Site icon PinterPolitik.com

UEA Akan Menjadi Negara Superpower?

UEA Akan Menjadi Negara Superpower

Putra Mahkota Abu Dhabi Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan dan Presiden RI Joko Widodo dalam sebuah pertemuan di Istana Kepresidenan Bogor pada Juli 2019 silam. (Foto: primanews.org)

Seri pemikiran Fareed Zakaria #13

Tak dikira, Uni Emirat Arab (UEA) muncul menjadi salah satu negara penyedia vaksin Covid-19 bagi Indonesia. Sebelumnya, negeri Burj Khalifa juga disebut menjadi investor terbesar di Ibu Kota Negara. Lalu, dengan berbagai ekspansinya, akankah UEA menjadi kekuatan baru di dunia menandingi Tiongkok atau Amerika Serikat?


PinterPolitik.com

Para penggemar Hollywood tentu tidak asing dengan sejumlah film yang mengambil latar adegan ikonik di sejumlah wilayah Timur Tengah. Mission Impossible: Rogue Nation yang dibintangi Tom Cruise sampai Fast & Furious 7 dengan Vin Diesel dan mendiang Paul Walker, menyajikan adegan ciamik dengan latar kemegahan sebuah negeri di tengah gersangnya gurun pasir tanah Arab.

Ya, negeri itu ialah Uni Emirat Arab (UEA). Kota Dubai maupun Abu Dhabi dengan gedung pencakar langitnya, termasuk Burj Khalifa, disebut para filmmaker termahsyur dunia memiliki keunggulan akses yang mudah, infrastruktur yang maju, dan pemandangan yang indah, merupakan kombinasi esensial dalam menunjang produksi film berkelas.

Dijuluki sebagai negeri petro dollar, UEA memiliki alasan logis untuk bertransformasi menjadi sebuah negara dengan perkembangan infrastruktur dan ekonomi paling menakjubkan di dunia.

Fareed Zakaria dalam The Rise of the Rest bahkan mengatakan bahwa UEA sebagai salah satu fenomena kebangkitan fantastis negara dunia ketiga, termasuk dengan berbagai ekspansinya. Fakta bahwa saat ini dana investasi terbesar di planet bumi berada di negara monarki konstitusional itu menjadi alasan Zakaria.

Dan oleh karena didukung dengan letaknya yang strategis, UEA juga tak hanya dikenal dengan minyaknya, tetapi juga sebagai episentrum bisnis, pariwisata, hingga pengembangan riset dan teknologi kawasan negara Teluk maupun dunia.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai menyadari potensi tersebut ketika di awal tahun ini dirinya menginisiasi kemitraan dengan UEA dan salah satunya berujung pada rencana investasi proyek monumental Ibu Kota Negara (IKN). Bahkan secara khusus, Pangeran UEA Mohammed Bin Zayed diminta Presiden Jokowi untuk menjadi Dewan Pengarah proyek tersebut.

Meski proyek IKN Presiden Jokowi sedikit terhambat karena pandemi, kerja sama Indonesia-UEA nyatanya sangat cair dan dinamis. Hal ini tercermin dari “uluran tangan” UEA yang akan menjadi salah satu penyedia vaksin Covid-19 bagi Indonesia, selain vaksin Sinovac dan vaksin Merah Putih.

G42 Healthcare, perusahaan teknologi kesehatan yang didukung pemerintah UEA telah bekerja sama dengan Sinopharm, perusahaan bioteknologi pemerintah Tiongkok, dalam mengembangkan dan menguji coba vaksin yang direncanakan akan memasok 10 juta dosis vaksin bagi Indonesia di akhir 2020 ini.

Lantas, dengan berbagai kecenderungan ekspansi yang sedang dilakukan tersebut, akankah UEA di kemudian hari menjadi kekuatan baru yang dapat bersaing dengan India, Tiongkok, ataupun Amerika Serikat (AS)? Dan adakah esensi yang dapat ditiru oleh Indonesia dari kebangkitan UEA?

UEA, Kebangkitan Negara Berkultur Islam?

Setelah kebangkitan multi dimensi Tiongkok mendistorsi hegemoni AS, diskursus untuk memetakan potensi kebangkitan negara-negara lainnya menjadi hal yang menarik.

Mulai dari pakar politik dan analis kebijakan luar negeri AS, Anne-Marie Slaughter, hingga praktisi kebijakan luar negeri asal Singapura, Kishore Mahbubani turut menganalisa penyebab dan negara mana saja yang berpotensi kuat dapat menantang kekuatan AS.

Dalam sebuah tulisan berjudul The Dustbin of History: Asian Values, Fareed Zakaria juga tak ingin ketinggalan. Zakaria menggunakan perpaduan analisa nilai historis, budaya, dan politik untuk menjelaskan kebangkitan negara-negara Asia, yakni India dan Tiongkok.

Tiongkok awalnya dipandang sebelah mata, saat Zakaria mengutip pernyataan Max Weber yang menyebut bahwa budaya berbasis Konfusianisme tidak memenuhi syarat yang diperlukan untuk dapat sukses dalam sistem kapitalisme global.

India turut dipandang serupa dengan hinduism mindset-nya, sebelum kemudian seiring berjalannya waktu, kedua negara tersebut membungkam nada skeptis tersebut.

Tidak ada yang dapat meragukan ekspansi mencengangkan investasi Tiongkok di seluruh dunia, meski negeri Tirai Bambu tidak mengubah sedikitpun fundamental konfusianisme sebagai visi politiknya.

Sementara India juga demikian. Tidak ada yang berubah dari hinduism mindset saat InfoSys, Tata, dan Wipro menjelma menjadi perusahaan IT kelas dunia dan bahkan disebut dapat bersaing dengan korporasi Silicon Valley.

Hal ini membuat Zakaria menyiratkan sebuah postulat bahwa pengaruh budaya dalam politik suatu negara nyatanya dapat dipisahkan dan berpadu seirama dengan kemajuan ekonomi di dalam atmosfer dan sistem liberalisme global yang diciptakan AS.

Zakaria lantas menyoroti kultur lain di Asia yakni dunia Islam, yang dianggap oleh sejarawan Inggris Paul Johnson, jurnalis Italia Oriana Fallaci, sampai tokoh evangelis AS Pat Robertson, tidak cocok dengan modernitas dan demokrasi pada tatanan global yang diciptakan Barat.

Di akhir tulisannya, Zakaria lantas menganggap – seperti hanya konfusianisme Tiongkok dan hinduism India – tidak menutup kemungkinan bahwa negara berkultur Islam berpotensi membalikkan status quo sistem ekonomi-politik internasional saat ini.

Dan jika membicarakan kultur dunia Islam, perhatian tak dapat dilepaskan dari gerak-gerik negara di Timur Tengah. Arab Saudi, Iran, hingga UEA merupakan sejumlah negara yang dinilai dapat menapaki kesuksesan India dan Tiongkok.

Negara terakhir, UEA, menjadi menarik ketika prospeknya dianggap jauh lebih baik dibanding tetangga lainnya. Mengapa demikian?

UEA dianggap terdepan sebagai negara Islam di Timur Tengah dalam hal progresivitas ekonomi karena mulai menemukan titik keseimbangan dari upayanya meninggalkan ketergantungan akan minyak sebagai penopang dominan perekonomian.

Daniele Schilirò dalam Diversification and Development of the United Arab Emirates’ Economy mengatakan bahwa strategi diversifikasi yang dilakukan UEA menjadi kunci suksesnya.

Diversifikasi memang jelas terlihat pada ekonomi UEA, terutama sebagai alternatif minyak, yang dengan kemajuan infrastrukturnya kini mengandalkan pariwisata, serta terus bergeliat menuju pusat bisnis dan investasi dunia.

Strategi diversifikasi juga agaknya dipraktikkan UEA dalam politik regional pada Agustus lalu, ketika membuka hubungan diplomatik paling monumental di abad 21 dengan Israel yang jamak dinilai akan membuat manuver negara itu lebih fleksibel di Timur Tengah.

Meski dikritik sebagian besar negara Islam lainnya, alasan untuk “meredam Israel dari dalam” menjadi justifikasi UEA. Selain itu, misi memperkuat pertahanan ditengarai menjadi latar belakang kausalitas konkret di balik restorasi hubungan diplomatik tersebut.

Kendati terlihat sebagai kandidat kuat negara Islam dengan prograsivitas ekonomi-politik mumpuni, namun agaknya cukup sulit bagi UEA untuk bertransformasi lebih jauh sebagai kekuatan dunia. Mengapa demikian?

Kurang “Mengerikan”?

Walaupun memiliki tren kemajuan pesat dalam berbagai aspek, namun UEA dianggap belum memiliki pertahanan dan militer yang mumpuni, paling tidak jika dibandingkan dengan India atau Tiongkok.

Menurut Artur Victoria dalam About National Defence, pertahanan dan militer yang kuat mutlak diperlukan bagi sebuah negara yang kompetitif dalam menjaga kepentingan strategisnya, baik ekonomi serta politik, di kancah internasional.

Kiranya tak perlu menengok Global Firepower Index ketika berbicara aspek militer di mana kemampuan negeri Macan Teluk seolah masih jauh dari panggang. Posisi investasi UEA di luar negeri juga dinilai cukup rawan jika berbicara mengenai kemampuannya untuk “mengamankan” dibanding India atau Tiongkok, apalagi AS.

Mengamankan dalam artian peran eksistensi militer sebagai detterence effect atau efek gentar maupun kesiapan jika investasi UEA terganggu dari sisi keamanan oleh pihak manapun.

Terlebih fakta bahwa signifikansi militer AS dalam konstelasi geopolitik Timur Tengah, termasuk sebagai sekutu UEA, masih sangat kental pengaruhnya. Hal tersebut menjadi ihwal kontraproduktif terhadap proyeksi kebangkitan aspek militer UEA yang tentu juga menjadi kalkulasi logis Presiden Khalifah bin Zayid al-Nahyan.

Alih-alih meningkatkan kemampuan militer yang berpotensi menimbulkan kecurigaan dan preseden minor tertentu, memaksimalkan positive-sum game atas situasi saat ini, di mana AS, Tiongkok, dan Israel telah menjadi sekutu, agaknya sudah lebih dari cukup bagi UEA.

Artinya, status quo fleksibilitas kerja sama UEA terhadap AS, Tiongkok, Israel, maupun negara teluk lainnya saat ini telah cukup ideal bagi UEA, di mana tidak ada pihak manapun yang dirugikan secara konkret, termasuk terkait visi merekonseptualisasi perdamaian Israel-Palestina.

Pada konteks berbeda, serangkaian karakteristik, fleksibilitas, dan proyeksi kekuatan UEA di atas juga bisa jadi menjadi pertimbangan Presiden Jokowi dalam menentukan pola hubungan dengan negeri yang beribukota di Abu Dhabi itu.

Strategi diversifikasi yang menjadi keunggulan UEA juga dinilai perlahan tengah diadopsi Presiden Jokowi ketika membuka opsi investasi yang lebih beragam dan tidak terpaku pada investasi AS ataupun Tiongkok, termasuk investasi IKN dan kerja sama vaksin yang diisi UEA sendiri.

Dan alangkah baiknya jika kemungkinan adopsi strategi diversifikasi UEA oleh Presiden Jokowi itu tidak sebatas sebagai penampung investasi, tetapi juga dalam upaya peningkatan kemampuan ekspansi ekonomi dan politik Indonesia ke depannya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version