HomeNalar PolitikTrump Menang, Jokowi-Tiongkok Berjaya?

Trump Menang, Jokowi-Tiongkok Berjaya?

Seri Pemikiran Kishore Mahbubani #16

Genderang Pilpres Amerika Serikat (AS) kini telah makin mendekati puncaknya. Di tengah pandemi Covid-19 yang entah akan berakhir kapan, negeri Paman Sam itu sepertinya memang akan tetap menggelar kontestasi elektoral 4 tahunan. Namun, Pilpres kali ini juga dikelilingi berbagai isu terkait politik internasional, di mana Tiongkok disebut-sebut cenderung lebih suka jika Trump kembali berkuasa. Benarkah demikian?


PinterPolitik.com

“I can confidently predict that between now and November, the relations between the U.S. and China will get worse. Because the easiest way to win votes in the United States is to bash China”.

::Kishore Mahbubani, akademisi dan mantan diplomat Singapura::

Menariknya, di tengah ragam kritik dan sorotan terhadap pemerintahannya, Presiden Donald Trump sepertinya masih akan menjadi kandidat kuat dalam kontestasi elektoral ini. Ia akan menghadapi Joe Biden yang menjadi kandidat dari Partai Demokrat.

Di atas kertas, dengan kondisi politik seperti saat ini, Biden seperti cukup unggul dibandingkan lawannya. Beberapa lembaga survei misalnya, menampilkan hasil jajak pendapat yang menempatkan Biden unggul atas Trump. Bahkan, dengan isu penanganan Covid-19 dan bagaimana Trump menyikapi isu-isu politik domestik serta luar negeri lainnya, banyak pihak yang memang cenderung mengunggulkan Biden.

Dalam konteks geopolitik internasional, beberapa pihak menyebutkan bahwa jika Trump kembali menang dan membalikkan semua prediksi lembaga-lembaga survei tersebut – yang jelas terjadi juga saat Pilpres 2016 lalu – maka akan ada dampak signifikan yang terjadi. Hal ini salah satunya disinggung oleh diplomat dan mantan akademisi asal Singapura, Kishore Mahbubani.

Dalam wawancara dengan Fortune beberapa waktu lalu, Mahbubani menyinggung konteks Pilpres AS itu dari perspektif persaingan negara adikuasa itu dengan Tiongkok. Bahkan, Mahbubani menyebutkan bahwa jika Trump kembali menang pada Pilpres di tahun ini, maka hal tersebut akan mempercepat “kejayaan” Tiongkok di panggung internasional sebagai global leader alias pemimpin global.

Tentu pertanyaannya adalah benarkah demikian? Lalu, faktor apa saja yang menjadi penentu pertarungan AS dan Tiongkok dalam kaitannya dengan pertarungan Trump vs Biden?

Arti Trump untuk Tiongkok

Dalam penjelasannya, Mahbubani menyebutkan bahwa ada dua faktor penting yang akan menentukan kesuksesan pembangunan di sebuah masyarakat di era saat ini.

Yang pertama adalah kapitalisme pasar besar yang berjalan dan diatur oleh invisible hand alias tangan yang tidak terlihat. Kapitalisme menjadi bahan bakar pembangunan dan kemajuan masyarakat karena menjadi penggerak ekonomi.

Sementara faktor yang kedua adalah visible hand alias tangan terlihat dari pemerintahan yang baik atau good governance. Dalam tulisan sebelumnya yang membahas Magic MPH terkait meritokrasi, pragmatisme dan kejujuran, telah disinggung bagaimana Mahbubani melihat konteks pemerintahan yang baik dan bersih menjadi kunci keberhasilan pembangunan yang terjadi di banyak negara, terutama di Tiongkok.

Baca juga :  Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Artinya, dua variabel ini akan sangat saling menentukan satu dengan yang lainnya. Sayangnya, menurut Mahbubani, di bawah kekuasaan Trump, AS hanya berjalan dengan satu tangan alias dengan invisible hand saja yang berfokus pada ekonomi. Sementara persoalan good governance seolah “disingkirkan” secara tidak langsung.

Hal ini sebetulnya bukan persoalan Trump semata, tetapi AS secara keseluruhan, utamanya sejak era Ronald Raegan. Mantan aktor Hollywood yang kemudian menjadi Presiden ke-40 AS itu memang terkenal dengan pernyataannya yang menyebutkan bahwa pemerintah bukanlah solusi dari masalah, melainkan menjadi masalah itu sendiri.

Gelombang Raeganisme ini – jika ingin disebut demikian – memang menandai angin kencang neoliberalisme di panggung internasional yang secara ketat membatasi peran pemerintah dari ekonomi. Mahbubani menyebut fenomena itu mendelegitimasi, mendemoralisasi dan menyingkirkan pemerintah dari intisari persoalan ekonomi.

Dalam konteks Pilpres 2020, dibandingkan Trump, Biden disebut akan lebih mampu menyeimbangkan konteks peran pemerintah tersebut. Bahkan, menurut Mahbubani, Biden akan bertindak lebih “sopan” ketika berhadapan dengan Tiongkok, sembari tetap memperhitungkan posisi keduanya secara geopolitik.

Sementara dalam konteks penanganan Covid-19, pemerintahan Trump juga dianggap menanganinya single handedly dengan meletakkan persoalan ekonomi di atas segalanya – hal yang kemudian berujung pada makin turunnya citra negara tersebut di hadapan negara-negara lain.

Menariknya, jika bicara mengenai persoalan ini dari sudut pandang Tiongkok, negara yang dipimpin Presiden Xi Jinping tersebut disebut justru lebih tertarik jika Donald Trump kembali terpilih. Alasannya jelas karena di bawah kekuasaan Trump, posisi politik AS di dunia internasional terus tergerus.

Artinya, jika Tiongkok ingin tampil sebagai penguasa baru alias new global standing leader, maka kemenangan Trump akan menjadi kunci utamanya. Ini seperti mengulang kisah bagaimana Trump bisa memenangkan Pilpres 2016 lalu dengan segala tuduhan intervensi yang dilakukan oleh Rusia di belakangnya.

Dalam konteks yang berbeda, kemenangan kembali Trump juga akan menegaskan posisi AS sebagai negara yang makin cenderung menuju ke plutokrasi – sebutan untuk model pemerintahan yang dikuasai oleh orang kaya. Dalam tulisan yang lain, Mahbubani memang mengutip pernyataan peraih hadiah Nobel, Joseph Stiglitz yang menyebut plutokrasi sebagai pemerintahan yang dikuasai dari 1 persen, oleh 1 persen dan untuk 1 persen dari total masyarakat di sebuah negara. Demokrasi di AS besar kemungkinan pada akhirnya dikalahkan oleh kelompok orang-orang kaya ini.

Baca juga :  Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Dari penjabaran tersebut, jelas bahwa Pilpres AS 2020 akan punya dimensi yang sangat luas terhadap kondisi politik internasional. Ini juga akan menjadi penegas kemungkinan makin kuatnya posisi Tiongkok secara geopolitik. Apalagi, negara tersebut juga kini tengah menjalankan “politik vaksin” dengan menggunakan vaksin Covid-19 sebagai jalan menggalang dukungan dari dunia internasional.

Jika demikian, lalu apa yang bisa dipetik Indonesia dari fenomena ini?

Mengunci Sukses Jokowi

Setidaknya, apa yang terjadi di AS akan mengembalikan kita ke perdebatan tentang dua kunci untuk mencapai masyarakat yang sukses seperti yang disebut oleh Mahbubani. Invisible hand lewat kapitalisme pasar bebas sudah selayaknya digariskan beriringan dengan visible hand lewat penciptaan good governance atau pemerintahan yang baik dan bersih.

Indonesia sendiri di bawah pemerintahan Presiden Jokowi memang sudah selayaknya melihat variabel ini sebagai jalan keluar untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Apalagi, kunci kedua – yakni penciptaan good governance – masih menjadi tantangan yang paling berat yang harus dihadapi.

Kasus korupsi masih merajalela, penyalahgunaan wewenang juga terjadi di mana-mana, sementara institusi penegak hukum juga mengalami pelemahan.

Sebut saja bagaimana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini tidak lagi dianggap sebagai lembaga yang bertaji setelah perangkat hukum yang menjadi payungnya – yakni Undang-Undang KPK – direvisi dengan segala kewenangan yang mulai dibatasi. Padahal, seperti di Tiongkok, pemberantasan korupsi yang bertaji dan berani adalah kunci utama arah gerak menuju kemajuan negara.

Sementara itu, publik juga masih disuguhkan dengan kasus-kasus macam Djoko Tjandra, kapasitas birokrasi yang melempem – katakanlah sepanjang penanganan Covid-19 – dan masih banyak lagi persoalan-persoalan lain yang tidak menggambarkan citra good governance itu sendiri.

Jangan sampai pada suatu titik, Indonesia justru masuk dalam rezim Raeganisme baru yang menempatkan pemerintah sebagai sumber masalah utamanya.

Pada akhirnya, Pilpres AS akan menjadi pertaruhan besar bagi kondisi politik internasional. Selain mengambil hikmah dari intisari persoalan yang tengah dihadapi oleh AS dan Tiongkok, Indonesia juga harus bersiap untuk segala kemungkinan yang ada. Let’s say, jika Joe Biden menang, akan seperti apa pendekatan politik AS ke Indonesia, atau jika Trump kembali menang, akankah ada perubahan pendekatan politik dari waktu sebelumnya.

Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.