Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menuntut mantan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara hukuman 11 tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Tuntutan ini jauh lebih ringan dari hukuman maksimal pada pasal yang menjerat Juliari, yaitu hukuman kurungan seumur hidup.
Dalam kasus korupsi bantuan sosal (sosial), mantan Menteri Sosial (Mensos) Juliari Peter Batubara terjerat Pasal 12 huruf b Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai tuntutan 11 tahun dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) terkesan ganjil dan mencurigakan. Menurut ICW kesalahan yang dilakukan Juliari sebenarnya telah memenuhi unsur untuk diberikan hukuman maksimal sesuai Pasal 12 huruf b UU Tipikor, yaitu hukuman seumur hidup.
Terkait hukuman terberat bagi pelaku korupsi, pakar hukum dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Prof. Hibnu Nugroho memaparkan secara yuridis, hukuman seumur hidup bahkan hukuman mati sudah diatur dalam Pasal 2 Ayat 2 UU Tipikor.
Dalam penjelasan Pasal 2 Ayat 2, disebutkan bahwa kejahatan korupsi yang dilakukan pada saat bencana alam, krisis ekonomi, dan sebagainya dapat dipidana dengan hukuman mati.
Pakar hukum dari Legal Talk Society, Petrus Richard Siantury menambahkan, dalam kasus Juliari yang dilakukan dalam masa pandemi hal itu secara kerangka hukum, termasuk dalam waktu kahar, waktu “luar biasa”, atau waktu bencana.
Dalam situasi tersebut pula, kejahatan yang dilakukan idealnya akan diancam hukuman yang lebih berat dibandingkan ketika situasi normal.
Nah, yang menjadi permasalahan di sini adalah ancaman hukuman mati terdapat pada Pasal 2 UU Tipikor, sedangkan KPK hanya menjerat Juliari mengenakan sangkaan pasal suap selaku penerima, sesuai ketentuan Pasal 12 huruf a atau huruf b UU Tipikor, sehingga secara otomatis Juliari terhindar dari hukuman terberat (hukuman mati).
Baca Juga: Memahami Logika Juliari Korupsi Bansos Covid-19
Hal inilah yang kemudian menjadi polemik. Sebab semua unsur pidana dan syarat bukti permulaan korupsi sesuai dengan sangkaan Pasal 2 UU Tipikor dirasa sudah terpenuhi.
Terkait hal ini, Juru Bicara KPK Ali Fikri menjelaskan Juliari dijerat Pasal 12 dikarenakan penetapan Juliari sebagai tersangka diawali dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) atau penyelidikan tertutup.
Lanjut Ali, penerapan Pasal 2 UU Tipikor mengharuskan adanya penyelidikan terbuka. Hal ini diperlukan untuk menemukan unsur perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi, dan unsur kerugian negara.
Sejauh ini sampai dengan tuntutan JPU diberikan, KPK sendiri memang tidak melakukan penyelidikan terbuka untuk mengembangkan kasus ini yang ujungnya adalah penerapan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.
Hal ini tentu kontradiktif dengan pernyataan Ketua KPK, Firli Bahuri jauh sebelum Juliari tertangkap yang sesumbar mengatakan bahwa korupsi anggaran penanganan bencana, termasuk penanganan Covid-19, dapat dikenakan hukuman mati.
Lalu, masih mungkinkah Juliari mendapat vonis hakim yang lebih berat?
Intervensi Politik?
Jika merujuk pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tidak ada satu pasal pun di dalam KUHAP (UU No. 8 Tahun 1981) yang mengharuskan hakim memutus pemidanaan sesuai rekuisitor penuntut umum.
Oleh karena itu, hakim memiliki kebebasan untuk menentukan pemidanaan sesuai dengan petimbangan hukum dan nuraninya. Dalam hal pidana terbukti, vonis yang dijatuhkan hakim sangat mungkin lebih rendah atau lebih tinggi dari tuntutan jaksa.
Hakim sangat mungkin untuk memberikan hukuman lebih berat dari tuntutan jaksa. Secara hukum hal ini sama sekali tidak melanggar aturan dalam KUHAP. Dalam bahasa hukum kondisi seperti ini disebut Ultra Petita.
Ultra Petita adalah penjatuhan putusan oleh Majelis Hakim atas suatu perkara yang melebihi tuntutan atau dakwaan yang diajukan oleh JPU atau menjatuhkan putusan terhadap perkara yang tidak diminta oleh JPU.
Dalam konteks Hukum Acara Pidana, putusan tersebut dikeluarkan dikarenakan dakwaan JPU kurang sempurna.
Dan sebagai wujud pengembangan hukum progresif di mana Hakim bukan hanya sebagai corong undang-undang, tetapi merupakan corong keadilan yang mampu memberikan putusan yang berkualitas dengan menemukan sumber hukum yang tepat.
Dari sini kita bisa melihat bahwa dari segi pendekatan hukum, vonis lebih berat sangat mungkin diberikan oleh hakim.
Akan tetapi Mahfud MD dalam buku Politik Hukum di Indonesia memaparkan, hukum tidak bisa dijelaskan melalui pendekatan hukum semata, tetapi juga harus memakai pendekatan politis.
Lebih lanjut, Mahfud dalam teori politik hukum menjelaskan, dalam sebuah negara antara politik dan hukum memiliki keterkaitan, sehingga sering diibaratkan seperti dua sisi mata uang.
Baca Juga: Telisik Ganjaran Juliari-Edhy ala Wamenkumham Eddy
Berbicara tentang relasi antara hukum dan politik, Jean-Jacques Rousseau dalam Du Contract Social memaparkan bahwa sejatinya hukum bekerja dalam sebuah situasi politik tertentu. Dengan demikian idealnya hukum dibuat dengan mempertimbangkan adanya kepentingan untuk mewujudkan nilai-nilai politik tersebut
Dengan dasar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keadilan akan terwujud apabila aktivitas politik yang melahirkan produk dan keputusan hukum memang berpihak pada nilai-nilai keadilan itu sendiri. Inilah yang menjadi dasar bagi kekhawatiran ada intervensi di balik tuntutan pada kasus Juliari.
Pasalnya, berdasarkan temuan yang dilakukan oleh Jeremy Mullholand dan Zainal Arifin Mochtar dari Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (PUKAT UGM) dalam kasus Edhy Prabowo dan Juliari, adanya intervensi terlihat dari pembelokan fungsi-fungsi pemanggilan serta interogasi KPK yang bertujuan memutus kasus ke para pelaku kunci.
Dalam kasus Juliari, misalnya, hilangnya nama anggota parlemen dari PDIP, Ihsan Yunus, dalam surat dakwaan memperlihatkan kejanggalan proses penegakan hukum yang mengakibatkan putusnya rantai perkara ke hulu, yang berimbas pada rendahnya tuntutan JPU.
Terkait hal ini Jeffrey Winters dalam Reflections on Oligarchy: Democracy and the Rule of Law in Indonesia memaparkan bahwa pasca reformasi 1998 sistem demokrasi dan hukum di Indonesia justru beralih pada sistem oligarki.
Hukum yang diharapkan bisa membatasi serta mengawal pemerintahan justru tidak berfungsi, bahkan yang terjadi hukum seolah tunduk kepada penguasa. Dampak dari adanya oligarki selain hukum yang tunduk pada penguasa adalah figur yang lebih kuat dari institusi.
Kasus Sebelumnya
Sekiranya ada harapan publik agar Majelis Hakim menjatuhkan hukuman yang lebih berat terhadap Juliari dari tuntutan yang diberikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU). Namun, jika berkaca pada kasus serupa sebelumnya, diskon hukuman untuk koruptor tidak jarang dilakukan.
Pada kasus Djoko Tjandra, misalnya, tersangka kasus suap status red notice ini mendapat tuntutan dari JPU sebesar 4 tahun penjara ditambah denda Rp 100 juta subsider 6 bulan.
Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi kemudian memvonis Djoko Tjandra 4 tahun 6 bulan penjara. Akan tetapi, setelah mengajukan proses banding, pengadilan mengurangi hukuman Djoko Tjandra dari semula 4 tahun 6 bulan menjadi 3 tahun 6 bulan penjara.
Masih dalam kasus yang sama, Pengadilan Tinggi DKI juga memotong masa hukuman tersangka lain, yaitu Pinangki Sirna Malasari menjadi 4 tahun dari semula 10 tahun berdasarkan vonis pada peradilan tingkat pertama.
Baca Juga: Mungkinkah Juliari Batubara Dihukum Mati?
Well, dari keseluruhan polemik dalam kasus Juliari ini, tentu yang menjadi sorotan utama adalah sikap kontradiktif dari KPK.
Bagaimana tidak, KPK yang sedari awal meyakinkan publik bahkan sesumbar akan menghukum pelaku korupsi di masa pandemi dengan hukuman maksimal, justru tidak terlihat pada kasus Juliari.
Pada akhirnya, terlepas dari berbagai perdebatan yang ada, kita semua tentu berharap agar pelaku korupsi bansos Covid-19 mendapat hukuman setimpal nantinya. (A72)