Sejak awal pandemi, telah banyak usulan agar Terawan diganti dari jabatannya sebagai Menkes. Namun, setelah reshuffle, publik justru terheran mengapa Budi Sadikin yang bukan seorang dokter didapuk sebagai Menkes baru. Yang terpenting, mampukah Ketua Satgas PEN ini merangkul IDI?
“Persistent government paralysis is what breeds demands for a strongman leader” – Francis Fukuyama, dalam Checks and Balances (2017)
Pada 11 Desember kemarin, politikus PKB Jazilul Fawaid mengeluarkan pernyataan menarik bahwa reshuffle kabinet akan dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada hari Rabu di akhir bulan Desember. Kalau tidak Rabu Pon tanggal 23, ya Rabu Kliwon pada 30 Desember.
Meskipun benar pelantikan menteri baru dilakukan pada hari Rabu ini, Presiden Jokowi seolah memberikan “prank” terhadap pernyataan Jazilul. Pasalnya, sehari sebelumnya nama menteri baru sudah diumumkan. Secara de facto, reshuffle sebenarnya terjadi pada hari Selasa.
Dari deretan enam pos menteri yang diganti, ada dua pos yang seperti menjadi jawaban atas kegusaran publik, yakni pos Menteri Agama (Menag) dan Menteri Kesehatan (Menkes). Seperti yang diketahui, sedari awal sudah banyak desakan agar Fachrul Razi dan Terawan yang menempati kedua pos tersebut harus segera dicopot.
Desakan kepada terjadi Fachrul karena berbagai pernyataan kontroversialnya, sementara Terawan karena dinilai tidak memiliki kemampuan manajemen yang cukup untuk menangani pandemi Covid-19. Akan tetapi, sosok yang menggantikan keduanya justru tengah menjadi pusat perhatian saat ini, khususnya mengenai pengganti Terawan.
Baca Juga: Menkes Terawan di Ujung Tanduk?
Ya, eks Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin membuat banyak pihak bertanya-tanya, mengapa seorang lulusan fisika nuklir ditunjuk memimpin Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Melihat perjalanan kariernya, Budi Sadikin memang tidak berkecimpung di dunia kesehatan.
Ia memiliki karier panjang di perbankan. Pernah menjabat Executive VP Consumer Banking PT Bank Danamon Tbk, Direktur of Micro and Retail Banking PT Bank Mandiri Tbk, serta Direktur Utama PT Bank Mandiri.
Budi Sadikin juga tercatat pernah menjabat sebagai Direktur Utama PT Inalum. Selain sebagai Wakil Menteri BUMN, penugasan terakhirnya adalah sebagai Ketua Satuan Tugas Pemulihan dan Transformasi Ekonomi Nasional (Satgas PEN).
Tentu pertanyaan warganet cukup beralasan, mengapa sosok yang bukan dokter dan tidak memiliki riwayat karier di bidang kesehatan justru didapuk menjadi Menkes?
Tidak Harus Dokter
Secara common sense, pertanyaan terkait mengapa bukan dokter yang menempati pos Menkes tentu dinilai sangat krusial, namun benarkah demikian? Jika memang benar demikian, maka Menkes di negara lain, khususnya di negara maju dan negara yang dinilai berhasil menangani pandemi mestilah berlatar belakang dokter.
Nah, common sense tersebut justru tidak menemui pembuktian empirisnya jika melihat data yang ada. Berikut beberapa negara yang dapat dijadikan contoh.
Pertama, di Belanda ada sosok Hugo Mattheüs de Jonge yang justru merupakan lulusan manajemen sekolah. Kariernya sebelumnya juga berada di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan sebagai asisten politik.
Kedua, Menkes Singapura Gan Kim Young adalah lulusan teknik elektro yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Tenaga Kerja.
Ketiga, Jens Spahn yang menjabat Menkes Jerman sejak 2018 merupakan lulusan ilmu politik dan hukum di University of Hagen. Spahn bahkan pernah bekerja sebagai bankir di Westdeutsche Landesbank (Bank State of German).
Keempat, salah satu negara yang dinilai paling berhasil menangani pandemi Covid-19, yakni Selandia Baru, nyatanya memiliki Menkes yang bukan merupakan seorang dokter. Andrew James Little yang menggantikan David Clark adalah seorang lulusan ilmu hukum, filsafat dan kebijakan publik di Victoria University of Wellington.
Kekeliruan Kategoris
Terkait common sense tersebut, kita dapat membedahnya melalui konsep category-mistake (kekeliruan kategoris) yang dikemukakan oleh filsuf asal Inggris, Gilbert Ryle dalam bukunya The Concept of Mind (1949).
Baca Juga: KAMI Terjebak dalam Category-Mistake?
Category-mistake digunakan Ryle untuk memberikan bantahan atas kategorisasi Rene Descartes yang dinilai keliru ketika menyebutkan mind (pikiran) dan body (tubuh) adalah dua entitas yang berbeda dan independen. Menurut Ryle, pikiran manusia adalah buah dari tubuh, yakni proses kognisi otak.
Dalam perkembangannya, konsep Ryle tersebut diadopsi untuk menjelaskan berbagai kekeliruan kategoris yang terjadi di berbagai ranah diskursus. Oleh karenanya, category-mistake kemudian didefinisikan sebagai kekeliruan logis yang terjadi ketika seseorang keliru dalam menentukan atau melakukan kategorisasi.
Irianto Wijaya dalam tulisannya Apa yang Salah Dengan Demokrasi? (2008), misalnya, menggunakan category-mistake untuk membedah kritik yang keliru terhadap demokrasi. Menurutnya, serangan terhadap demokrasi sering kali berkutat pada aspek aplikabilitas, yang karena sulit diterapkan, kemudian menyimpulkan demokrasi sebagai ide yang tidak cocok, atau bahkan salah.
Menurut mantan dosen ilmu filsafat Universitas Indonesia ini, demokrasi adalah suatu ideal akan tatanan masyarakat. Oleh karenanya, jika ingin mengkritiknya, maka harus ditunjukkan bahwa demokrasi bermasalah sebagai suatu ideal atau secara teoretis, dan bukannya diserang melalui aspek aplikabilitas, seperti kesulitan dalam penerapannya.
Mengacu pada category-mistake, kita dapat menyimpulkan common sense yang mempertanyakan latar belakang Budi Sadikin adalah suatu kekeliruan kategoris. Pasalnya, Menkes adalah jabatan dalam pemerintahan, dan bukannya jabatan dalam organisasi kesehatan, seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI).
Dengan kata lain, publik yang bertanya telah keliru dalam melakukan kategorisasi antara mana yang merupakan jabatan pemerintahan, dengan mana yang merupakan jabatan di organisasi kesehatan. Pada jabatan pemerintahan, yang lebih dibutuhkan adalah kemampuan dalam melakukan manajemen.
Apalagi, di tengah situasi pandemi Covid-19, Budi Sadikin yang merupakan Ketua Satgas PEN dapat lebih mudah membuat rencana berkesinambungan antara penanganan bencana kesehatan dengan bencana ekonomi.
Mengacu pada temuan Tempo yang bertajuk Lobi Merombak Formasi Kabinet, Budi Sadikin ternyata sudah dipersiapkan sebagai Menkes sejak Oktober lalu. Ia disebut telah melakukan perjalanan ke Jenewa dan London untuk melobi sejumlah produsen vaksin Covid-19.
Baca Juga: Vaksin Harapan Jokowi, Apa Salahnya?
Menariknya, epidemiolog dari Universitas Indonesia Pandu Riono yang dikenal garang mengkritik kebijakan pandemi pemerintah menilai Budi Sadikin memang layak menjadi Menkes selanjutnya.
Menurutnya, eks Wakil Menteri BUMN ini memiliki visi dan semangat untuk mengatasi pandemi secepatnya, serta memiliki cita-c ita melakukan 16 juta vaksinasi per bulan. Pandu juga menegaskan bahwa tidak harus dokter untuk mereformasi manajemen dan sistem kesehatan publik yang disebutnya lumpuh.
Mampu Rangkul IDI?
Mengacu pada pernyataan Pandu dan kebutuhan segera vaksinasi saat ini, sosok Budi Sadikin mungkin adalah jawaban saat ini. Namun, mengacu pada kasus Menkes sebelumnya, yakni Terawan yang terlihat tidak memiliki hubungan yang baik dengan IDI, tantangan Budi Sadikin tampaknya terkait apakah Ia mampu merangkul IDI atau tidak?
Pasalnya, seteru antara Terawan dengan IDI yang bahkan kentara dilihat oleh publik dinilai turut andil atas kurang baiknya manajemen penanganan pandemi. Itu sangat beralasan, karena IDI merupakan otoritas yang begitu berpengaruh bagi dokter yang menjadi garda terdepan dalam menangani pandemi.
Konteks seteru yang tampaknya membuat penanganan pandemi menjadi tidak efektif dapat kita pahami melalui konsep vetocracy (vetokrasi) yang diperkenalkan oleh ilmuwan politik Amerisa Serikat (AS) Francis Fukuyama.
Dalam tulisannya America in Decay: The Sources of Political Dysfunction (2014), vetokrasi digunakan Fukuyama untuk menggambarkan sistem politik AS yang disebut telah mengalami disfungsi karena sulitnya menelurkan kebijakan secara efisien di tengah tajamnya polarisasi politik.
Menariknya, dalam tulisannya Checks and Balances (2017), Fukuyama menyebut vetokrasi di AS yang mengakibatkan kelumpuhan pemerintahan secara terus-menerus telah melahirkan tuntutan untuk melahirkan seorang pemimpin yang kuat. Konteks itu disebutnya memainkan peran utama dalam dukungan terhadap Donald Trump karena dinilai memenuhi kriteria tersebut.
Baca Juga: Jokowi Terjebak dalam Vetokrasi?
Mengadaptasi konsep vetokrasi Fukuyama, seteru Kemenkes dengan IDI sebelumnya mungkin dapat kita sebut sebagai vetokrasi ala Indonesia. Dengan demikian, saat ini butuh sosok Menkes kuat yang mampu melakukan tugas-tugas besar seperti pemulihan ekonomi, vaksinasi nasional, mereformasi sistem kesehatan, dan memperbaiki hubungan dengan IDI.
Konteks terakhir tampaknya juga menjadi penegasan Ketua Dewan Pertimbangan IDI, Zubairi Djoerban ketika menanggapi pengangkatan Budi Sadikin. Tegasnya, Menkes merupakan posisi manajerial, sehingga yang terpenting adalah kemampuan kerja samanya (team work).
Untuk membantu tugas untuk merangkul IDI ini, posisi Wakil Menkes yang ditempati oleh dr. Dante Saksono Harbuwono tampaknya cukup krusial. Ahli molekuler diabetes yang pernah menjadi tim dokter Kepresidenan ini tidak hanya memiliki tantangan berat membantu Budi Sadikin membenahi manajemen kesehatan, melainkan juga sebagai jembatan penghubungan dengan IDI.
Nah sekarang pertanyaannya, apakah Budi Sadikin bersama dengan dr. Dante akan mampu menjadi jawaban atas masalah yang ada? Adalah waktu yang dapat menjawabnya. Mari kita nantikan. (R53)