Site icon PinterPolitik.com

Trump Kuak Pentingnya Prabowo di 2024?

Trump Kuak Pentingnya Prabowo di 2024

Prabowo Subianto saat menghadiri pelantikan Presiden Joko Widodo untuk di gedung kompleks parlemen, Jakarta, 20 Oktober 2019 lalu. (Foto: Reuters)

Seri pemikiran Fareed Zakaria #23

Upaya gugatan yang dibarengi narasi konspiratif terkait kecurangan Pilpres AS 2020 yang diejawantahkan Presiden Donald Trump dinilai berbahaya bagi politik dan demokrasi negeri Paman Sam. Lantas, apakah refleksi makna dari fenomena ini bagi politik Indonesia terutama pada konteks Pilpres 2024?


PinterPolitik.com

Petarung sejati selalu bertempur hingga titik darah penghabisan. Mungkin ungkapan itu tepat untuk menggambarkan bagaimana usaha Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dalam membuktikan bahwa dirinya tidak kalah dari Joe Biden dalam ajang Pilpres 3 November lalu.

Meksi perhitungan yang nyaris rampung tak berpihak pada Trump dengan margin kekalahan yang cukup gamblang, dirinya menempuh mekanisme hukum untuk membuktikan justifikasinya.

Trump menyebut kekalahan yang terlihat dari Biden adalah kecurangan pemilu. Penyimpangan yang Ia sinyalir terjadi di negara bagian Pennsylvania dan Michigan, misalnya, menjadi landasan bahwa seluruh proses pemilu tidak konstitusional.

Kendati demikian, sejumlah pakar hukum di AS melihat sejauh ini tidak ada gugatan hukum dari Trump yang tampaknya akan mengubah hasil Pilpres. Berbagai tuntutan yang mengemuka pun tampaknya tidak akan menghasilkan apa-apa, ketika seorang hakim dari Michigan, Cynthia Stephens menyebutnya sebagai “desas-desus dalam desas-desus yang tidak dapat diterima”.

Fareed Zakaria dalam kolom tulisan terbarunya di The Washington Post, menyoroti bahwa serangkaian tuntutan dan narasi yang dibangun Trump itu bersifat sangat destruktif.

Dengan retorikanya, Trump disebut mendeligitimasi pemilu dan suara warga AS dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya dan akan mencederai secara serius sistem politik dan budaya demokrasi negeri Paman Sam.

Fenomena yang sekilas serupa tapi tak sama nyatanya juga pernah terjadi pada Pilpres di Indonesia edisi terakhir. Ketika itu, kubu Prabowo Subianto tak menerima hasil pesta elektoral dan melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Cerita berakhir setelah klaim kubu Prabowo dianulir hakim konstitusi, plus berkesudahan antiklimaks saat Prabowo memutuskan untuk bergabung dalam koalisi politik kubu yang mengalahkannya.

Namun pada konteks AS dan yang jadi pertanyaan, mengapa Trump menampilkan retorika dan narasi yang dianggap Fareed berbahaya itu? Lalu, apakah pembelajaran dari hiruk pikuk semacam ini bagi kontestasi elektoral Indonesia, khususnya pada Pilpres 2024 mendatang?

Bukan Sekadar Retorika?

Dalam menjawab hal tersebut, dalam Trump’s Contempt for Democratic Norms Could Haunt Us for Years, Fareed menggunakan perspektif historis bahwasanya apa yang dilakukan Trump adalah paralel sejarah.

Teori stab in the back atau mitos pengkhianatan yang pernah dilakukan kaum sayap kanan Jerman pada 1918, disebut seperti sedang ditampilkan Trump saat ini.

Pasca kekalahan di Perang Dunia I, kelompok ultra sayap kanan mengarang mitos bahwa Jerman sebenarnya di ambang kemenangan pada November 1918. Namun mereka mengklaim bahwa akhirnya menyerah karena tudingan konspiratif yang terkait dengan intervensi komunis hingga kelompok Yahudi.

Sejarawan AS, Benjamin Carter Hett dalam bukunya yang berjudul The Death of Democracy: Hitler’s Rise to Power and the Downfall of the Weimar Republic menyebut bahwa teori stab in the back dapat bekerja karena trauma atau perasaan yang tak menyenangkan atas kekalahan.

Akibatnya, jutaan orang Jerman percaya narasi tersebut bukan karena terbukti benar, akan tetapi karena hal tersebut dibutuhkan secara emosional.

Fareed mengutip seorang penulis dan sejarawan AS lainnya dengan spesialisasi sejarah Eropa Tengah dan Timur, yakni Timothy David Snyder. Snyder merefleksikan betapa berbahayanya retorika dan narasi stab in the back tersebut ketika seolah digunakan Trump sebagai senjata utama untuk menantang hasil Pilpres lalu. Menurutnya, ketika narasi itu sudah terlontar untuk pertama kalinya, semua hal kemudian dapat dikatakan, dilakukan, dan dijustifikasi.

Ya, Trump memang kerap melemparkan narasi merasa “dicurangi” baik melalui pernyataan maupun lontaran unggahan di media sosial yang jadi ciri khasnya. Seperti mengunggah ulang video aktor Jon Voight yang di dalamnya terujar bahwa kondisi saat ini merupakan pertempuran terbesar sejak Civil War, sekaligus pertarungan kebenaran melawan setan.

Selain itu, nyaris seluruh cuitan Trump di Twitter merupakan seperti ekspresi lanjutan dari narasi stab in the back – persis seperti apa yang dikatakan Snyder – yang cukup diyakini sejumlah besar orang-orang di Partai Republik maupun pendukung setia Trump.

Kendati terkesan hanya berupa desas-desus seperti yang dikemukakan Stephens karena bahkan Twitter melabeli setiap unggahan Trump dengan peringatan “This claim about election fraud is disputed”, namun keyakinan tersebut sesungguhnya patut menjadi sorotan tersendiri.

Klaim Trump sejauh ini sendiri diwarnai sejumlah variabel seperti intervensi media yang jauh dari proporsional, hingga pertempuran di belakang layar yang diklaim melibatkan mesin elektronik pemungutan suara, Smartmatic, yang digunakan di beberapa negara bagian dan dituding dikendalikan oleh miliarder George Soros – salah satu donatur tim pemenangan Biden.

Terlepas dari sejauh mana nilai kebenarannya karena proses dan upaya hukum masih berjalan, yang jelas beragam variabel tersebut berkontribusi signifikan dalam mendukung fundamental klaim Trump.

Namun getirnya, lontaran narasi tersebut secara dramatis menggerakkan massa pendukung Trump untuk turut memprotesnya secara keras di jalanan, mulai dari Philadelphia hingga Washington DC.

Khusus protes bertajuk “Millions Maga March” di kota terakhir yang terjadi pada Sabtu lalu, bahkan berakhir bentrokan dengan warga lain yang berakibat satu orang terkena tusukan senjata tajam. Hal ini langsung menggambarkan bahwa polarisasi hebat memang tengah terjadi di negara Adidaya itu.

Dampak semacam inilah yang tepat sehari sebelumnya telah disebutkan Fareed. Meski terdengar klise, sistem politik Ia katakan tetaplah tak sekadar kumpulan hukum dan aturan belaka, melainkan juga akumulasi dari norma dan perilaku.

Trump disebut Fareed telah merobek-robek banyak norma dan akan memberi efek besar yang bertahan lama pada kultur politik dan demokrasi AS selama beberapa dekade.

Namun terlepas dari hingar bingar Pilpres AS yang dinamikanya masih terus bergulir, tendensi serupa agaknya hampir terjadi di Indonesia pada ajang Pilpres 2019 lalu. Akan tetapi, dampaknya seakan tak seperti apa yang Fareed katakan. Benarkah demikian?

Di Indonesia, Prabowo Adalah Kunci?

Ya, kemudaratan yang berhulu dari narasi bertendensi konspiratif yang dikhawatirkan Fareed, tampak berhasil dihindari di Indonesia pasca Pilpres 2019 lalu. Prabowo Subianto dinilai menjadi sentral dari keputusan yang mereduksi potensi polarisasi hebat yang berkepanjangan di akar rumput.

Sandiaga Uno, kandidat pendamping Prabowo mengungkapkan bahwa eks Danjen Kopassus memilih untuk bergabung dengan pemerintah salah satunya dikarenakan untuk menghindari potensi yang bisa memecah-belah keutuhan bangsa.

Memang tampaknya harus diakui, bergabungnya Prabowo ke dalam pemerintah sedikit meredam gejolak konfrontatif, bahkan gesekan konfliktual antara pendukungnya dengan pendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Jika dilihat secara luas, hal itu seolah juga merupakan andil dari strategi politik kubu Prabowo itu sendiri. Namun alasan keputusannya bergabung dengan pemerintah tampak seirama dengan Fareed bahwa peran nilai dan perilaku menjadi penting dalam kultur serta sistem politik dan demokrasi.

Perbedaan sistem kepartaian, hingga kondisi sosial masyarakat di Indonesia yang lebih “cair”, menjadikan kemudaratan yang dikhawatirkan memang dapat dihindari.

Akan tetapi, keputusan Prabowo itu nyatanya memiliki efek samping tersendiri. Preseden oligarki dan kroni politik akibat koalisi pemerintah yang terlampau besar seketika mengemuka seiring dengan kompromi politik yang ada.

Efek samping yang dalam The Rise of Illiberal Democracy disebut Fareed sebagai illiberal democracy atau kondisi ketika demokrasi seolah eksis namun partisipasi dan kebebasan sipil terbatas.

Preseden itu agaknya cukup sulit dihindari ketika kekuatan politik antara pemerintah dan penyeimbang begitu timpang, dan tercermin dari sejumlah resistensi massa belakangan ini dalam berbagai diskursus regulasi kontroversial.

Menjadi menarik ketika preseden itu secara tak langsung dibawa oleh Prabowo yang notabene menjadi kandidat dengan elektabilitas tertinggi sejauh ini dalam menatap Pilpres 2024.

Pada titik ini, apapun keputusan Prabowo mengenai Pilpres 2024 dinilai memiliki urgensivitas tersendiri dalam menentukan seperti apa kultur serta sistem politik dan demokrasi Indonesia pasca kontestasi elektoral empat tahun mendatang. Mengingat Prabowo tampaknya menjadi satu-satunya tokoh dengan elektabilitas tinggi yang memiliki “prerogatif politik” cukup besar di 2024.

Pengalaman dalam berhadapan dengan dampak minor dari kontestasi elektoral kekinian, seperti polarisasi, hingga preseden illiberal democracy seperti oligarki dan kroni politik sesungguhnya diharapkan akan menjadi senjata Prabowo jika ingin mendapat simpati dan dukungan penuh publik, bukan justru sebaliknya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version