Site icon PinterPolitik.com

Trump Di Ambang Menerapkan Martial Law?

1607942866_trump

Presiden AS Donald Trump mengacungkan jempol usai tiba di Pope Army Field, Fort Bragg, North Carolina pada Oktober lalu. (Foto: Associated Press)

Seri pemikiran Fareed Zakaria #27

Penghitungan electoral college pada Senin ini akan membuat Pilpres AS 2020 semakin mendekati hasil akhirnya. Dengan hasil yang dinilai tak akan jauh berbeda, akankah membuat pihak Trump yang masih bersikukuh bahwa terdapat kecurangan akan menempuh opsi martial law yang sempat mengemuka sebelumnya?


PinterPolitik.com

Tahapan demi tahapan Pilpres Amerika Serikat (AS) 2020 akan sangat menentukan dalam beberapa waktu ke depan. Kalkulasi final electoral college dari para elektor negara bagian pada 14 Desember ini akan semakin membuat kian jelasnya siapa yang akan memenangkan pertarungan.

Secara popular votes, Joe Biden sendiri memimpin dengan selisih lebih dari 6 juta suara dari petahana Donald Trump, serta 306 suara berbanding 232 dalam electoral votes. Hal yang membuat penghitungan final dari para elektor dianggap hanya akan mengesahkan kemenangan Biden.

Namun demikian, Trump hingga detik ini masih bersikukuh bahwa hasil Pilpres diliputi kecurangan dan dirinya belum kalah. Belasan gugatan untuk menentang hasil pemilu yang diajukan oleh pihak Trump sendiri telah ditolak hakim, baik di tingkat negara bagian maupun federal.

Gugatan teranyar yang berasal dari negara bagian Texas juga ditolak Supreme Court atau Mahkamah Agung AS pada Jum’at pekan lalu. Namun Trump merespons bahwa institusi itu sangat mengecewakan karena tak mencerminkan kebijaksanaan dan keberanian.

Fareed Zakaria dalam tulisannya di The Washington Post yang berjudul Trump shows that we need to reform U.S. democracy menyebut, manuver semacam itu dari Trump dan kubunya cukup memberikan preseden minor bagi sejarah demokrasi AS.

Meragukan suara publik AS hingga mempertanyakan kinerja institusi hukum dinilai dapat mengikis tingkat kepercayaan publik, menajamkan polarisasi, hingga berdampak pada instabilitas politik negeri Paman Sam.

Namun demikian, value atau nilaiyang disinggung Zakaria agaknya belum menjadi skenario terburuk yang mungkin akan terjadi di AS secara nyata.

Ini mengacu pada narasi yang datang dari penyokong Trump yang merupakan pensiunan Jenderal angkatan bersenjata AS, Michael Flynn. Pada awal Desember lalu, dirinya mempromosikan ide martial law atau penerapan darurat militer terbatas oleh Presiden Trump ketika Ia mencuit ulang siaran pers dari organisasi politik konservatif We the People Convention yang berbasis di Ohio.

Baca juga: Mencari Eksepsionalisme Indonesia ala Jokowi

Wacana itu pun didukung oleh tokoh pendukung Trump lainnya yang merupakan mantan pilot Angkatan Udara legendaris AS, Scott O’Grady.

O’Grady mendorong pendeklarasian martial law secara terbatas, dan untuk sementara menangguhkan Konstitusi dan kontrol sipil atas pemilihan federal, dengan tujuan agar militer mengawasi pemungutan suara ulang.

Menjadi menarik karena Trump disebut telah berencana menempatkan O’Grady dalam jabatan penting di Pentagon walaupun secara teknis kekuasaannya hanya menyisakan hitungan pekan.

Penasihat senior kampanye Trump, Jenna Elis sendiri sempat menyatakan jika kubunya akan mengesampingkan penghitungan electoral college pada 14 Desember, dan menyebut bahwa penetapan oleh Kongres pada 6 Januari sebagai momen yang lebih signifikan.

Lantas pertanyaannya, mengapa wacana martial law ini bisa mengemuka? Dan apakah itu berarti ada kemungkinan bahwa martial law benar-benar akan diterapkan oleh Trump dalam jeda waktu tersebut sebagai puncak klaimnya atas Pilpres selama ini?

Martial Law Pilihan Logis?

Landasan pemikiran para penyokong martial law sendiri agaknya selaras dengan narasi yang dibangun We the People Convention.

Mereka menyebut bahwa saat ini merupakan titik di mana militer menjadi satu-satunya pihak yang dapat dipercaya. Kelas politik dan lembaga peradilan yang korup selama proses pemilu menjadi landasan klaim tersebut.

Selain Flynn dan O’Grady, dukungan terhadap implementasi martial law untuk merespons hasil pemilu juga datang dari kalangan eks militer lainnya, yakni seorang pensiunan bintang tiga dari Angkatan Udara, Thomas McInerney.

Martial law atau darurat militer sendiri, dengan skala apapun, bukanlah sebuah kondisi yang dapat dengan mudah diterapkan di AS.

Baca juga: Menhan Biden, Kuak Rahasia Mahfud MD?

Skenario ini sendiri memang pernah dikemukakan Trump sebelumnya saat bereaksi atas kerusuhan, kekerasan, dan penjarahan pasca kasus George Floyd beberapa waktu lalu.

Kendati demikian, dinamika yang bergulir setelahnya membuktikan bahwa martial law yang disampaikan Trump hanya sebatas gertakan sambal ataupun retorika belaka.

Menurut Bill Banks, seorang profesor bidang hukum keamanan nasional dan konstitusional di Syracuse University, martial law secara sederhana menempatkan militer sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab. Semua subjek warga negara tunduk hanya pada perintah militer, dan bukan hukum sipil.

Artinya, harus terdapat justifikasi serius dari eksekutif yang berkaitan langsung pada ihwal yang mengancam keamanan nasional AS untuk dapat menerapkan martial law secara proporsional.

Martial law secara nasional juga belum pernah diterapkan oleh pemerintah federal AS sejak serangan Jepang di Pearl Harbor pada momen Perang Dunia II.

Yang cukup mendekati namun dimensinya cukup berbeda mungkin adalah apa yang terjadi pada mantan Presiden AS, Richard Nixon. Kala itu, tahun 1968 menjadi masa yang dapat dikatakan paling bergolak sepanjang sejarah AS.

Gerakan antiperang Vietnam hingga pembunuhan terhadap Martin Luther King, Jr dan Robert F. Kennedy memantik instabilitas keamanan domestik negeri adidaya.

Richard Nixon kemudian hadir mengeksploitasi sentimen anti-kerusuhan dan menggaungkan kampanye “law and order” atau hukum dan ketertiban, untuk kemudian memenangkan Pilpres kala itu.

Trump dan kubu pendukung dengan narasi martial law, tampak sedikit banyak berupaya meniru kisah Nixon ini melalui spektrum dan skala yang lebih serius dengan kewenangan yang dimiliki oleh Trump sendiri saat ini.

Karena di tingkat nasional, baik Presiden dan Kongres AS memiliki kekuatan untuk memberlakukan martial law karena keduanya memiliki kewenangan langsung atas militer.

Namun di sisi lain, implementasi martial law di AS sendiri sesungguhnya berada dalam ranah yang masih abu-abu.

Joseph Nunn dalam Martial Law in the United States: Its Meaning, Its History, and Why the President Can’t Declare It menyebut, ketika membahas kemungkinan kekuatan martial law secara federal, Supreme Court sepanjang sejarahnya tidak pernah secara pasti menetapkan demarkasi yang jelas.

Tentu mengenai garis pembatas perihal apakah Presiden dapat secara sepihak mengumumkan darurat militer atau membutuhkan otorisasi Kongres terlebih dahulu.

Inilah yang membuat dinamika Pilpres AS yang diwarnai wacana pemberlakuan martial law masih memiliki persentase kemungkinannya tersendiri di bawah kendali Presiden petahana, Donald Trump.

Lalu, mungkinkah Trump menerapkan martial law jika benar-benar dikalahkan secara pasti pasca penghitungan final pemilu oleh Kongres pada 6 Januari mendatang?

Ditentukan Sejentik Titah Trump?

Tahapan Pilpres AS memang cukup panjang, melelahkan, sekaligus membingungkan bagi para awam yang berasal dari ekosistem demokrasi berbeda di belahan bumi lainnya.

Fenomena kemenangan Bush pada Pilpres 2000 dan Trump pada edisi 2016 yang seolah membalikkan hasil kasat mata pemilu, agaknya menggambarkan sedikit banyak kompleksitas kontestasi elektoral AS.

Gedung Putih sendiri sampai sejauh ini tak banyak menanggapi seruan darurat militeryang berkembang. Menanggapi wacana Flynn, Sekretaris Pers Gedung Putih, Kayleigh McEnany hanya menyebut sosoknya sebagai pahlawan yang mengabdi bagi negaranya, baik di medan perang maupun di pemerintahan.

Reaksi McEnany tak merujuk secara spesifik seruan Flynn atas martial law untuk merespons hasil pemilu.

Namun, Banks mengatakan bahwa tidak ada yang dapat menghalangi Presiden untuk mengumumkan martial law. Trump bisa saja melakukannya dan dinilai tak memiliki hambatan legal apapun atas justifikasinya.

Kendati begitu, keputusan yang diambil Trump agaknya akan cukup meninggalkan impresi dan preseden tersendiri. Utamanya bagi sesama negara demokrasi seperti Indonesia.

Pilpres di Indonesia pada 2019 lalu misalnya, yang bahkan berujung dengan kerusuhan pada 21 dan 22 Mei di Ibu Kota pasca pengumuman hasilnya. Meskipun, ketika itu keadaan berhasil dikendalikan dengan cepat dan tak meluas, sehingga tak membutuhkan peningkatan level kegentingan keamanan oleh aparat.

Tetapi keadaan itu masih tak tertutup untuk terulang dengan skala yang berbeda di kemudian hari. Bukan tidak mungkin pula keputusan Trump atas martial law pada konteks Pilpres 2020 dapat menjadi refleksi bagi pemerintah Indonesia kelak.

Yang jelas, dunia, termasuk Indonesia saat ini terus mengamati dinamika Pilpres di negeri Paman Sam. Tidak hanya pada proses pemilu itu sendiri yang masih terus berlangsung, namun juga efeknya bagi kesepakatan bilateral maupun multilateral yang telah terjalin.

Apalagi bagi Indonesia, kerja sama di bidang pertahanan baru saja terajut kembali pasca kunjungan Pelaksana Tugas (Plt.) Menteri Pertahanan (Menhan) AS Christopher Miller.

Oleh karenanya, keputusan Trump di menit-menit akhir untuk merespons proses Pilpres 2020 ini akan cukup menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)

Baca juga: Jokowi dan Hantu The Great Reset


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version