Beberapa hari lalu, Moeldoko menyayangkan kondisi Indonesia yang menurutnya mengalami kemunduran peradaban. Ia berkata bahwa masalah ini dapat dijawab dengan dibangunnya Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Lantas, apa maksud di balik narasi kemunduran peradaban ala Moeldoko ini? Apakah terdapat kepentingan politik tertentu dari pemerintahan Jokowi?
Hari Selasa lalu, Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko menceritakan pengamatannya tentang Indonesia. Ia membagikan kekhawatirannya terkait kondisi peradaban di Indonesia pada pidatonya ketika meninjau pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Moeldoko pun menyandingkan peradaban Indonesia di masa kini dan zaman kerajaan.
Menurut Moeldoko, ada perbedaan kondisi peradaban di dua zaman tersebut. Pada zaman kerajaan, Indonesia memiliki peradaban tinggi. Moeldoko menjabarkan berbagai contoh legacy dari masa lalu, seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, wayang kulit dan sebagainya.
Moeldoko menambahkan bahwa kemajuan peradaban dalam sejarah tersebut tidak mencerminkan kondisi saat ini. Ia menyoroti adanya pertikaian antar kelompok di Indonesia akibat perbedaan pandangan. Menurut pengamatannya, pertikaian yang terjadi antar kelompok mengakibatkan Indonesia mengalami kemunduran peradaban saat ini.
Berangkat dari hal tersebut, UIII diharapkan dapat menjawab permasalahan tersebut. UIII yang masih dalam tahap pembangunan, diharapkan bisa membawa peradaban Indonesia agar bisa dikenal di negara lain.
Moeldoko mengatakan UIII nantinya dapat menjadi pusat eksplorasi peradaban Indonesia agar tidak terjadinya kemunduran peradaban. Selain itu, UIII juga menjadi simbol toleransi antaragama agar masyarakat internasional melihat Indonesia sebagai negara yang bersahabat.
Pernyataan Moeldoko terkait kemunduran peradaban Indonesia direspons oleh budayawan Yogyakarta, Sahanuddin Hamzah. Menurutnya, Moeldoko memiliki pemahaman yang keliru tentang peradaban. Ia menjelaskan bahwa peradaban tidak bisa diukur dari adanya pertikaian antar kelompok di masyarakat.
Baca Juga: Jokowi Diterpa Terorisme Politik?
Jika ditarik ke konteks di zaman kerajaan, seperti yang dicontohkan Moeldoko, persaingan dan pertikaian juga terjadi di masa itu, misalnya kelompok Sanjaya yang berseteru dengan kelompok Syailendra.
Lantas, apakah terdapat intrik politik di balik pernyataan Moeldoko tersebut?
Polemik Pembangunan
Pada 29 Juni 2016, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 57/2016 tentang pendirian Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Lokasi dari UIII ini sendiri berada di Cimanggis, Depok, Jawa Barat.
Namun, progres pembangunannya lamban. Peletakan batu pertama baru terjadi dua tahun setelahnya, yakni 5 Juni 2018. Pembangunan akan dibagi menjadi tiga tahap dengan anggaran Rp 3,97 triliun. UIII ini sendiri merupakan bentuk realisasi dari cita-cita Jokowi sejak periode pertama yang ingin membawa Indonesia sebagai negara rujukan peradaban Islam dunia. Sejauh ini, peradaban Islam masih identik dengan Timur Tengah.
UIII kelak diharapkan menjadi pusat studi peradaban Islam dengan pendidikan di bidang studi Ilmu Agama Islam dan juga bidang ilmu lainnnya, seperti sosial, humaniora, sains dan teknologi. Jokowi mengatakan UIII akan menjadi pusat kajian Islam moderat atau Islam jalan tengah. Selain itu, UIII juga diharapkan dapat menjawab tantangan intoleransi dan radikalisme di Indonesia.
Mewujudkan UIII demi cita-cita Jokowi tidak semulus itu. Banyak yang bertanya tentang relevansi UIII karena Indonesia sudah memiliki banyak universitas Islam, baik negeri maupun swasta.
Pada Januari 2018, pendidikan tinggi Islam negeri terhitung jumlahnya sebanyak 49 lembaga dan terdapat 235 lembaga swasta yang telah terakreditasi. Guru Besar UIN Jakarta, Azyumardi Azra mengatakan pemerintah sebaiknya mengoptimalkan apa yang ada daripada membangun kampus baru dari nol. Ia mengusung enam kampus UIN agar dijadikan kampus berkualitas internasional.
Selain itu, UIII juga punya berbagai permasalahan di proses pembangunannya. Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden, pada Agustus 2019 mengatakan UIII masih terkendala di pembebasan lahan, yakni hunian warga dan tower milik Radio Republik Indonesia (RRI).
Pembangunan UIII melibatkan penggusuran massal atas 740 kepala keluarga. Pembangunan UIII pun menggusur rumah tua Cimanggis. Rumah ini merupakan peninggalan dari zaman Belanda yang merupakan tempat tinggal Yohana van Der Parra, istri Gubernur VOC Petrus Albertus van Der Parra.
Baca Juga: Terorisme Makassar, Radikalisme Bukan Akar Masalahnya?
UIII akan dibangun di atas lahan milik RRI seluas 143 hektar. Akibat pengalihan kepemilikan lahan ini, RRI disebut telah kehilangan aset bernilai miliaran rupiah.
Manuver Tertentu?
Di luar sekelumit persoalan pembangunan yang ada, narasi Moeldoko tentang kemunduran peradaban Indonesia yang digunakan agar mendapatkan legitimasi pembangunan UIII dapat dijelaskan melalui konsep power dan knowledge dari filsuf Prancis, Michel Foucault.
Foucault mengatakan bahwa power dan knowledge tidak berdiri sendiri. Foucault memunculkan istilah power/knowledge untuk menggambarkan kedua variabel yang tak terpisah.
Ia mengatakan bahwa setiap pelaksanaan power bergantung pada knowledge yang mendukungnya, dan knowledge dapat membantu perolehan power sehingga memajukan kepentingan kelompok penguasa.
Pada dasarnya, seseorang yang memiliki power dapat membentuk knowledge di masyarakat dan knowledge dapat memberikan power kepada pemilik pengetahuan. Dalam praktiknya, hal ini sering menjadi legitimasi perlakuan buruk orang lain atas nama mengoreksi dan membantu mereka.
Berangkat dari Foucault, pemerintah sebagai sosok yang memiliki power dapat membentuk knowledge yang mereka inginkan untuk dipercaya oleh masyarakat.
Untuk membendung berbagai kritik atas relevansi pembangunan UIII, Moeldoko tampaknya menggunakan power-nya untuk mengontrol knowledge di masyarakat. Ia melakukan pembenaran atas UIII dengan membawa narasi kemunduran peradaban. Knowledge di masyarakat yang mengamini justifikasi pemerintah atas UIII akan berkontribusi kembali kepada power pemerintah melalui perolehan legitimasi atas UIII.
Sehingga dapat dilihat, walaupun UIII memiliki berbagai polemik, pemerintah tetap bisa melakukan justifikasi kebijakannya atas UIII melalui pembentukan knowledge di masyarakat. Lantas, mengapa pemerintahan Jokowi berambisi mewujudkan UIII? Apakah ini dapat menjadi legasi tertentu?
Islam Moderat sebagai Legasi?
Sebagai negara dengan populasi Islam terbesar di dunia, Islam moderat menjadi salah satu identitas yang ingin dibawa oleh Indonesa di panggung internasional. Upaya untuk membawa identitas baru ini awalnya dibawa oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui deklarasinya, “a country where democracy, Islam and modernity go hand in hand.” Konsep Islam moderat ini muncul pasca fenomena terorisme global yang membawa sentimen negatif dari negara Barat atas Islam.
Baca Juga: Mengapa Jokowi-UEA Makin Mesra?
Tulisan Aryanta Nugraha yang berjudul Moderate Islam as New Identity in Indonesian Foreign Policy: Between Global Role Aspiration and Co-Religious Solidarity menjelaskan pentingnya Indonesia mempromosikan Islam moderat.
Indonesia memiliki peran sebagai contoh model negara, di mana nilai Islam dan modernitas dapat hidup berdampingan. Hal ini tentu untuk memperbaiki citra Islam yang cenderung dianggap radikal dan dapat berperan menjadi mediator di konflik internasional yang berhubungan dengan kepentingan Muslim. Dengan mengemban identitas sebagai Islam moderat maka Indonesia harus mencerminkan nilai-nilai toleransi, modern, progresif, pro-demokrasi, sekuler dan anti kekerasan.
Jokowi pun melanjutkan kerja SBY yang mempromosikan identitas Indonesia sebagai Islam moderat. Jokowi juga beberapa kali turut mempromosikan nilai Islam moderat melalui diskusi dengan cendekiawan Islam dan kelompok Islam, seperti pada Konsultasi Tingkat Tinggi (KTT) Islam Wasathiyah (moderat) di Bogor pada Mei 2018. Islam moderat ini juga dipromosikan Jokowi untuk menjawab permasalahan terorisme di Indonesia.
UIII sejalan dengan interest Jokowi dalam mempromosikan Islam moderat, sehingga UIII dapat menjadi legasi Jokowi di dunia pendidikan. Ini dapat dijelaskan melalui tulisan Christina Fong dan kawan-kawannya yang berjudul Political Legacies: Understanding Their Significance to Contemporary Political Debates.
Fong mengatakan bahwa pemimpin negara kerap meninggalkan legasi politik agar terus menghidupkan pengaruhnya, bahkan ketika pemimpin itu sudah tidak menjabat atau meninggal. Legasi dapat berbentuk fisik maupun non-fisik, seperti ideologi atau pemikiran.
Berangkat dari tulisan ini, UIII dapat menjadi legasi Jokowi di ranah pendidikan dalam mempromosikan nilai Islam moderat. Kurikulum UIII yang memadukan tradisi Timur dan Barat dapat menjadi sumbangsih di dunia akademik di dalam negeri maupun global.
Tradisi pendidikan Timur Tengah menitik beratkan pada Islam klasik dan kajian, sedangkan Barat memiliki empiris yang lebih kuat melalui pendekatan multidisipliner. UIII akan menjadi “jalan tengah” karena mengombinasikan kedua pendekatan tersebut.
Fenomena ini menunjukkan bahwa pemimpin dapat melakukan penetrasi ideologi atau nilai pada sistem pendidikan. Hal ini serupa dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping dengan pemikirannya “Xi Thought” yang merupakan pemikiran sosialis era baru Tiongkok. Xi Thought ini sendiri akan diadopsi di kurikulum pendidikan Tiongkok.
Baca Juga: Terorisme Sigi, Jokowi Terjebak Pseudopluralisme?
Pada kesimpulannya, pemerintah dapat menggunakan power-nyauntuk melegitimasi posisi dan kebijakannya melalui knowledge yang telah didesain untuk dipercaya masyarakat. Pada konteks UIII, pemerintah menjustifikasi pembangunannya di tengah kritik para akademisi yang menginginkan pemerintah mengembangkan universitas yang ada daripada membangun yang baru.
UIII ini bisa menjadi alat legasi Jokowi dalam mempromosikan Islam moderat di dalam negeri dan luar negeri. Diharapkan UIII dapat menjawab permasalahan radikalisme di dalam negeri dan sentimen negatif terhadap Muslim di negara Barat. (R66)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.