Seri pemikiran Fareed Zakaria #32
Insiden Gedung Capitol membuat Trump disebut mencederai nilai prinsipil demokrasi, dan dinilai menempatkan Partai Republik pada situasi seperti apa yang terjadi pada Partai Whig yang harus bubar pada akhir 1850-an. Mungkinkah hal itu terjadi? Lalu apakah makna yang dapat diambil dari fenomena itu dengan dinamika parpol di Indonesia?
Pasca insiden di Gedung Capitol pada 6 Januari lalu, banyak pihak yang mulai mempertanyakan arah, visi, dan akan seperti apa Partai Republik di kancah perpolitikan Amerika Serikat (AS) setelah ini.
Tak lain dan tak bukan ialah karena sosok Donald Trump yang disebut turut andil sebagai episentrum narasi destruktif selama berminggu-minggu sebelumnya, dan diduga kuat menjadi pemicu peristiwa mematikan, yang juga dinilai merobek-robek nilai demokrasi negeri Paman Sam.
Mengabaikan aparat keamanan, merongrong konstitusi, simbol, dan nilai demokrasi, hingga tidak menghormati sedikitpun proses hukum, menjadi akumulasi akhir bagi cerminan yang tampak dari insiden di Washington D.C..
Sejumlah pemimpin negara bahkan turut bersuara atas kondisi politik dalam negeri AS. Dari yang khawatir akan jadi preseden buruk dunia, seperti Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson, Menteri Luar Negeri (Menlu) Jerman Heiko Maas, serta PM Kanada Justin Trudeau. Hingga reaksi kolektif domestik negara lain yang mungkin “bergembira” atau mengejek demokrasi AS seperti Iran hingga Tiongkok.
Persoalan prinsipil dan fundamental atas demokrasi itulah yang membuat sejumlah pengamat politik terkemuka AS seperti Dana Milbank, David Corn, hingga Fareed Zakaria menilai bahwa kondisi Partai Republik saat ini – sebagai partai tempat Trump bernaung – seolah serupa dengan apa yang terjadi pada Partai Whig di tahun 1840-an hingga 1850-an.
Pada era tersebut, Whig adalah salah satu dari dua partai politik (parpol) dominan di AS, yang kemudian terpecah menjadi beberapa faksi dan akhirnya bubar. Whig sendiri bubar akibat benturan ideologi fundamental dalam kebebasan dan demokrasi, utamanya antara faksi pro-perbudakan dan anti-perbudakan.
Baca juga: Jokowi Harus Hindari Kakistokrasi Trump
Pada tahun 1848, secara organisasi Whig mencoba menutupi perbedaan dan benturan itu dengan mencalonkan seorang Zachary Taylor, seorang pemilik budak yang tidak terlibat dalam politik. Namun pada akhirnya, pencalonan itu tetap mendapat penentangan oleh sebagian besar kelompok Whig.
Meskipun Taylor memenangkan Pemilu dan menjadi Presiden AS ke-12, pencalonannya menyebabkan kelompok Whig anti-perbudakan membelot. Singkatnya, mereka membantu mendirikan Partai Republik atau yang juga disebut GOP (Grand Old Party), sebelum kemudian Partai Whig terus menyusut hingga akhirnya bubar dan terlupakan.
Setelah insiden Gedung Capitol, internal Partai Republik sendiri tampak sedikit terbelah. Ada pihak yang masih berdiri di belakang Trump. Namun tak sedikit yang menentang penghinaan terhadap prinsip demokrasi itu, bahkan mendukung upaya pemakzulan, seperti Lisa Murkowski, Pat Toomey, Pimpinan Senat Mitch McConnell, hingga Ketua House Republican Conference Liz Cheney.
Ihwal yang disoroti Milbank, Corn, hingga Zakaria itulah kemudian membuka pertanyaan dan tafsir kemungkinan, bahwa apakah benturan ideologi plus loyalitas pada Trump, akan membuat Partai Republik akan senasib dengan Partai Whig di kemudian hari?
Trump, “Jangkar Politik” GOP?
Dalam kolom tulisan terbarunya di The Washington Post yang berjudul Has Trump pushed the Republican Party to the breaking point?, Fareed Zakaria yang juga memberikan komparasi dengan Partai Whig, menyiratkan bahwa perbedaan faksi yang ada tidak akan serta merta membuat Partai Republik bubar.
Partai Republik modern telah lama dihuni beberapa faksi yang hidup bersama, seperti penganut libertarian, evangelis, pembela hak negara, dan tak terkecuali mereka yang bertendensi rasis. GOP banyak dikatakan berhasil menutupi perbedaan itu selama beberapa dekade.
Pada isu terkini, loyalitas terhadap partai maupun Trump disebut Zakaria menjadi kunci utama. Namun Ia melihat bahwa di balik loyalitas yang mungkin seirama dengan manuver Partai Republik dan Trump, ada pula yang berlandaskan aspek pragmatis, utamanya terkait alasan elektoral politisi lokal di sejumlah wilayah dan negara bagian.
Untuk menjelaskan mengapa perbedaan internal tetap dapat dikelola serta ihwal pragmatis itu dapat terjadi meski kini dihantam isu yang sangat fundamental, postulat Yigal Mersel dalam publikasinya yang berjudul The dissolution of political parties: The problem of internal democracy kiranya dapat menjadi pintu masuk yang tepat.
Baca juga: FPI dan Geliat Vigilantisme Loyalis Trump
Mersel menyebut, di era modern tidak hanya pragmatisme yang meliputi kepentingan parpol. Sebuah parpol dapat mengadopsi struktur internal dan bertransformasi dengan kecenderungan non-demokratis sebagai bagian dari ideologinya, atas nama kebebasan dan demokrasi, demi tujuan kekuasaan.
Non-demokratis dalam artian, sejumlah partai memiliki orientasi berdasarkan diskriminasi ras, jenis kelamin, agama, hingga radikalisme orientasi ideologis. Sementara beberapa partai lain juga mengadopsi struktur oligarki yang menyangkal kemampuan anggota untuk menggantikan, atau bahkan mempengaruhi kepemimpinan partai.
Selain itu Mersel menjelaskan bahwa struktur parpol yang bersifat vertikal – ketika otoritas parpol bekerja dari pemimpin ke bawah, dan bukan dari anggota individu ke atas – membuat satu faksi mayoritas di dalam sebuah parpol mapan, akan menekan faksi lain untuk menyelaraskan langkah. Termasuk langkah dengan tendensi non-demokratis.
Hampir senada dengan Mersel, Joseph Postell dalam The Rise and Fall of Political Parties in America, juga turut membedah karakteristik factional politics atau politik faksi di AS.
Bahwa untuk mempertahankan eksistensi parpol termasuk visinya di tengah faksi-faksi internal yang ada, faksi mayoritas akan melakukan konsolidasi ke dalam koalisi yang lebih luas dan akan menekan faksi lain, yang tentunya dengan “iming-iming” basis kekuasaan yang dimiliki. Untuk kemudian memaksa faksi minoritas menyelaraskan visi dibandingkan mengedepankan kepentingan spesifik.
Ihwal di atas yang kiranya terjadi pada konteks Partai Republik dan korelasinya dengan Trump.
Hal ini kemungkinan besar dikarenakan, meski kalah, Trump berhasil meningkatkan lebih dari sepuluh juta popular vote-nya dibandingkan Pilpres 2016. Fakta yang agaknya membuat tak ada alasan bagi faksi apapun di internal Partai Republik untuk tidak mempertahankan soliditas plus dukungannya kepada Trump, meskipun tengah dirundung isu fundamental berupa “penodaan” terhadap demokrasi pasca insiden Gedung Capitol.
Jajak pendapat terbaru NBC mengejawantahkan hal itu. Trump bahkan masih mendapat dukungan luar biasa dari Partai Republik setelah peristiwa 6 Januari.
Job approval rating atau penilaian kinerja di internal Partai Republik yang secara langsung mendukung Trump bahkan mencapai 98 persen. Sementara persentase berdasarkan dukungan paralel terhadap Partai Republik itu sendiri mencapai 81 persen.
Kemenangan Trumpist, Sebuah Pelajaran
Pilpres AS 2020 sendiri tampaknya menguak sebuah kemenangan di balik kekalahan, terutama bagi para loyalis radikal Trump yang kerap dikenal dengan Trumpist.
Dalam Why the GOP is sticking with Trump’s election deceit, Eugene J. Dionne menyiratkan hal itu dengan merujuk pada kenaikan lebih dari sepuluh juta popular vote Trump di Pilpres 2020 dibandingkan edisi 2016.
Dionne menyebut bahwa satu kemungkinannya ialah narasi provokatif Trump yang selama ini bermuara pada peningkatan atensi signifikan dalam politik GOP, khususnya dari para konspirasis QAnon, Proud Boys, hingga kelompok ekstremis marjinal lainnya.
Baca juga: Kalahkan Trump, Jokowi Jawab Tantangan Fukuyama?
Hal ini disebut Dionne akan membuat Partai Republik kemungkinan melihat masa depan untuk fokus mempertahankan loyalis Trump semacam itu.
Namun di saat yang sama, hal itu agaknya mengejawantahkan “kemenangan” bagi para Trumpist untuk dapat memiliki saluran politik konkret, yang sayangnya memiliki prospek kurang positif bagi dinamika polarisasi dan demokrasi yang tengah terjadi di AS.
Selaras dengan Dionne, Fareed Zakaria secara lebih spesifik menyebut bahwa berbagai kecenderungan yang ada itu akan menghadirkan kondisi, di mana Partai Republik berpeluang besar untuk didominasi oleh orang-orang yang menolak demokrasi Amerika dan terpikat pada teori konspirasi, yang marah karena ketidakberdayaan mereka, dan semakin bersedia untuk mendukung cara-cara ekstrem, bahkan kekerasan untuk mencapai kekuasaan dan segala tujuan mereka.
Preseden yang tengah terjadi di AS itu kiranya dapat menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia khususnya para parpol. Ruang, saluran, dan manuver politik bagi mereka yang serupa Trumpist, yang secara sederhananya di Indonesia berakar serta memainkan narasi politik identitas, harus sejak awal ditutup oleh para parpol dan para pemimpinnya.
Mengingat kombinasi narasi politik identitas, kemasan dan bumbu konspiratif, serta derasnya arus informasi di era saat ini, tampaknya akan sangat berbahaya bagi persatuan dan hakikat demokrasi bangsa.
Dengan konstelasi politik yang masih abu-abu, Pilpres 2024 tampaknya akan menjadi ujian yang sedikit berbeda bagi demokrasi Indonesia. Yang hulunya tentu juga menjadi pekerjaan bersama seluruh komponen negeri untuk menghadirkan kebijaksanaan paripurna dalam berpolitik dan bernegara. (J61)
Baca juga: Biden, Jokowi dan Perangkap Thucydides
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.