“Kepincangan-kepincangan mana yang dianggap sebagai problem oleh masyarakat, tergantung dari sistem nilai-nilai sosial masyarakat tersebut. Akan tetapi, ada beberapa persoalan yang sama yang dihadapi masyarakat pada umumnya, yaitu perkosaan yang mempunyai pengaruh besar terhadaap moralitas”. (Soerjono Soekanto – Sosiolog Hukum)
pinterpolitik.com
[dropcap size=big]B[/dropcap]aru-baru ini terungkap lagi satu dari beratus-ratus kasus kejahatan seksual yang berhubungan dengan perdagangan manusia (Human Trafficking) di Indonesia. Ninuk (bukan nama sebenarnya) yang masih belia asal Banyuwangi, sejak 3 Maret menghilang tanpa pesan kepada orangtuanya. Singkat cerita wanita ini dijual oleh yang membawanya kepada salah seorang pemilik kafe di Bali.
Kejadian ini sendiri terungkap setelah orangtua korban melaporkan kejadian yang telah menimpa anaknya. Tiga hari di bekerja di kafe untuk ‘melayani’ korban langsung melarikan diri karena merasa tidak sanggup. Diiming-iming pekerjaan dengan pendapat yang besar menjadi salah satu trik pelaku kejahatan untuk merayu korbannya.
Secara global Indonesia mempunyai pandangan hukum terhadap kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan adalah tidak adanya hukum yang secara khusus memberikan perlindungan terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan tersebut. Ironisnya tidak ada kata-kata “kekerasan terhadap perempuan” dalam hukum Indonesia walaupun sudah banyak sekali kejadian yang menyangkut kekerasan terhadap perempuan.
Adapun yang tertulis di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUH-Pidana) yang ada saat ini adalah sebagian kasusnya tergolong kekerasan terhadap perempuan yang memang dapat disangkut pautkan dengan pasal-pasal kejahatan, namun hanya terbatas pada tindak pidana umum (korban laki-laki atau perempuan) seperti kesusilaan atau perkosaan, peng-aniayaan, pembunuhan dan lain-lain.
Ekonomilah Alasan Utamanya
“Traffickers are motivated by money”, seperti alasan klise tapi itulah kenyataannya, para pemain perdagangan manusia ini pasti termotivasi oleh uang. Faktor ekonomi menjadi alasan utama terjadinya perdagangan manusia yang dilatarbelakangi oleh kemiskinan dan sulitnya atau tidak memadainya lapangan kerja dengan besarnya jumlah penduduk.
Kasus perdagangan manusia ini harusnya menjadi pekerjaan rumah pemerintah Indonesia. Semua departemen harusnya bertanggung jawab untuk kasus-kasus perdagangan manusia ini. Mulai dari Kepolisian, Jaringan Buruh Migran dan Tim Pengawas (Timas) TKI, DPR RI Khususnya Komisi III, Kementrian Hukum dan HAM, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementrian Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Perempuan, Kementrian Sosial dan BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia).
Selama ini pihak Kepolisian masih terseok-seok dalam menyelidiki maupun membongkar kasus perdagangan manusia. Polisi belum bisa menemukan ‘bos besar’ dibalik perdagangan manusia ini. Sejauh ini pihak Kepolisian sebatas baru dapat melakukan penyergapan di tempat penampungan, menangkap ‘germo’ tanpa dapat lebih dalam mengetahui siapa yang ada di balik perdagangan manusia ini.
Di tahun 2016 yang lalu Personel Dit Reskrimum Polda Jabar berhasil menggagalkan rencana perdagangan manusia di Kota Bandung, Makassar dan lain-lain. Banyak warga dari berbagai daerah di Indonesia nyaris akan dikirim ke Arab Saudi sebagai tenaga kerja ilegal. Tetapi kembali lagi, Polisi hanya dapat menangkap kaki tangannya saja, perencana atau otak utamanya belum berhasil dibekuk.
Sedangkan Komis III DPR RI hanya mempunyai pendapat bahwa masih banyak kasus perdagangan manusia yang sulit terdeteksi karena keberadaan mereka di negara lain tidak melalui jalur legal. Wakil Ketua Komisi III DPR RI Benny Kabur Harman hanya dapat memberika ‘angin sorga’ bahwa akan selalu melakukan koordinasi dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri berkaitan dengan TKI yang terdaftar secara ilegal yang masih berada didalam perlindungan hukum Indonesia.
Terkait Tapi Belum Mengkait
Dampak dari kasus perdagangan manusia ini memaksa pemerintah untuk membuat kebijakan taktis dan strategis, seperti membuat UU No 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Penjualan Orang yang diikuti dengan membuat PP dan Kepmen yang berisikan tentang Perlindungan terhadap TKI dan Pemberantasan Tindak Pidana Penjualan Orang. Tapi pada kenyataannya peraturan-peraturan tersebut tidak mempan untuk menurunkan angka TKI migran yang bermasalah dan penjualan orang.
Dari tahun ke tahun jumlah kasus perdagangan manusia terus meningkat di angka kisaran 150 kasus, namun disayangkan dari jumlah tersebut belum sampai angka 10 yang vonis atau keputusan pengadilannya keluar. Disinilah terlihat egoisme kekuasaan leading sektor yang berhubungan dengan Migran/TKI Menakertrans dan BNP2TKI yang selalu mempermasalahkan dan memperebutkan anggaran , kekuasaan dan lahan subur bidang TKI. Tetapi bila terjadi permasalahan pada TKI atau anak bangsa di Negeri seberang kedua pemangku jabatan ini tidak pernah dapat saling berkoordinasi dengan sinergis.
Pada kenyataannya jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada TKI, secara implementasi masih sebatas di atas kertas dan regulasi saja. Banyak kasus kasus TKI dan perdagangan manusia yang dilaporkan oleh pihak keluarga,LSM atau dari masyarakat tetapi tidak mendapat respon cepat karena saling melempar tanggung jawab,bahkan tanpa rasa sungkan urusan ini seolah-olah menjadi tanggung jawab mutlak KBRI saja.
Lebih Menghargai Gajah Daripada Manusia
Thailand merupakan salah satu negara kerajaan di Asia Tenggara dengan luasnya sekitar sama dengan negara Perancis dan memiliki penduduk sekitar 67 juta. Thailand artinya ‘Tanah Orang-orang Merdeka’ karena Thailand adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tidak pernah menjadi koloni Eropa.
Mempunyai makna ‘tanah orang-orang merdeka’ bukan berarti bebas menjalankan bisnis perdagangan manusia. Di tahun 2013 lalu, terungkap kasus perdagangan manusia di Thailand yang di ‘back up’ oleh para petinggi negara gajah putih tersebut. Otak dari management perdagangan manusia tersebut terdiri dari jajaran militer berbintang tiga, politikus dan termasuk petugas penegak hukumnya alias Polisi.
Kasus perdagangan manusia ini terkuak saat ditemukannya puluhan kerangka manusia dari penggalian di sebuah kamp yang sudah ditinggalkan dekat perbatasan Malaysia dan Thailand. Tidak tanggung-tanggung kasus ini menjaring 100 orang tersangka, dimana 91 orang diantaranya adalah warga Thailand dan 9 orang warga negara Burma dan Bangladesh.
Berbeda dengan Indonesia, saat dalang dari kejahatan perdagangan manusia ini tertangkap dan diadili, maka hakim dapat dengan tegas menjatuhkan 16 tuntutan hukum kepada mereka semua tanpa pandang bulu walaupun yang terlibat ada yang berbintang tiga. Tuntutan hukum yang ditujukan pada mereka adalah keterlibatan mereka di dalam jaringan kejahatan transnasional dan upaya menyelundupkan migran secara ilegal. Kasus ini sendiri di Thailand dikategorikan sebagai kasus yang penting. Dalam menghadapi kasus perdagangan manusia ini, POLRI telah melakukan semua cara dalam rangka menegakan hukum bagi pelakunya.
Tetapi sangat mengecewakan bahwa Indonesia tetap tidak dapat menurunkan rangkingnya dalam hal perdagangan manusia. Bulan Juni 2011, International Organization of Migration (IOM) mengumumkan hasil penelitiannya yang cukup mengagetkan yaitu Indonesia kembali berada di posisi teratas sebagai negara asal korban perdagangan orang.
Menurut catatan IOM, terdapat 3.909 korban perdagangan orang yang berasal dari Indonesia. Diantara jumlah tersebut 90 persen wanita, 10 persen pria dewasa serta 84 persen perempuan dan 16 persen laki-laki usia anak-anak. Angka anak-anak lumayan tinggi karena dalam praktek perdagangan manusia usia anak-anak dapat dijadikan sasaran empuk bagi para trafficker.
Perdagangan manusia merupakan kejahatan dan pelanggaran berat terhadap Hak Asasi Manusia dan kasus perdagangan manusia cenderung meningkat setiap tahunnya. Perdagangan manusia merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan merupakan tragedi terhadap nilai kemanusiaan itu sendiri. Perdagangan manusia tidak lagi mengenal batas wilayah, maupun gender, siapapun dapat menjadi korban.
Perdagangan manusia ialah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maaupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. (I28)