Uang palsu marak beredar pada momen dan tempat perputaran uang yang besar. Salah satunya terjadi menjelang Pemilu.
PinterPolitik.com
Penyebaran uang palsu adalah praktik ilegal yang merugikan stabilitas suatu pemerintahan. Tak hanya berdampak secara ekonomi, uang palsu juga berdampak pada politik sebuah negara. Pasalnya, uang palsu tidak hanya berputar di sektor perdagangan, namun juga merupakan unsur yang penting dalam pembiayaan politik.
Apalagi, di era demokrasi dengan biaya Pemilu yang mahal, uang palsu kerap dijadikan jalan keluar ilegal para politisi. “Perkawinan” antara Pemilu dengan uang palsu bisa menjadi mimpi buruk bagi demokrasi. Apalagi, bila Pemilu hanya diisi dengan politik uang, yang uangnya juga ternyata uang palsu, maka demokrasi mungkin saja dapat terjun ke nekara.
Setidaknya, hal-hal seperti itu masih mungkin terjadi di Indonesia. Banyak temuan yang menandakan bahwa uang palsu memang menyebar selama gelaran Pemilu. Pada Pilkada 2017 lalu saja, Baadan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Bareskrim Polri bersama-sama menemukan uang palsu bernilai ratusan juta rupiah, di enam daerah yang melangsungkan Pilkada.
DKI Jakarta adalah daerah dengan temuan uang palsu terbanyak, yakni sebanyak 373 lembar pecahan seratus ribu, atau senilai 37,3 juta rupiah. Menurut informasi Polri, ada lebih banyak lagi uang palsu yang dibakar saat Operasi Tangkap Tangan (OTT), dan pasti masih banyak lagi yang sudah terlanjur beredar di tengah masyarakat.
Fakta ini jelas menggambarkan bagaimana uang palsu mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pesta demokrasi bernama Pemilu.
Jika demikian, bagaimana bisnis uang palsu dan keterkaitannya dengan politik?
Uang Palsu, Untung Tapi Haram
Sejarah uang palsu hampir sama tuanya dengan sejarah uang itu sendiri. Di Yunani dahulu, saat nilai uang diukur dengan materi pembentuknya, emas atau perak, pemalsuan uang dilakukan dengan mencampurkan material logam dengan bahan non-emas atau non-perak, sehingga kemurnian uang itu menjadi hilang. Lalu memasuki era uang kertas di Tiongkok, abad ke-13, saat itu juga uang kertas palsu mulai bertebaran di Negeri Tirai Bambu tersebut.
Dalam sejarahnya, negara juga selalu punya sikap yang keras kepada produsen uang palsu. Di Eropa, pada abad ke-15 misalnya, produsen uang palsu akan dihukum gantung, setara dengan hukuman bagi pemberontak negara. Negara-negara lain memilih hukuman yang lebih ‘manusiawi’, namun cukup keras, seperti penjara seumur hidup dan deportasi.
Sementara di Indonesia, uang palsu mulai beredar sejak era Orde Baru, khususnya pada tahun 1970-an. Uang palsu banyak beredar seiring dengan liberalisasi ekonomi yang dilakukan oleh rezim pimpinan Soeharto tersebut. Walaupun begitu, memang belum ada studi empiris tentang korelasi langsung antara liberalisasi ekonomi dengan peredaran uang palsu.
Presiden Soeharto tidak menggunakan cara keras menanggapi fenomena ini. Soeharto melahirkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1971 yang mengomandokan pemberantasan uang palsu. Soeharto menganggap peredaran uang palsu dapat mengganggu stabilitas moneter negara.
Stabilitas yang seperti apa?
Williams Hummel dalam karyanya Counterfeit Money, Who Takes the Hit? menjelaskan ada dua pihak yang dirugikan dengan keberadaan uang palsu yang marak. Pertama adalah perusahaan, di mana perusahaan sebagai pihak yang dapat merugi bila mendapatkan uang palsu dalam jumlah besar. Uang palsu tidak dapat digantikan dengan uang asli oleh pemerintah.
Dan yang kedua, untuk pemerintah. Pemerintah akan merugi secara makroekonomi karena inflasi dapat terjadi akibat melimpahnya uang di pasaran. Nilai mata uang pun dapat merosot di pasar internasional karena ketidakpercayaan terhadap nilai mata uang dan berkurangnya nilai uang yang asli.Pemerintah hanya dapat melakukan tindak preventif.
Tindakan preventif pemerintah memasuki babak baru dengan lahirnya digitalisasi perekonomian dan visi cashless society di abad ke-21. Teknologi ini dianggap dapat membendung masifnya teknologi percetakan dan fotografi di akhir abad ke-20, yang memudahkan orang untuk menduplikasi uang dengan jumlah yang jauh lebih masif.
Ya, uang palsu memang menjadi bisnis haram yang cukup menjanjikan pada zamannya. Namun, di era digital di mana hampir semua sektor menggunakan e-commerce—bahkan cryptocurrency atau mata uang digital di sebagian sektor—maka pemalsuan uang bukanlah masalah yang terlalu serius di beberapa negara. (Baca juga: Hati-hati Bubble Bitcoin)
Tapi, bagaimana dengan Indonesia? Apakah ancaman uang palsu masih menghantui, baik secara ekonomi maupun secara politik?
Tahun Politik, Hindari Politik Uang
Seperti apa uang palsu dapat menjadi alat politik?
Sebelum melihat dalam konteks demokrasi Indonesia, kita dapat melihat uang palsu dalam banyak kasus-kasus berbeda jenis di dunia.
Di Lok Shaiba, India pada Pemilu kepala daerah tahun 2014 misalnya. Menjelang berlangsungnya Pemilu, beredar uang-uang palsu dengan pecahan Rs 500 dan Rs 1.000 dengan total lebih dari 10.000 lembar. Menurut laporan National Investigation Agency (NIA), aliran uang palsu tersebut punya jaringan global yang besar, menyebar dari Malaysia sampai Amerika Serikat. Bahkan, peran organisasi teroris Taliban di Pakistan pun kuat dalam “menumpahkan” uang palsu di Lok Shaiba.
Sementara itu, pada tahun 2010 , ada kasus banjir uang palsu dalam pecahan dollar Amerika Serikat (AS) dengan nilai cukup fantastis, sebesar US$ 4,3 juta di Irak. Hal tersebut mendatangkan komentar dari beberapa negara tetangga, misalnya Iran, yang menyebut uang itu mulanya ditengarai sebagai bantuan restrukturisasi dari AS pasca-Pemilu 2010.
Akan tetapi, otoritas AS mengonfirmasi bahwa uang tersebut tidak datang dari mereka, melainkan dari pihak ketiga. AS mencurigai Iran saat itu, yang disebutnya paling memiliki kapasitas untuk mencetak uang palsu berkualitas tinggi sekaligus punya kepentingan politik yang besar untuk mepengaruhi Pemilu di Irak.
Kasus ini menunjukkan bahwa uang palsu ternyata tidak hanya dapat dijadikan komoditas bisnis ilegal,tapi juga dapat menjadi senjata bagi perang proxy yang secara mengejutkan, juga dimainkan oleh organisasi kriminal transnasional.
Apakah ancaman proxy uang palsu juga akan terjadi di Indonesia?
Dalam penelusuran sejarah sejauh ini, sepertinya tidak pernah ada bukti intervensi langsung asing dalam membanjiri Indonesia dengan uang-uang palsu. Namun, potensi penyebaran uang palsu itu tetap ada terutama dalam proses demokrasi dan politik uang.
Demokrasi itu memang berbiaya mahal, baik bagi penyelenggaranya maupun bagi pesertanya. Banyak masalah dan cacat demokrasi yang berkaitan dengan uang, sehingga pada tempat tertentu menjadi rawan terhadap peredaran uang palsu.
Kasus mahar yang mengemuka beberapa waktu lalu adalah contohnya. Mahar menjadi momok bagi seorang politisi yang tidak memiliki cukup uang untuk mencalonkan diri. Sementara di sisi lain, partai pun tidak memiliki keuangan yang sehat. (Baca juga: Memutus Rantai Setan Mahar Politik)
Lalu, kasus-kasus politik uang berupa serangan fajar yang terjadi pada Pemilu-Pemilu sebelumnya juga masih sering terjadi. Serangan fajar adalah bentuk pembelian suara beberapa waktu sebelum pencoblosan di TPS.
Memang belum ada penelitian yang mengaitkan kenaikan jumlah uang palsu dengan pemanfaatannya secara langsung pada politik praktis. Namun, indikasi ke arah sana terlihat dengan meningkatnya jumlah uang palsu menjelang tahun politik.
Menjelang Pemilu 2009 misalnya, terjadi kenaikan 43 persen jumlah peredaran uang palsu. Pada tahun 2014, kenaikannya memang lebih rendah, berada di angka 29 persen. BI dan stakeholder Pemilu, seperti KPU dan Bawaslu, juga terus menerus menyosialisasikan pencegahan uang palsu tiap menjelang tahun politik.
Masyarakat memang harus tetap waspada terhadap peredaran uang palsu menjelang Pemilu.
Karena tak hanya suara yang bisa dibeli, uang palsu di tangan pun pada akhirnya tidak bisa dibelanjakan. (R17)