Setelah berbalas mention keakraban di linimasa twitter, kini sepak terjang Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam menangani Covid-19 dinilai semakin terlihat simultan dengan cara yang ditempuh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump. Apakah Presiden Jokowi mulai berpaling patron dari negeri Tirai Bambu ke negeri Paman Sam?
PinterPolitik.com
Jika publik Indonesia sejenak melihat ke jendela mancanegara, kasus Covid-19 di seluruh dunia masih cenderung fluktuatif dan belum ada tanda pandemi akan mereda secara signifikan. Terlebih ketika menengok negara adidaya Amerika Serikat (AS) yang saat ini menjadi pemuncak daftar negara dengan kasus pandemi Covid-19 terbanyak.
Namun di tengah eskalasi kasus terjangkit di AS, Presiden Donald Trump dikabarkan akan melonggarkan lockdown. Hal ini dinilai menjadi opsi progresif bagi Trump untuk memberikan sinyal kepada pasar bahwa perekonomian negaranya akan segera bangkit.
Pendekatan yang di lingkungan pewarta Gedung Putih disebut dengan econometric ini berbanding lurus dengan berbagai prediksi dan hipotesa ilmiah atas penurunan kasus di AS pada dua bulan ke depan. Hal ini dinilai juga sebagai kabar baik bagi keterpurukan pasar, perekonomian, dan ketenagakerjaan yang melanda selama satu bulan terakhir.
Ancang-ancang yang diambil Presiden Trump sebenarnya telah terlihat beberapa waktu lalu saat mendorong aksi protes dan demonstrasi masyarakat AS di belasan negara bagian untuk menekan para Gubernur agar membuka barikade lockdown.
Selain itu, Trump juga terus menghembuskan nada optimisme kepada rakyat dan pasar AS bahwa pandemi ini pasti akan berakhir. Nada ini juga mendapat dukungan resonansi yang kuat dari tokoh penting Gedung Putih lain seperti Jared Kushner yang juga merupakan menantu Trump, serta tokoh-tokoh sentral Partai Republik di Senat.
Hal yang menarik dari sikap “normal” Trump kali ini adalah dukungan yang besar dari rakyat AS untuk membuka lockdown. Seperti yang diketahui, demonstrasi di lebih dari 12 negara bagian di AS telah terjadi selama dua pekan terakhir di mana masyarakat seolah tidak peduli akan anjuran social distancing.
Argumentasi publik AS tentu bisa sedikit ditebak. Ya, dalam berbagai ekspresi pernyataan, mereka cenderung lebih takut akan kebebasan sosio ekonomi yang terbelenggu dari pada Covid-19 yang bahkan mereka sadari telah membunuh lebih banyak nyawa warga AS dibanding Perang Vietnam.
Satu hal yang cukup mengusik rasa ingin tahu adalah, selain motif perekonomian dan ketenagakerjaan, fenomena apakah yang membuat mayoritas masyarakat AS, termasuk sang Presiden seolah bersikukuh agar lockdown dicabut di tengah kasus yang justru trennya semakin memburuk? Serta apakah manuver Presiden Trump ini akan menjadi patron baru penanganan Covid-19 di Indonesia?
Pergeseran Etos
Paul D. Raskin dalam tulisannya berjudul “System Shift: Pivoting Toward Sustainability” menjelaskan fenomena menarik seputar mindset peradaban manusia yang dinamis. Raskin menyoroti pergeseran etos atau ethos shifting yaitu berubahnya karakter serta pola pikir manusia pada era tertentu yang dimanfestasikan pada aspirasi dan keyakinannya.
Pergeseran tersebut menurut Raskin terjadi pada pemahaman akan keberlangsungan atau sustainability peradaban manusia, di mana dalam dunia yang sangat rentan, dengan karakteristik interdependensi tinggi, consciousness atau kesadaran manusia secara keseluruhan akan bergeser kepada paradigma baru dengan nilai-nilai yang berpengaruh di sebuah era yang baru pula.
Apa yang dinyatakan oleh Raskin tersebut tampaknya sedang dan akan terjadi, bahkan pada hampir seluruh individu di dunia saat ini. Khusus di AS, ethos shifting ini bahkan telah dimanifestasikan dengan paradigma bahwa kekhawatiran publik AS justru tidak terpaku pada potensi bahaya sebuah mikroorganisme yang dapat membunuh mereka. Kekhawatiran mereka seolah cenderung telah berada satu level lebih tinggi dalam aspek tuntutan akan kebebasan atau freedom yang hakiki.
Di era saat ini, konstruksi fenomena ethos shifting di AS terkait tuntutan pencabutan lockdown paling tidak dapat terlihat dari tiga faktor. Pertama, mereka tidak menginginkan perekonomian semakin jatuh ke titik terendah yang akan mengahabiskan energi lebih banyak untuk membangkitkannya.
Kedua, kerugian aspek sosioekonomi masyarakat akibat lockdown harus dibayar sangat mahal terutama seputar mata pencaharian, kesehatan mental, hingga degradasi pola interaksi. Terakhir, tentu status quo kebebasan atau freedom yang merupakan hal mutlak di AS sejak lama membuat lockdown dinilai oleh publik AS sebagai sesuatu yang mengusik nilai luhurnya.
Tentu fenomena ethos shifting pada publik AS ini cukup signifikan maknanya ketika dihadapkan pada mindset kemanusiaan, yang telah menjadi ethos shifting sejak era sebelumnya (pasca Perang Dunia II), di mana tak lagi menjadi prioritas tunggal peradaban manusia akibat pandemi Covid-19 yang seakan menjadi tragedi terdahsyat abad ke-21.
Bahkan, pandemi ini dinilai jauh melebihi efek serangan 9/11 terhadap perekonomian AS. Ketika itu roda bisnis negeri Paman Sam terlalu perkasa dan secara cepat bangkit dari tren minor temporer.
Lalu ketika ethos shifting dikorelasikan secara vertikal, ada indikasi menarik pula bahwa kehendak mayoritas publik AS saat ini yang mengarahkan tuntutan kepada para Gubernur negara bagian masing-masing agar mencabut lockdown, dinilai sedikit banyak dipengaruhi strategi dan gaya kepemimpinan Presiden Trump. Selama mengampu kekuasaan, Trump dikenal cenderung mengedepankan oportunisme supremasi AS dalam berbagai aspek dan dinilai telah merasuki nalar publik, terlebih saat pandemi ini.
Pada titik ini, Presiden Trump seolah berada di atas angin terkait keputusannya untuk segera membuka kembali perekonomian AS ketika pada saat yang sama, publik juga menginginkan kebebasan dari belenggu lockdown yang sangat merugikan. Lantas, jika dibandingkan dengan keterpurukan ekonomi serupa di Indonesia, akankah langkah Presiden Trump akan diikuti Presiden Jokowi?
Jokowi Ubah Haluan?
John Lovell dalam “Foreign Policy in Perspective: Strategy, Adaptation, Decision Making and Foreign Policy Priorities” menyebutkan konsep model adaptif atau adaptive model bagi sebuah negara dalam pembuatan keputusan. Dalam hal ini, model adaptif fokus pada proses adaptasi negara sebagai sebuah respon terhadap lingkungan internal dan eksternalnya yang berpijak pada penilaian negara tersebut akan kapabilitas yang dimilikinya.
Konsep model adaptif Lovell tersebut tentu cukup relevan dengan pembuatan keputusan penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia. Terlebih ketika berhembus narasi pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dari pemerintah dengan dalih sebagai stimulan efektif bagi perputaran aktivitas perekonomian. Sebuah kondisi yang mencerminkan analogi berbeda “lakon” namun serupa makna dengan apa yang terjadi di AS.
Selain itu, konsekuensi dari persoalan perekonomian dan ketenagakerjaan di Indonesia dan AS juga terlihat cukup identik. Kombinasi variabel ini kemudian menjadi faktor pendorong bahwa Presiden Jokowi dinilai akan mengadopsi ancang-ancang serta langkah Presiden Trump dalam penanganan dampak Covid-19 dengan membuka sektor perekonomian dan segala aktivitasnya dalam waktu dekat.
Sementara dari perspektif yang sedikit berbeda namun simultan dengan tulisan Lovell, seorang filsuf AS bernama Thomas Kuhn dalam publikasinya “The Structure of Scientific Revolutions” menyebutkan konsep paradigm shift, bahwa “kiblat” paradigma atau mindset seseorang, dalam hal ini pemimpin, dapat pula mengalami transisi atau pergeseran.
Pergeseran tersebut terjadi ketika opsi paradigma paling relevan akan menjadi panduan terbaik untuk permasalahan di masa depan, dibandingkan hal-hal yang tidak mampu diselesaikan oleh rencana sebuah paradigma yang ada saat ini.
Paradigm shift yang disebutkan oleh Kuhn dinilai tengah terjadi pada Presiden Jokowi saat ini. Satu hal yang disorot ialah ketika Xi Jinping, Presiden Tiongkok yang selama ini Jokowi akui sebagai patron sejak periode pertama kepresidenannya, dirasa tak lagi relevan untuk diteladani ketika pandemi Covid-19 menghantam. Perbedaan karakteristik masyarakat serta kemampuan kedua negara yang signifikan dalam penanganan pandemi disinyalir menjadi jurang pembeda tersendiri.
Langkah Trump untuk membuka aktivitas perekonomian serta mencabut lockdown di AS, yang kemudian sejalan dan bahkan mendapat dukungan publik, ditaksir menjadi daya tarik tersendiri bagi Presiden Jokowi untuk bergeser patron.
Paling tidak pergeseran patron serta adaptasi itu telah terlihat dari beberapa hal antara lain berupa gelagat optimisme Presiden Jokowi bahwa pandemi akan mereda pada bulan Juli, narasi tren penurunan kasus, hingga wacana relaksasi PSBB yang terlontar dari anak buahnya.
Lebih lanjut, jika Presiden Trump memiliki agenda reelection pada pemilu mendatang, Presiden Jokowi ditengarai ingin memperbaiki legitimasi di periode kedua yang masih cukup panjang dengan sebuah manuver signifikan pemberantasan Covid-19 dan berbagai dampaknya. Kedua pemimpin negara pun diketahui tengah solid setelah Trump bersedia membantu penyediaan ventilator bagi Indonesia setelah berhubungan lewat sambungan telepon, yang lantas berlanjut pada ekspresi “keintiman” di linimasa twitter.
Bagaimanapun, tentu haluan manapun yang akan menjadi pedoman Presiden Jokowi, diharapkan dapat memberikan arah yang jelas serta kontribusi signifikan dalam membangkitkan berbagai keterpurukan saat ini. Itulah yang pasti diharapkan. (J61)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.