Kabar normalisasi hubungan diplomatik Turki dan Israel telah sampai ke Indonesia. Menariknya, kelompok Islam konservatif tanah air yang kerap mengglorifikasi Turki, termasuk irisannya dengan konteks Palestina, terlihat bungkam. Mengapa itu bisa terjadi?
Kabar menarik datang dari Mediterania saat Turki mengumumkan pemulihan hubungan diplomatik dengan Israel setelah satu dekade ketegangan.
Normalisasi hubungan itu dianggap menjadi kemajuan penting dalam aspek geostrategis setelah pertemuan antara Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan dan Presiden Israel Isaac Herzog yang berlangsung di Ankara pada Maret lalu.
Secara resmi, perbaikan relasi itu diumumkan Perdana Menteri Israel Yair Lapid pada 17 Agustus tengah pekan kemarin.
Sebelumnya, tensi panas kedua negara dipantik oleh serangan Israel yang hendak memblokade jalur Gaza, Palestina namun berakhir dengan tewasnya delapan warga sipil Turki di kapal MV Mavi Marmara pada 31 Mei 2010.
Meskipun memulihkan hubungan diplomatik, Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu meyakinkan bahwa negaranya akan terus membela hak-hak rakyat Palestina.
Lebih lanjut, Cavusoglu menegaskan bahwa keputusan itu justru akan memungkinkan Turki untuk melobi kepentingan Palestina di Gaza, Tepi Barat, dan Yerusalem.
Berita itu tampak cukup mengejutkan, terutama bagi sejumlah kelompok di Indonesia yang selama ini membela Palestina dan kerap melakukan glorifikasi ketegasan Turki dan Erdoğan atas isu Israel-Palestina.
Kelompok yang dimaksud ialah mereka yang memiliki kecondongan Islam konservatif yang selama ini selalu vokal saat Israel melakukan kekerasan terhadap penduduk Palestina, baik di Gaza maupun Tepi Barat.
Berdasarkan riwayatnya, salah satu aktor – terutama di ranah politik – yang lekat dengan karakteristik itu, sebagaimana dijelaskan Leonard C. Sebastian, Syafiq Hayim, dan Alexander R. Arifianto dalam Rising Islamic conservatism in Indonesia: Islamic groups and identity politics, adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Dalam berbagai pemberitaan, publik dapat dengan mudah menemukan kecaman dari PKS yang cukup dominan ketika isu Israel-Palestina muncul. Namun ironisnya, semangat memperjuangkan itu seolah luntur begitu saja saat isu telah meredup.
Kecenderungan itu juga terjadi kala Turki dan Israel melakukan normalisasi hubungan. Bungkam tampak menjadi “jalan ninja” kelompok Islam berhaluan konservatif, tak terkecuali PKS, saat negara Muslim lain yang selama ini kerap menjadi rujukan mereka berbaikan dengan Israel.
Lantas, mengapa hal tersebut bisa terjadi?
Gengsi Politik?
Walaupun korelasi pemulihan hubungan diplomatik Turki-Israel tak bisa begitu saja dikaitkan, namun jika ditelisik lebih dalam, seharusnya hal itu bisa jadi cerminan konstruktif bagi kelompok Islam konservatif Indonesia untuk tidak “saklek” atas isu Palestina.
Bahkan, refleksi Turki-Israel kiranya dapat dijadikan momentum untuk bersuara dan mendorong pemerintah Indonesia agar lebih terbuka dalam menyikapi isu Palestina. Terutama soal tujuan yang dikemukakan Menlu Turki bahwa hubungan dengan Israel dapat digunakan sebagai lobi kepentingan Palestina.
Namun demikian, perspektif moderat itu agaknya akan berbenturan dengan konstruksi identitas kubu Islam konservatif di tanah air selama ini, termasuk keterkaitannya dengan strategi menarik simpati khalayak dalam dimensi politik.
Hal tersebut dapat dimaknai melalui publikasi Henri Tajfel dan John C. Turner yang berjudul The social identity theory of intergroup behavior di mana menjelaskan konsep collective self-esteem atau bisa diterjemahkan sebagai gengsi kolektif dalam payung teori identitas sosial.
Dalam konsep collective self-esteem, perilaku kelompok akan bergantung pada apakah mereka sedang berada “di atas” atau “di bawah”, “menang” atau “kalah”, serta pada tingkat identifikasi mereka dengan kelompok lain.
Kecenderungan itu tidak dapat dilepaskan dari identitas yang mendalam dari kelompok tersebut dan selaras dengan kepentingan yang mereka perjuangkan selama ini dalam sebuah interaksi sosial.
Di luar konteks PKS dan kelompok Islam konservatif terhadap normalisasi Turki-Israel, konsep gengsi kolektif dalam sampel sederhana, misalnya, dapat dilihat pada fenomena “bersembunyi di gua” pendukung klub sepak bola tertentu kala tim favoritnya menelan kekalahan.
Sementara itu, di ranah aktualisasi, gengsi kolektif memiliki hubungan tak terpisahkan dengan show and hide strategy yang dikemukakan sosiolog asal Prancis Pierre Bourdieu dalam Sur la télévision atau On Television.
Berkaca pada strategi di media massa, Bourdieu mendefinisikan strategi itu sebagai tindakan memunculkan atau menyembunyikan aspek spesifik sebagai fungsi kendali persepsi dan informasi tertentu di hadapan publik.
Menurutnya, hal ini tak terlepas dari konsekuensi social pressure atau tekanan sosial kala mereka tidak “bersembunyi” atau “menghilang” saat isu kurang menguntungkan menerpa.
Selain itu, berdasarkan pada turunan definisi konsep gengsi kolektif, terdapat kemungkinan bahwa pembelaan Palestina oleh kelompok Islam konservatif Indonesia adalah demi sebuah kepentingan politik tertentu. Mengapa demikian?
Bridget Fowler dalam publikasi berjudul Pierre Bourdieu on social transformation, with particular reference to political and symbolic revolutions menjelaskan bahwa identitas maupun status terkadang dapat berfungsi menyamarkan kepentingan.
Menurutnya, terdapat keuntungan simbolis dari pengelabuan itu yang mana dapat diubah menjadi modal ekonomi maupun politik.
Mengacu pada apa yang dijelaskan Fowler, di titik ini dapat dipahami bahwa aktor politik, secara kolektif dapat menggunakan identitas dan status “konservatisme” dalam membela Palestina untuk mendapatkan sentimen positif dari konstituen yang merupakan target ceruk mereka.
Lalu, apa yang sesungguhnya dapat dimaknai dari normalisasi Turki-Israel dan fenomena gengsi kolektif kelompok Islam konservatif Indonesia?
Saatnya Rangkul Israel?
Normalisasi hubungan diplomatik Turki dan Israel seharusnya menjadi momentum bagi moderasi perspektif PKS dan kelompok Islam Indonesia dalam isu Palestina. Tentu jika dilihat dari kacamata yang tak tendensius dan mengutamakan tujuan konstruktif.
Di saat yang sama, bagi publik dan pemerintah Indonesia, perbandingan relasi diplomatik Turki-Israel juga dapat menjadi referensi sahih untuk secara perlahan membuka hubungan diplomatik resmi dengan Israel. Utamanya dalam konteks membuka saluran lobi baru bagi kepentingan Palestina.
Bahkan, tidak hanya Turki yang jadi negara dengan populasi mayoritas Muslim, hubungan diplomatik Israel dengan Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Mesir, hingga Yordania dapat menjadi perbandingan sikap politik luar negeri yang revolusioner.
Pandangan moderat itu sendiri telah digaungkan oleh Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagaimana dijelaskan Anthony Smith dalam Indonesia’s Foreign Policy under Abdurrahman Wahid: Radical or Status Quo State?.
Apalagi, saat ini organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam terbesar di Indonesia Nahdlatul Ulama (NU) dipimpin oleh Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya, sosok yang memiliki gagasan moderat serupa terhadap isu Israel-Palestina.
Niruban Balachandran dalam In defense of Istibsyaroh menyebut bahwa politik luar negeri negara +62 membutuhkan dialog yang jujur dan terbuka tentang peran dan efektivitas Indonesia, utamanya pada isu Israel dan Palestina
Dari sisi perekonomian pun, tidak ada salahnya untuk membuka jalur diplomatik resmi dengan Israel jika berkaca pada ekspor Indonesia ke Israel yang bisa dimaksimalkan dari apa yang telah dicapai selama ini.
Berdasarkan data yang dihimpun dari Trading Economics, tahun 2021 lalu Indonesia berhasil mengekspor berbagai barang ke Israel senilai US$152 juta. Capaian itu berhasil meningkat hampir 50 persen jika dikomparasikan dengan ekspor di tahun 2016 .
Oleh karena itu, narasi garis keras untuk membela Palestina oleh kelompok Islam konservatif Indonesia, tak terkecuali oleh aktor politik seperti PKS, kiranya harus diluruskan kembali.
Bukan hanya sebagai terobosan dan untuk menegasikan impresi minor seperti gengsi politik, tetapi demi upaya maksimal menciptakan perdamaian bagi konflik laten di Gaza dan Tepi Barat. (J61)