat menjadikan kekuatan terbesar negaranya sebagai semacam last resort untuk mempertahankan harga diri Rusia dari tekanan negara Barat yang tampak semakin tidak terbendung.
Apalagi kalau terbukti bahwa kemenangan Ukraina hanya akan dijadikan alasan oleh AS dan NATO untuk memperkuat eksistensinya di Eropa Timur. Bahkan untuk sekarang saja, dengan perang yang belum selesai, NATO sudah gencar menarasikan Rusia dan Tiongkok sebagai ancaman besar bagi perdamaian.
Narasi semacam ini tentu tidak akan hilang begitu saja ketika perang Rusia dan Ukraina selesai nanti.
Kalau skenario seperti itu memang terjadi, maka ini jadi bukti tambahan bahwa Ukraina dan negara-negara lainnya yang tidak memiliki pengaruh besar di panggung internasional hanya berlaku layaknya boneka proksi semata dari para negara besar, yang semakin terlihat berani dalam memainkan geopolitik global.
Kita harap saja, Indonesia dan negara-negara tetangganya tidak tersulut oleh pengkubuan para penguasa dunia dan bisa mempertahankan diri bila akhirnya memang narasi politik internasional mulai mengacak-acak perdamaian kawasan. (D74)