Gatot jadi rebutan untuk masuk tim sukses Jokowi-Ma’ruf maupun Prabowo-Sandiaga.
PinterPolitik.com
[dropcap]B[/dropcap]etapa malangnya nasib Gatot Nurmantyo. Mantan Panglima TNI tersebut pernah menjadi primadona jelang pendaftaran Pilpres 2019. Media massa dan media sosial membicarakan namanya sebagai sosok potensial untuk bertarung di pesta demokrasi tersebut. Sayang, fakta terkini justru menggambarkan sang jenderal harus menjadi penonton di gelaran akbar tersebut.
Meski impiannya menjadi capres atau cawapres telah kandas, nampaknya pesona Gatot masih sangat menyilaukan. Terbukti, dua kubu yang akan bertarung, Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sama-sama berharap Gatot mau bergabung dengan kubu mereka.
Kubu Jokowi-Ma’ruf misalnya berharap Gatot mau menjadi ketua tim kampanye nasional mereka. Di sisi yang lain, kubu Prabowo-Sandiaga juga membuka pintu jika mantan Pangkostrad tersebut mau berlabuh di sisi mereka.
Terlihat bahwa Gatot jadi rebutan dari masing-masing kubu. Kedua kubu sama-sama berharap sang jenderal akan memberikan tuahnya kepeda mereka. Lalu, tuah apa yang bisa diberikan oleh Gatot kepada pasangan capres-cawapres yang ia dukung?
Dampak Dukungan Jenderal
Sebagai seorang mantan Panglima TNI, wajar jika dukungan atau endorsement Gatot jadi rebutan. Dengan pangkat dan jabatan militer setinggi Gatot, ia memiliki pengaruh yang cukup untuk mengubah pilihan orang. Fenomena seperti ini sudah terjadi sejak sejarah militer itu sendiri.
Di Amerika Serikat (AS) misalnya, endorsement dari kalangan militer telah ada sejak era George Washington menjadi presiden. Sejak masa itu, menurut James Golby, Kyle Dropp dan Peter Feaverpara politisi telah memahami pentingnya nilai politik dari kalangan militer yang memiliki keistimewaan.
Soal muncul nama pak Gatot Nurmantyo sbg calon Ketua Timses JKW-Ma'ruf menarik disimak.
Bisa jd pk JKW buat kejutan rekrut pk Gatot sbg ketua. Tentu langkah tsb bakal menyegarkan situasi.
Menunggu restu & dukungan dr partai pendukung.
*FA*
— Faizal Assegaf (@faizalassegaf) August 23, 2018
Golby, Dropp, dan Feaverpara menyoroti bahwa upaya dukungan politik ini tidak menyasar pensiunan militer secara sembarangan. Umumnya, para politisi akan mengamankan anggota militer dengan pangkat tinggi seperti jenderal atau laksamana. Dari dukungan tersebut ada pesan yang ingin disampaikan bahwa petinggi-petinggi militer ini percaya kandidat yang didukungnya bisa menjadi panglima tertinggi (commander in chief) yang baik.
Daftar nama pensiunan jenderal yang memberikan dukungannya kepada kandidat tertentu terus-menerus bertambah seiring dengan perkembangan zaman. Teranyar, di Pilpres AS 2016, baik Donald Trump maupun Hillary Clinton sama-sama berhasil mengamankan mantan petinggi militer dengan CV mentereng.
Trump misalnya mendapatkan dukungan dari Michael Flynn yang pernah menjabat sebagai kepala Defense Intelligence Agency. Sementara itu, Clinton meraih sokongan dari veteran perang Afghanistan John Allen.
Menurut Steve Corbett dan Michael J. Davidson, ada beberapa peran yang membuat dukungan seorang perwira militer menjadi sangat penting dalam pemilu, khususnya pemilu presiden. Secara spesifik, Corbett dan Davidson menyoroti bahwa ada akibat dari dukungan politik purnawirawan militer elite terhadap anggota-anggota militer aktif.
Menurut Corbett dan Davidson, endorsement tersebut dapat membuat para anggota aktif menjadi lebih partisan. Prestise dari pensiunan militer ini dapat menimbulkan efek riak di dalam militer aktif sehingga dapat menggeser militer profesional menjadi lebih partisan.
Sejauh ini, baik kubu Jokowi-Ma’ruf maupun Prabowo-Sandiaga sama-sama telah melakukan praktik tersebut. Jokowi misalnya sudah memiliki mantan Panglima TNI Moeldoko di struktur tim pemenangannya. Di sisi yang lain, Prabowo juga memiliki sosok eks Panglima TNI yang lain, yaitu Djoko Santoso. Hadirnya Gatot dapat menjadi pelengkap yang penting bagi kumpulan jenderal di masing-masing kubu.
Perkuat Jejaring Militer
Sebagaimana disebutkan Corbett dan Davidson, dukungan dari anggota militer dapat memiliki pengaruh terhadap anggota militer aktif. Dalam konteks Gatot, hal serupa sangat mungkin terjadi. Sebagai Panglima TNI yang baru saja pensiun, jejaring Gatot di kalangan militer aktif masih tetap terjaga.
Secara spesifik, jejaring Gatot paling kuat berada di matra tempat ia dibesarkan, Angkatan Darat (AD). Bagi kubu Jokowi, jika Gatot mau berlabuh, dukungannya menjadi sangat krusial. Selama ini, berhembus kabar bahwa kandidat petahana ini tidak terlalu populer di depan anggota-anggota TNI AD.
Indikasi merenggangnya hubungan antara Jokowi dengan TNI AD merebak saat mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut menarik Moeldoko ke lingkar istana. Moeldoko disebut-sebut disiapkan untuk meredam riak antara Jokowi dan TNI AD.
Saya sebagai prajurit ditakdirkan untuk mengabdi kepada bangsa dan negara tanpa batas waktu. Apabila negara dan rakyat memanggil pasti saya siap. Berikut video siaran ulang 10 tanya jawab bersama saya di Seputar iNews Siang RCTI.https://t.co/YWCyuYJTjp
— Gatot Nurmantyo (@Nurmantyo_Gatot) August 1, 2018
Sumber kerenggangan hubungan antara Jokowi dan TNI AD masih memiliki kaitan dengan Gatot. Kala itu, Gatot memang seperti memiliki aspirasi politik tersendiri yang berbeda dengan Jokowi. Gatot sendiri masih memiliki pengaruh kuat terhadap tentara-tentara aktif.
Untuk meredam kerenggangan tersebut, maka jelas TNI AD harus dipegang, atau jika meminjam istilah Corbett dan Davidson, dibuat partisan. Dalam konteks ini, nama Gatot sangat penting untuk dipegang Jokowi karena pengaruh kuatnya di dalam angkatan.
Dengan begitu, tidak hanya ketegangan yang dapat diredam, tetapi Jokowi juga berpotensi mendapat dukungan dari anggota-anggota TNI AD yang menjadi partisan. TNI AD bisa saja lebih mudah digerakkan Jokowi karena patron utama mereka sudah merapat.
Di sisi yang lain, dukungan Gatot di kubu Prabowo juga akan menjadi hal yang menguntungkan. Jejaring sang jenderal di TNI AD akan menjadi antitesis yang cukup baik untuk melawan jejaring di kubu lawan. Sebagai petahana, jejaring Jokowi di TNI, Polri, dan bahkan intelijen tergolong lebih mapan.
Jokowi misalnya terlihat berusaha memanfaatkan posisinya sebagai petahana dengan memberikan instruksi kepada anggota TNI-Polri untuk mempublikasikan kesuksesan pemerintah. Kuasa petahana ini jelas merugikan Prabowo sebagai kompetitor. Apalagi, cerita ketidaknetralan polisi, militer, dan intelijen sudah banyak ragamnya.
Dengan melabuhkan Gatot ke kubu Prabowo, keuntungan Jokowi sebagai petahana dapat sedikit dikurangi. Pengaruh Gatot yang masih kuat di angkatan perang aktif dapat membuat unsur partisan TNI, terutama TNI AD lebih berat ke Prabowo.
Secara spesifik, dukungan TNI AD bisa menjadi pembeda bagi Prabowo. Hal ini dikarenakan kubu mereka bisa saja kesulitan untuk mengendalikan aparat negara yang lain, yaitu kepolisian dan intelijen. Dengan dukungan Gatot, maka pertarungan antar jejaring aparat negara bisa lebih berimbang bagi Prabowo.
Tuah Gatot yang Lain
Di luar jejaringnya dengan anggota-anggota aktif di militer, kubu yang disinggahi Gatot bisa mendapatkan keuntungan lain. Sang jenderal tidak hanya memiliki jejaring di internal militer, tetapi juga di luar militer.
Di mata publik misalnya Gatot tergolong sebagai sosok yang populer. Dalam berbagai survei, pria kelahiran Tegal tersebut hampir selalu mendapatkan persentase yang signifikan. Tak jarang, ada lembaga survei yang membuat simulasi Gatot sebagai kandidat potensial untuk menghadapi Jokowi sebagai petahana.
Sebagaimana disebutkan oleh Golby, Dropp, dan Feaverpara, jika Gatot mendukung salah satu capres, maka akan ada pesan bahwa ia merestui capres tersebut untuk menjadi panglima tertinggi di negeri ini. Pesan dari orang sekaliber Gatot bisa saja lebih mudah untuk diamini masyarakat, khususnya mereka yang bersimpati pada Gatot.
Meski bukan tokoh politik, Gatot nyatanya tetap memiliki kelompok pendukung setia. Di hari-hari jelang pendaftaran capres dan cawapres, ia mendapatkan dukungan dari berbagai kelompok relawan. Tercatat misalnya ada kelompok relawan Gatot Nurmantyo untuk Rakyat (GNR) dan Relawan Selendang Putih Nusantara (RSPN) yang bergerak meski tidak disokong mesin partai.
Kelompok relawan yang dimiliki Gatot tentu potensial jika mampu diraih oleh kubu Jokowi maupun Prabowo. Saat ini, di tengah belum jelasnya sikap Gatot, suara kelompok relawan ini terbelah. GNR lebih condong kepada Jokowi-Ma’ruf, sementara RSPN mendukung Prabowo-Sandiaga.
Secara spesifik, popularitas Gatot dapat bersumber dari kedekatannya dengan kelompok Islam. Meski bukan golongan Islam santri, Gatot terlihat cukup digemari oleh kelompok-kelompok Islam. Secara khusus, mantan Panglima TNI ini tampak cukup memiliki tempat di hati golongan Islam konservatif.
Jika Gatot mau berlabuh ke salah satu kubu, maka mereka akan mendapatkan amunisi yang cukup lengkap. Tidak hanya sekadar jenderal, Gatot adalah sosok militer berpeci putih yang bisa menarik suara kaum Muslim. Oleh karena itu, wajar jika Gatot jadi rebutan.
Selain faktor popularitas, Gatot juga bisa saja memberikan tuah khusus untuk urusan pendanaan. Mantan Pangkostrad ini diketahui memiliki kedekatan dengan taipan Tomy Winata. Gatot sendiri tidak membantah hubungannya dengan pengusaha tersebut. Bukan tidak mungkin Gatot bisa membuka jejaring pendanaan ke pengusaha sekelas Tomy.
Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, sangat wajar jika Gatot jadi rebutan. Jejaringnya dan pengaruhnya terlalu berbahaya jika harus dilewatkan. Sejauh ini, sang jenderal belum menunjukkan sikap resmi, karenanya menarik untuk dilihat manuver Gatot berikutnya. (H33)