Sosok Moeldoko disebut menjadi salah satu sentral baru dalam politik di sekitaran Jokowi. Ketegasannya mengomentari kasus yang menimpa Robertus Robet dengan meminta publik tak mencari popularitas dengan melawan TNI adalah salah satu contohnya. Keberadaan Moeldoko dalam kabinet Jokowi juga seolah menyiratkan bahwa dirinya sangat mungkin berperan besar dan menjadi benteng petahana dalam Pilpres 2019 – bahkan melebihi peran Luhut Binsar Pandjaitan. Benarkah demikian?
PinterPolitik.com
“Saya ingatkan jangan main-main. Tapi kalau masih main-main, saya juga punya mainan”.
:: Moeldoko, terkait hoaks 7 Kontainer Surat Suara ::
[dropcap]N[/dropcap]ama Moeldoko memang tak ada dalam daftar 100 jenderal terbaik sepanjang sejarah dunia, setidaknya versi situs-situs pemeringkat. Namun, jika yang dibicarakan adalah dalam konteks kekuasaan sebuah negara dan hubungannya dengan penguasa, mungkin sang jenderal juga layak untuk dilihat kiprahnya, apalagi jelang Pilpres 2019 ini.
Pasalnya, beberapa waktu terakhir nama mantan Panglima TNI itu semakin sering mencuri perhatian publik. Ribut-ribut penangkapan aktivis sekaligus dosen Robertus Robet oleh pihak kepolisian terkait nyanyian yang dianggap menghina TNI beberapa hari lalu misalnya, ikut mengundang tanggapan Moeldoko.
Setelah sebelumnya kejadian tersebut mendapat tentangan dari berbagai pihak terkait ancaman kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia yang menurut mereka berpotensi dilanggar, Moeldoko memang tak ketinggalan ikut berkomentar.
Luhut telah pensiun sejak 1999 dan tentu punya lebih sedikit ikatan dengan sosok-sosok sentral di militer aktif saat ini. Sementara Moeldoko pensiun pada 2015 dan jelas masih punya ikatan politik dengan bawahan-bawahannya. Share on XMenurut Kepala Staf Kepresiden itu, aksi Robet tetap tidak bisa dibenarkan sebab TNI telah bertransformasi menjadi lebih baik dan kini telah hidup berdampingan dengan masyarakat. Dengan demikian, lagu-lagu lama yang menyudutkan aparat militer selayaknya tidak dipakai lagi. Adapun lagu yang dinyanyikan oleh Robet memang menjadi lagu perjuangan para aktivis di era-era jelang Reformasi 1998.
Moeldoko juga menyebutkan bahwa demokrasi memang menjamin kebebasan berekspresi, tetapi tetap harus ada di dalam koridor hukum dan tata aturan yang berlaku. Ia juga meminta semua pihak untuk tidak mencari popularitas dengan melawan TNI.
Konteks pernyataan Moeldoko ini tentu menarik. Di satu sisi ada ketegasan yang tersirat, sementara di sisi lain ada keinginan untuk membentengi pemerintah – dalam hal ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) – dari upaya-upaya menyerang atau mendelegitimasi kekuasaan mantan Wali Kota Solo itu.
Publik mungkin masih ingat komentar Moeldoko pada Januari lalu terkait isu hoaks 7 kontainer berisi surat suara yang tercoblos yang sempat dituduhkan oleh oposisi. Ia meminta kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Uno untuk tidak menggiring opini masyarakat dan mengikis kepercayaan terhadap pemerintah lewat isu-isu semacam itu.
“Jangan main-main! Kalau main-main, saya juga punya mainan!” demikian kata pria kelahiran Kediri, Jawa Timur itu. Kata-kata tersebut juga menyiratkan bahwa sekalipun telah pensiun dari militer, Moeldoko tetap menjadi benteng dan salah satu garda terdepan yang membela Jokowi.
Komentar-komentarnya itu juga menunjukkan bahwa jelang Pilpres ini, peran Moeldoko terlihat makin sentral. Bahkan, ia lebih banyak tampil di hadapan publik dan memberikan komentar terkait berbagai isu yang ada ketimbang eks jenderal lain macam Luhut Pandjaitan yang untuk waktu yang lama telah menjadi sosok politik di belakang Jokowi.
Dengan konteks posisinya yang baru pensiun belum lama dari militer dan masih berpengaruhnya dukungan politik kubu tersebut, tentu pertanyaannya adalah apakah Moeldoko bisa mengamankan kekuasaan Jokowi untuk periode berikutnya?
Moeldoko dan Tuah Jenderal
Sejak masuk ke kabinet Jokowi pada Januari 2018 lalu, Moeldoko memang menjadi salah satu sosok yang hampir selalu ada di dekat Jokowi. Aksi-aksi naik motor bersama, kunjungan-kunjungan ke daerah dan berbagai kegiatan yang dihadiri keduanya memang menunjukkan bahwa hubungan mereka sudah lebih dari sekedar jabatan semata.
Pada acara pernikahan putri Jokowi, Kahiyang Ayu beberapa waktu lalu, Moeldoko pun menjadi wakil keluarga sang presiden memberikan sambutan pada kesempatan tersebut. Konteks sambutan keluarga ini sudah lebih dari cukup untuk melihat seberapa dekat Jokowi dan Moeldoko.
Bahkan, kalau ingin ditelusuri secara lebih jauh ke belakang, kekuatan politik Jokowi di awal-awal masa kekuasaannya sangat bergantung pada keberadaan Moeldoko yang sejak 2013 hingga 2015 menjabat sebagai Panglima TNI.
Jokowi disebut-sebut pada awalnya “memanfaatkan” kedekatannya dengan militer – dalam hal ini Moeldoko – untuk mengokohkan kekuasaannya di hadapan patron-patron politik seperti Megawati Soekarnoputri dan yang lainnya.
Bukan rahasia lagi, sebagai presiden terlemah setelah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) – demikian kata-kata Jeffrey Winters dari Northwestern University – Jokowi sangat terkungkung oleh posisinya sebagai “petugas partai” yang menjadi predikat yang diberikan oleh Mega.
Ia kemudian menikmati kedekatan dengan Moeldoko di awal-awal masa jabatan sebagai bagian dari upaya perimbangan kekuasaan tersebut dan mengurangi ikatan politik yang membelenggu dirinya dengan Mega serta PDIP.
Strategi Jokowi ini salah satunya diungkapkan oleh Profesor Vedi Hadiz dari Murdoch University, Australia. Menurutnya, Jokowi menggunakan TNI – terutama Angkatan Darat – untuk memperkuat posisi politiknya di hadapan lawan-lawannya saat awal-awal menduduki kursi kekuasaan tertinggi di negeri ini. Hal ini juga semakin terlihat lewat pelibatan militer dalam program-program pemerintah.
Konteks itu semakin kuat terlihat ketika Jokowi memilih mengangkat Gatot Nurmantyo yang berasal dari Angkatan Darat ketika Moeldoko pensiun, ketimbang menyerahkan jabatan tersebut kepada tokoh dari matra lain. Secara umum, Jokowi bisa dianggap menikmati perimbangan kekuasaan itu sebagai hubungan yang saling menguntungkan.
Kemudian, masuknya Moeldoko ke kabinet sebulan setelah Gatot berhenti dari jabatannya, juga disebut-sebut sebagai upaya Jokowi untuk menguatkan basis politiknya di militer pasca keputusannya menunjuk Hadi Tjahjanto yang berasal dari Angkatan Udara sebagai Panglima TNI. Dalam konteks politik, TNI Angkatan Darat memang menjadi matra yang terkuat dan punya sejarah panjang dalam hal kekuasaan.
Hal ini makin menunjukkan vitalnya peran Moeldoko secara politik bagi Jokowi. Pasalnya, sangat mungkin semua jabatan teratas di matra-matra militer masih punya hubungan yang dekat dengan dirinya. Jokowi memang terlihat sangat menjaga hubungan dengan militer ini sebagai hal yang intrinsik dalam konteks kekuasaannya dan upaya untuk kembali memenangkan kursi tertinggi di negeri ini lagi.
Konteks tersebut juga masih berkaitan dengan kedekatan politik-bisnis, mengingat Moeldoko juga dekat dengan beberapa penguasaha besar.
Terkait hal tersebut, Benjamin H. Beets dalam tulisannya yang berjudul The Political Influence of the Military menyebutkan bahwa pasca lengsernya Soeharto dan direformasinya ABRI, posisi militer tetap punya signifikansi yang sangat kuat karena persepsi masyarakat yang masih positif terhadap institusi militer, seiring juga lemahnya institusi-intitusi sipil – seperti DPR dan eksekutif – serta masih kuatnya posisi TNI dalam isu-isu keamanan domestik.
Hal yang terjadi antara Jokowi dan Moeldoko dengan sendirinya membenarkan pandangan Beets tersebut. Militer – baik yang pensiunan maupun yang aktif – masih akan menjadi penentu dalam konteks pergantian kekuasaan di negeri ini.
Jokowi dan Poros Para Jenderal
Lalu, apakah posisi Moeldoko ini bisa dianggap lebih sentral dibandingkan sosok lain, seperti Luhut Pandjaitan, dalam konteks Pilpres 2019?
Jawabannya adalah ya, jika yang dibicarakan adalah dalam konteks pengaruh militernya. Pasalnya Luhut yang telah pensiun sejak 1999 dengan sendirinya punya lebih sedikit ikatan dengan sosok-sosok sentral di militer aktif saat ini. Sementara Moeldoko yang pensiun pada 2015 lalu jelas masih punya ikatan politik dengan bawahan-bawahannya di militer aktif. Walaupun demikian, Luhut tetap akan berperan sangat besar lewat tim-tim bayangan yang dibentuknya.
Ini juga berkaitan dengan mulus atau tidaknya konteks pergantian kekuasaan yang akan berlangsung di tahun ini. Pasalnya, banyak selentingan yang menyebutkan bahwa gejolak dalam tubuh militer sangat mungkin akan terjadi yang ditandai dengan banyak persoalan dalam struktur institusi tersebut. Isu pelibatan perwira menengah dan tinggi ke jabatan sipil misalnya, bukanlah salah satu ide yang muncul begitu saja tanpa gejolak di tubuh TNI.
Artinya, jika Jokowi gagal meredam gejolak tersebut, hal-hal yang lebih besar sangat mungkin akan terjadi sebagai kelanjutannya.
Hal ini tentu saja penting jika konteks politik militer dianggap sebagai faktor yang menentukan aman tidaknya pergantian kekuasaan. Pada Pilpres 2014, konteks pergantian kekuasaan cenderung smooth sebab masih ada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berlatar militer yang berkuasa kala itu. Sedang saat ini, tantangan berbeda lah yang akan terjadi.
Yang jelas, peran Moeldoko akan sangat sentral dalam membentengi Jokowi. Ia mungkin akan menjadi bagian dari praetorian guard atau pasukan pengaman presiden bersama dengan poros para jenderal yang ada di kubu Jokowi. Berbekal rekam jejaknya, sulit untuk mengabaikan pentingnya peran Moeldoko.
Tetapi, apakah akan semudah itu? Tidak ada yang tahu pasti.
Yang jelas, sejarah mencatat bahwa jenderal Macrinus yang merupakan petinggi praetorian guard di era Romawi adalah orang di balik kejatuhan Kaisar Caracalla di tahun 271 M. Apakah hal serupa akan terjadi pada Moeldoko? Tak ada yang tahu pasti juga. Yang jelas, seperti kata Moeldoko di awal tulisan, ia punya mainan! (S13)