Site icon PinterPolitik.com

Uji Emisi Melawan Cengkeraman Jepang

Uji Emisi Melawan Cengkeraman Jepang

Foto: CNN Indonesia

Uji emisi dianggap bukanlah alternatif pengendalian polusi. Pengendalian kendaraan bermotor di Indonesia akan terbentur dengan kebijakan produsen otomotif paling dominan, yaitu Jepang. Mampukah pemerintah mengambil kebijakan pengendalian polusi, dengan cara memperkecil ruang bagi industri otomotif? Ataukah, tetap pada kebijakan uji emisi yang dianggap setengah hati?


PinterPolitik.com

Polemik uji emisi di ibu kota menjadi perbincangan yang  kita temui dalam pekan-pekan ini.  Uji emisi merupakan hal baru yang diperkenalkan oleh pemerintah terkait dengan pengecekan kondisi kendaraan. Setiap kendaraan perlu melakukan uji emisi untuk mengetahui tingkat kesehatan mesin dan performanya.

Kendaraan diwajibkan uji emisi, merujuk Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 66 Tahun 2020 tentang Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor. Uji emisi gas buang kendaraan bermotor ditargetkan pada mobil penumpang perseorangan dan sepeda motor usia lebih dari tiga tahun yang beroperasi di Jakarta.

Pengujian ini perlu dilakukan karena memberikan dampak besar bagi lingkungan hidup, terutama pengendalian polusi udara yang saat ini menjadi persoalan serius. Disebut serius karena polusi udara tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tapi juga melanggar hak konstitusional warga negara, yaitu hak untuk hidup di alam yang sehat.

Penyakit yang diakibatkan dampak polusi udara ialah gangguan pernapasan, seperti infeksi saluran pernapasan atas, iritasi mata, penyakit akibat gangguan jantung dan pembuluh darah, penurunan sistem kekebalan tubuh, dan dapat menyebabkan kanker apabila terpapar dalam jangka panjang.

Baca Juga: Pemerintahan Jokowi ‘Disusupi’ Jepang?

Berdasarkan catatan Dinas Lingkungan Hidup DKI, sumber polusi di antaranya transportasi darat 75 persen, pembangkit listrik dan pemanas 9 persen, pembakaran industri 8 persen, serta pembakaran domestik 8 persen. Dengan demikian, mengatasi secara menyeluruh persoalan terkait dengan transportasi darat diharapkan mampu mengatasi polusi udara.

Uji emisi diharapkan menjadi kebijakan untuk menjawab persoalan pengendalian polusi udara. Namun terdapat pandangan lain yang melihat kebijakan uji emisi bukanlah solusi yang efektif.

Teguh Nugroho, Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta, mengatakan kebijakan uji emisi yang baik ini tidak serta merta membawa perubahan terhadap jumlah volume kendaraan di Jakarta. Sebab, arahnya, masyarakat hanya diminta melakukan uji emisi. Bukan diminta meninggalkan kendaraan di rumah.

Kebijakan pengendalian polusi untuk jangka panjang, tidak ada cara lain selain pengurangan kendaraan bermotor. Tapi, apakah pemerintah dalam hal ini Presiden Joko Widodo (Jokowi), berani untuk mengambil keputusan sulit ini? Seperti yang jamak diketahui, produsen kendaraan bermotor masih dipengaruhi oleh dominasi pasar asing, khususnya industri otomotif dari Jepang.

Dominasi Industri Otomotif  Negari Sakura

Di akhir tahun 1960-an, kerja sama Indonesia dengan Jepang dalam mengembangkan sektor-sektor industri strategis mulai terjadi. Tokoh kunci yang membantu kedekatan ini adalah Soedjono Hoemardani, mantan pejuang kemerdekaan yang pernah dilatih oleh Keibodan (barisan pembantu polisi bentukan Jepang). Presiden Soeharto disebut mempercayai Soedjono menjadi pelobi, lantaran mampu berbahasa Jepang.

Soedjono memimpin delegasi Indonesia untuk berunding dengan Jepang selama 1972-1975, pada akhirnya Negeri Sakura itu memberi bantuan ekonomi. Imbalannya adalah konsesi pada 12 perusahaan Jepang, di antaranya Sumitomo Shoji Kaisha dan Nippon Light Metal Company Ltd.

Dalam sejarah industri otomotif di Tanah Air, Soedjono lah yang sukses melobi Toyota agar bersedia menanamkan modal di Indonesia pada 1971. Sebelumnya, dia berhasil merayu perusahaan mobil itu untuk mengizinkan PT Astra International Incorporated menjadi distributor mobil Jepang di Tanah Air.

Hendrajit, pengamat politik luar negeri Jepang dan peneliti di Global Future Institute, mengatakan langkah Soeharto merapat ke Jepang dalam hal ekonomi merupakan hal yang wajar, karena Soeharto butuh penyeimbang.

Lanjut Hendrajit, keputusan Orde Baru menggandeng Jepang direstui AS, sebab saat itu masa Perang Dingin, sehingga kerja sama ini dianggap bagian strategis dalam menjalin aliansi menentang Blok Warsawa yang diprakarsai Uni Soviet.

Hanya saja, kedekatan dan investasi Jepang di Indonesia tidak berjalan mulus. Terjadi penolakan dan kerusuhan yang timbul akibat investasi Jepang.

Baca Juga: Ada Jepang di Pajak Mobil 0 Persen?

Asvi Warman Adam dalam bukunya Seabad Kontroversi Sejarah, menulis kerusuhan 15 Januari 1974 yang lebih dikenal dengan Peristiwa Malari menjadi fondasi Jepang mencengkeram industri strategis Indonesia. Ribuan mahasiswa menolak ekspansi ekonomi Jepang yang sangat dominan di Indonesia mulai awal 70-an, lantas berakhir dengan kerusuhan massal di Jakarta.

Meski demikian, imbas kebijakan pemerintah terasa sampai sekarang, yakni cengkeraman Jepang dalam pangsa pasar otomotif Indonesia. Data dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor (Gaikindo) menunjukkan merek Jepang menguasai 96 persen pasar mobil nasional.

Dalam salah satu rencana pengembangan Jepang, disebutkan industri otomotif adalah wilayah strategis yang harus terus diperkuat. Meski Jepang saat ini kekuatan militernya pasif, tapi riset-riset alutsista diprakarsai oleh perusahaan pembuat mobil.

Dari penjabaran di atas, terlihat sebuah gambaran akan dominasi industri otomotif Jepang di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan produksi polusi oleh kendaraan bermotor yang semakin mengancam. Lantas, Mungkinkah ada solusi alternatif pengendalian polusi udara dengan cara penertiban kendaraan?

Cara Singapura Menekan Emisi

Perdebatan solusi pengendalian polusi udara dengan melaksanakan uji emisi bagi kendaraan bermotor, menghadirkan perdebatan sengit, yang merupakan efek domino dari kebijakan tersebut. Salah satunya perdebatan pelaksanaan tilang kepada pelanggar uji emisi, yang dianggap masih jauh dari kata serius.

Deddy Herlambang, pengamat transportasi dari Institute Study Transportasi (Instran), mengatakan dari awal ia menilai pemerintah hanya setengah hati untuk menekan emisi kendaraan bermotor. Alasannya, pemerintah masih menjual bahan bakar minyak Premium (Ron 88) dan Pertalite (Ron 90) yang secara kualitas masih jauh dari ambang batas parlemen misi standar Euro-4, yang dianggap aman.

Uji emisi yang dalam pelaksanaannya adalah tilang kendaraan, rasanya bukan solusi terbaik. Jika mencontoh negeri tetangga, Singapura, kita dapat insight lain pengendalian polusi udara.

Ahmad Biondi dalam tulisannya Begini Cara Pengendalian Emisi di Singapura, mengatakan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberi perhatian khusus untuk bisa menekan emisi. Namun, Anies meminta tak ada lagi mobil berusia di atas 10 tahun dan tidak lulus uji emisi untuk beroperasi.

Menurut Biondi, kebijakan ini masih dianggap kontroversi, apalagi di Jakarta masih banyak komunitas pecinta mobil tua yang mempertahankan mobilnya atas dasar emosional maupun historis. Selain itu mobil tua pun dianggap bukan penyumbang polusi besar karena tidak digunakan untuk harian. Lagi pula, banyak mobil tua yang masih layak dalam uji emisi karena dirawat dengan benar.

Jika melihat kebijakan yang akan diterapkan ini, maka Jakarta bisa belajar banyak dari kebijakan yang sudah diterapkan di Singapura.

Di Singapura, pembeli mobil harus membayar sebuah sertifikat kepemilikan Certificate Of Entitlement (COE) yang berlaku selama 10 tahun. Harganya juga lumayan besar, mulai dari 74.690 sampai 78.712 dolar Singapura atau setara Rp 732 juta-Rp 771,4 juta. Setelah masa berlaku COE habis, pemilik mobil diberi pilihan untuk memperpanjang masa berlakunya selama 5 hingga 10 tahun.

Baca Juga: Kabinet Baru Jokowi ala Jepang?

Kemudian, untuk memperpanjang COE, pemilik harus melakukan uji kelayakan. Jika tidak lolos, maka mobil harus dimusnahkan. Dalam peraturan tersebut tidak ada pembatasan usia mobil di Singapura, selama lolos uji kelayakan, maka perpanjangan COE dapat dilakukan. Hal ini yang membuat mobil tahun 60 sampai 80-an pun masih bisa ditemui di jalanan selama lolos tes kelayakan.

Selain itu, salah satu aturan yang sukses diterapkan di Singapura sejak 1998 adalah dianutnya sistem Electronic Road Pricing (ERP). Dengan kawasan jalan raya berbayar, masyarakat tidak bisa sembarangan melintas. Hal tersebut membuat sebagian penduduk akan memilih menggunakan transportasi publik ke kawasan tersebut.

Pemerintah Singapura juga membatasi kepemilikan kendaraan bermotor pribadi dengan menerapkan sistem kuota kendaraan, yang mana ini mengatur pertumbuhan populasi kendaraan dan disesuaikan dengan kemampuan daya tampung jaringan jalan raya.

Semua peraturan tersebut, seperti Certificate Of Entitlement (COE), Electronic Road Pricing (ERP), dan pembatasan kepemilikan kendaraan bermotor pribadi sekiranya dapat diadopsi. Namun, seperti yang disebutkan sebelumnya, apakah dominasi cengkeraman industri otomatif Jepang dapat dilawan? Pasalnya, ketiga cara tersebut dengan jelas bertabrakan dengan kepentingan produsen otomotif. (I76)

Exit mobile version