Anggota Baleg DPR RI Arteria Dahlan menuding terdapat potensi agenda tertentu di balik kekeliruan fatal sejumlah poin dalam UU Ciptaker yang baru saja diteken Presiden Jokowi. Lantas, mungkinkah hal tersebut terjadi? Apakah justru munculnya isu yang menghebohkan publik ini mengindikasikan tendensi politik lain?
Typo, salah ketik, atau kesalahan redaksional menjadi intrik yang mengiringi proses penggubahan Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) yang secara resmi saat ini bernama UU No. 11 tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.
Sayangnya, intrik tersebut masih muncul setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunaikan ritual konstitusional akhir, yakni pembubuhan tanda tangan yang menandai berlakunya regulasi sapu jagat itu pada Senin lalu.
Kekeliruan tersebut secara telak telah ditemukan di bagian awal pada bunyi pasal 6 yakni, “Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf a.”
Masalahnya, pasal 5 ayat (1) huruf a yang menjadi rujukan itu seolah bagai misteri eksistensinya dalam naskah tersebut, dan seketika membuat geger seantero negeri maupun jagat maya yang memang selama ini terus memasang mata pada berbagai dinamika UU Ciptaker dengan berbagai kontroversi yang mengiringi sebelumnya.
Reaksi minor sontak datang dari berbagai pihak. Salah satunya dihaturkan oleh pakar hukum tata negara (HTN) yang juga pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti. Ia menilai bahwa kesalahan tersebut sangat fatal dan UU tidak bisa diimajinasikan “tahu sama tahu” begitu saja ketika dilaksanakan, melainkan harus sesuai dengan apa yang tertulis di UU.
Sementara respons menarik datang dari anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR yang juga politisi PDIP, Arteria Dahlan. Politisi PDIP itu menilai kekeliruan tersebut tidak masuk akal dan justru menaruh tudingan adanya potensi agenda tertentu yang berusaha memperkeruh situasi di balik typo tersebut.
Arteria juga menegaskan akan menempuh langkah serius jika memang kejanggalan yang ada dan membuat gaduh saat ini dipicu oleh kecenderungan yang mengarah pada agenda kontraproduktif tertentu.
Lantas, mengapa kiranya Arteria justru memberikan tudingan tersebut? Apakah presumsi plus isu typo UU Ciptaker ini justru mengindikasikan ihwal politis lain yang memang berusaha ditunjukkan para pemangku kebijakan?
Sekadar Kambing Hitam Semu?
Dengan mengutip sebuah postulat dari psikoanalis Austria bernama Anna Freud, Andrea Schneider dalam The Verbal Vomit of the Psychological Abuser: Projection and Blame-Shifting menyebutkan istilah blame shifting sebagai mekanisme psikologis untuk menyalahkan pihak lain atas kekeliruan tertentu yang bahkan mungkin terdengar sedikit konspiratif.
Sebagai self-defence mechanism atau mekanisme pertahanan diri, blame shifting kerap digunakan para politisi dalam bereaksi sekaligus memberikan label atas isu tertentu.
Salah satu sosok yang acapkali menggunakannya ialah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump ketika merespons kritik terhadap penanganan pandemi Covid-19 oleh pemerintahannya. Trump misalnya tak jarang langsung menaruh tudingan konspiratif kepada para pakar, Tiongkok, hingga organisasi kesehatan dunia (WHO) sebagai bentuk pembelaan diri.
Tendensi blame-shifting tampaknya juga diperagakan oleh Arteria ketika menyinggung potensi agenda tertentu yang memperkeruh situasi politik di balik terkuaknya kekeliruan fatal UU Ciptaker pasca ditandatangani Presiden Jokowi.
Apalagi, Arteria tak hanya merupakan perwakilan dari Baleg DPR yang andilnya cukup signifikan dalam pembuatan regulasi tersebut, namun juga representasi dari parpol penguasa eksekutif yang notabene mengusulkan regulasi tersebut. Dan tentu pihaknya tak ingin mendapat limpahan preseden minor lebih lanjut.
Otak-atik UU Ciptaker pasca disahkan DPR pada 5 Oktober maupun setelah diserahkan DPR ke pemerintah pada 14 Oktober lalu, memang sempat dilakukan. Bahkan ini kembali memantik kecurigaan publik saat jumlah halaman naskah UU Ciptaker sempat berubah beberapa kali.
Puncaknya ialah ketika Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) sendiri bahkan telah mengajukan revisi sebanyak 158 item dan 88 halaman terhadap UU Ciptaker, berdasarkan recall yang dilakukannya dua hari setelah pemerintah menerima naskah tersebut dari DPR.
Artinya, jika memang setiap telaah perbaikan dilakukan dengan cermat, baik DPR dan pemerintah semestinya sudah mengetahui jika terdapat ketidaksempurnaan, terlebih kekeliruan telah ada sejak di bagian awal UU tersebut.
Meski kejanggalan demi kejanggalan eksis, tudingan yang bersifat konspiratif tersebut nyatanya memang akan cukup sulit untuk dibuktikan dan kemungkinan besar Arteria pun mengetahui itu.
Karenanya, keteledoran teknis pada akhirnya secara konkret memang akan menjadi justifikasi paling rasional yang akan dikambinghitamkan, persis seperti apa yang disampaikan oleh Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno.
Ya, kehebohan publik atas typo UU Ciptaker hanya direspons “datar” oleh pemerintah melalui Pratikno. Dirinya mengklaim beberapa kekeliruan yang terdapat dalam UU Ciptaker hanya bersifat teknis dan tidak mempengaruhi implementasinya.
Lalu, apakah terdapat makna politis tertentu atas serangkaian reaksi menyikapi polemik typo dari para pemangku kebijakan di balik UU Ciptaker tersebut?
Tunjukkan Betapa Kuatnya Pemerintah?
Satu hal yang mungkin semakin menambah kekecewaan publik ialah rencana untuk merevisi begitu saja sejumlah pasal yang menjadi polemik. Paling tidak, rencana tersebut telah disiratkan, baik oleh Arteria maupun Pratikno.
Padahal menurut sejumlah pakar HTN, pemerintah tak serta merta dapat langsung merevisi atau menyisipkan poin yang hilang maupun keliru. Bivitri Susanti misalnya, bahkan menyebut kekeliruan itu sedianya bisa menggugurkan semua UU di dalamnya.
Lalu, Bivitri menyebut bahwa perbaikan tidak bisa sembarangan dilakukan karena secara hukum sudah menjadi lembaran negara. Perlu ada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membenahi pasal tersebut.
Senada, Guru Besar HTN Universitas Padjajaran, Susi Dwi Harijanti mengatakan bahwa perbaikan yang memang wajib dilakukan itu harus mengikuti tahap layaknya pembentukan UU.
Jika memang nantinya perbaikan akan lantas dilakukan tanpa melalui mekanisme yang disinggung dua pakar HTN di atas, ada kemungkinan pemerintah di satu sisi memang ingin menunjukkan impresi total authority atau betapa kuatnya mereka secara politik saat ini.
Total authority sendiri menjadi frasa yang dipopulerkan oleh Presiden Trump pada April lalu. Trump menyebut bahwa dalam memerintah dan menelurkan kebijakan, dengan justifikasi konstitusional, Ia mengklaim dapat melakukan apapun yang diinginkannya.
Terlebih pada konteks UU Ciptaker, menimbang pada hakikat dari regulasi yang mengatur hajat hidup orang banyak, tentu publik sangat menginginkan kehati-hatian yang mendetail. Akan tetapi, pejabat Istana justru menunjukkan bahwa kesalahan penulisan semacam itu tampaknya bukanlah persoalan yang serius.
Di titik ini, menjadi pertanyaan tersendiri pula apakah memang pemerintah sudah tidak memperdulikan citranya lagi? Hal ini mungkin saja memiliki korelasi dengan apa yang disampaikan oleh Presiden Jokowi sesaat pasca dilantik untuk kedua kalinya.
Ketika itu, eks Gubernur DKI Jakarta menyebut dirinya sudah tidak lagi memiliki beban apapun atau nothing to lose dalam menjalankan pemerintahannya. Ihwal tersebut mungkin saja mengilhami berbagai tindak tanduk kekuasaan saat ini, termasuk dalam dinamika dan polemik UU Ciptaker yang saat ini sedang mengemuka.
Bagaimanapun, kecenderungan tersebut belum tentu mencerminkan apa yang sesungguhnya ada dalam benak dan langkah pemerintah dalam menyikapi polemik untaian poin yang hilang dalam UU Ciptaker.
Namun sebaiknya, pemerintah dan DPR tampaknya harus menghindari kesan pelemparan narasi konspiratif seperti yang Arteria sampaikan, maupun kesan menggampangkan persoalan seperti yang tampak dari respons Pratikno.
Masih terdapat ruang bagi pemerintah untuk secara proporsional menyelesaikan polemik ini secara konstruktif melalui mekanisme yang sesuai.
Tentu agar dapat meminimalisir akumulasi preseden minor jika memang hakikat UU Ciptaker ialah demi kepentingan yang positif bagi rakyat banyak. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.