Kabarnya, terdapat pembicaraan antara Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) guna merelokasi pabrik-pabrik AS dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) ke Indonesia. Apakah negara itu kini menjalankan fungsi sebagai “penjaga malam” untuk Indonesia?
PinterPolitik.com
“In the anarchic world of international politics, it is better to be Godzilla than Bambi.” – John J. Mearsheimer, “China’s Unpeaceful Rise” (2006)
Kehadiran pandemi yang disebabkan oleh virus Corona (Covid-19) boleh jadi telah memorak-porandakan nasib banyak negara. Setidaknya, pemerintah-pemerintah di berbagai belahan bumi kini harus kalang kabut menghadapi ancaman krisis, baik dalam bidang kesehatan masyarakat maupun ekonomi.
Republik Rakyat Tiongkok (RRT) misalnya harus menjadi salah satu negara pertama yang menghadapi ancaman ini. Bagaimana tidak? Tepat di saat perayaan Tahun Baru Imlek akan dihelat, pemertintahan Xi Jinping harus bergerak cepat guna menerapkan banyak larangan bepergian bagi rakyatnya.
Alhasil, perjalanan yang biasanya menguntungkan sektor pariwisata harus mandek total. Selain itu, aktivitas ekonomi yang seharusnya dimulai kembali setelah libur Tahun Baru Imlek harus tertunda lebih lama lagi hingga beberapa bulan.
Tak hanya Tiongkok, Amerika Serikat (AS) dikabarkan juga kalang kabut dalam menghadapi Covid-19. Keraguan terhadap pemerintahan Presiden Donald Trump juga terus meningkat.
Ancaman yang mirip kini dihadapi banyak negara lain, termasuk Indonesia. Setelah beberapa minggu kasus positif Covid-19 pertama diumumkan, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) akhirnya mulai menerapkan kebijakan guna mengurangi aktivitas masyarakat, yakni dengan memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Kebijakan ini setidaknya berjalan selama beberapa bulan – membuat sebagian masyarakat harus hidup tanpa pendapatan yang pasti. Beberapa juga harus kehilangan pekerjaan akibat mandeknya aktivitas ekonomi di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia.
Secara ekonomi, kekhawatiran akan kaburnya modal dan investasi asing juga muncul. Target realisasi investasi pun dikabarkan tak terpenuhi.
Just spoke to my friend, President Joko Widodo of the Republic of Indonesia. Asking for Ventilators, which we will provide. Great cooperation between us!
— Donald J. Trump (@realDonaldTrump) April 24, 2020
Namun, di tengah kecemasan seperti ini, sebuah kabar yang dianggap membahagiakan muncul dari salah satu pejabat pemerintahan Jokowi. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengabarkan bahwa pemerintah AS berencana untuk merelokasi pabrik-pabriknya ke Indonesia.
Komunikasi yang erat dikabarkan kini tengah dibangun antara Jokowi dan Trump. Bahkan, Luhut menyebut hubungan antara keduanya bagaikan hubungan persaudaraan.
Tak hanya AS, pemerintah Jepang kini juga dikabarkan akan mengikuti jejak negara Paman Sam tersebut. Kabarnya, dua negara ini tengah menjalin komunikasi terkait kelanjutan rencana relokasi ini.
Terlepas karena adanya pandemi Covid-19 sebagai alasan relokasi, mengapa AS dan Jepang kini memilih Indonesia sebagai negara tujuan pabrik-pabrik mereka? Dinamika politik internasional apa yang mendasari rencana tersebut?
Saatnya Halau Tiongkok?
Boleh jadi, AS kini berusaha melakukan pengimbangan (balancing) terhadap kekuatan Tiongkok. Pasalnya, sebagai negara penantang, Tiongkok bisa saja berkeinginan untuk meningkatkan kekuatannya di dunia.
Setidaknya, John J. Mearsheimer – seorang profesor Hubungan Internasional di University of Chicago – dalam bukunyayang berjudul The Tragedy of Great Power Politics menjelaskan bahwa negara-negara memiliki motivasi untuk meningkatkan kekuatan (power) yang dimilikinya. Tendensi ini muncul karena sifat politik dunia yang anarki – tidak ada kekuatan yang lebih tinggi di antara negara-negara satu sama lain.
Dalam Hubungan Internasional, perspektif seperti ini disebut sebagai perspektif neorealisme ofensif. Dari perspektif ini, Mearsheimer memandang bahwa negara-negara akan berusaha menjadi hegemon kawasan (regional hegemon) guna mendapatkan posisi yang lebih aman di tengah anarki tersebut.
Hal inilah yang kini mungkin tengah dilakukan oleh Tiongkok. Bagaimana tidak? Sebagai negara yang memiliki kekuatan ekonomi yang bertumbuh pesat, negara Tirai Bambu tersebut digadang-gadang akan menjadi kekuatan besar baru setelah AS.
Bahkan, banyak pihak menilai bahwa kebangkitan Tiongkok ini akan terjadi secara damai (peaceful rise) – mengingat kebangkitan negara tersebut dinilai tetap mengikuti kaidah tatanan dunia yang dibangun oleh AS.
Negara-negara akan berusaha menjadi hegemon kawasan (regional hegemon) guna mendapatkan posisi yang lebih aman di tengah anarki dunia. Share on XNamun, penilaian bahwa kebangkitan Tiongkok akan berjalan secara damai ini tidak dibenarkan oleh Mearsheimer. Dalam tulisannya yang berjudul China’s Unpeaceful Rise, Mearsheimer pada tahun 2006 memprediksi bahwa kompetisi keamanan antara AS dan Tiongkok akan terjadi bila pertumbuhan ekonomi negara Tirai Bambu yang terus melejit.
Boleh jadi, apa yang diprediksi oleh Mearsheimer ini benar terjadi kini di bawah Presiden Trump. Mungkin, kompetisi AS-Tiongkok ini kini tercerminkan melalui Perang Dagang dan situasi Laut China Selatan (LCS) yang semakin memanas.
Kompetisi ini akan membuat AS bersikap layaknya pada era Perang Dingin – yakni dengan melakukan pengimbangan (balancing). Mearsheimer menilai bahwa upaya balancing ini akan dilakukan oleh AS bersama beberapa negara lainnya – yakni Jepang, India, Korea Selatan, dan sebagainya – guna menghalau kekuatan Tiongkok.
Di sinilah letak keunikan cara berpikir Mearsheimer. Profesor University of Chicago ini yakin bahwa tidak ada negara yang mampu menjadi hegemon global, termasuk AS. Maka dari itu, AS akhirnya mengandalkan negara-negara lain guna menghalau Tiongkok yang ingin menjadi hegemon kawasan.
Hal ini juga terlihat dari bagaimana akhirnya AS membangun hubungan strategis bersama dengan negara-negara seperti Jepang. Salah satunya adalah dengan membangun Quadrilateral Security Dialogue (Quad) dengan Australia, Jepang, dan India.
Lantas, bila AS melakukan upaya balancing melalui negara-negara tersebut, bagaimana dengan Indonesia? Apakah Indonesia dianggap sebagai kunci di kawasan Asia Tenggara?
“Penjaga Malam” untuk Indonesia?
Boleh jadi, AS kini berpikir bahwa Indonesia merupakan negara yang penting di Asia Tenggara. Bagaimana pun juga, terdapat asumsi bahwa negara kepulauan ini memegang kepemimpinan kawasan Asia Tenggara secara alamiah.
Kebangkitan Tiongkok selain itu bisa jadi telah membuat kawasan Asia Tenggara kini semakin tak stabil. Hal ini terlihat dari bagaimana negara tersebut semakin menggencarkan klaim historisnya atas LCS.
Padahal, sudah menjadi kepentingan Indonesia untuk menjaga stabilitas kawasan di Asia Tenggara. Kepentingan ini seharusnya juga muncul akibat posisi Indonesia yang dianggap sebagai pemimpin alamiah bagi negara-negara Asia Tenggara.
Namun, kemunculan Tiongkok justru membawa malapetaka. Berdasarkan pendekatan neorealis ofensif yang diusung oleh Mearsheimer, negara Tirai Bambu bisa jadi tengah berusaha “menawarkan diri” untuk menjadi hegemon kawasan di Asia Tenggara.
Upaya untuk menjadi hegemon ini juga terlihat dari bagaimana Tiongkok menggalakkan program-program pinjaman infrastruktur yang biasa disebut sebagai Belt and Road Initiative (BRI) – atau One Belt, One Road (OBOR). Rangkaian pinjaman inilah yang disebut-sebut membuat pemerintahan Jokowi terpana dengan Tiongkok.
Meski begitu, ancaman keamanan tampaknya membuat pemerintahan Jokowi tergugah. Beberapa waktu lalu misalnya, Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi kembali menyatakan bahwa Indonesia mendukung ketentuan yang terkandung dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982 guna menolak klaim historis Tiongkok di LCS – yang kebetulan juga tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia.
Boleh jadi, sikap Indonesia ini disebabkan oleh rencana relokasi pabrik yang akan dilakukan AS. Bukan tidak mungkin, negara Paman Sam tersebut tengah mengisi peran yang disebut Mearsheimer sebagai penjaga malam (night watchman).
Mearsheimer menjelaskan bahwa penjaga malam ini akan mengawasi sebuah kawasan. Bilamana satu hegemon kawasan lain muncul, maka penjaga malam ini akan berupaya untuk menghalau kemunculan hegemon baru ini.
Adanya peran penjaga malam ini dinilai juga mampu menciptakan perdamaian dan stabilitas kawasan dengan mencegah adanya ketimpangan keuntungan (relative gain). Mengacu pada penjelasan Mearsheimer dalam tulisan yang berjudul Why Is Europe Peaceful Today?, peran penjaga malam yang dijalankan oleh AS ini membuat Eropa menjadi kawasan yang paling stabil setelah Perang Dunia II berakhir.
Bisa jadi, dengan merelokasi pabrik ke Indonesia, AS berusaha mencegah relative gain antara Indonesia dan Tiongkok. Dengan begitu, balancing kekuatan Indonesia terhadap Tiongkok dapat terjadi.
Meski begitu, gambaran kemungkinan ini belum pasti benar adanya. Pasalnya, rencana AS sendiri belum mengetok palu terkait relokasi pabrik dari Tiongkok. Apalagi, Luhut beberapa waktu lalu menyebutkan bahwa kekuatan Tiongkok tidak dapat terelakkan. Menarik untuk dinanti kisah “drama segitiga” ini selanjutnya. (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.